Beberapa media online memberitakan mengenai fenomena unik lanjut usia (lansia) di Jepang yang sengaja berbuat kejahatan agardapat dipenjara, termasuk di kompas https://internasional.kompas.com/read/2018/03/21/11405421/fenomena-warga-lansia-di-jepang-sengaja-berbuat-kejahatan-agar.
Karena saya yang bukan pengawat warga Jepang dan juga bukan penggemar jejepangan kecuali selop jepang  (di Palembang sandal jepit /flip flop sering disebut selop Jepang) tentu tidak akan membahas itu.
Saya hanya teringat pada salah satu pasal di RUU KUHP yang sedang panas-panasnya di-"godog" di  gedung dewan saat ini. Sebagaiman saya ceritakan sebelumnya  https://www.kompasiana.com/kartika.l.kariono/5aa9f9145e137357a4133232/di-perancis-catcalling-kena-denda-indonesia bahwa berlakunya KUHP di Indonesia sejak pemberlakukan. WvS  atas dasar Koninklijk Besluit (Titah Raja) nomor 33 pada tanggal 15 Oktober 1915, dengan nama Stafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) tetapi mulai berlaku 1 Januari 1918. Artinya sudah satu abad kita telah mempergunakan KUHP peninggalan Belanda ini.
Upaya pembaruan KUHPsudah memakan waktu yang cukup panjang, dimulai dari seminar hukum nasional yang pertama di Jakarta pda tanggal 11-16 Maret 1963, yang merekomendasikan ua menyusun sebuah pembaruan kodifikasi hukum pidana di Indonesia secara total, dan satu tahun berikutnya telah diusulkan rancangan KUHP awal dan sampai hari ini belum disahkan.Â
Masih menjadi perdebatan panjang  ketika terjadi  penolakan  beberapa pasal yang intepretasinya "karet" seperti  pengecualian asas legalitas,  pertahanan negara,l penghinaan pemerintah yang sah,  pidana atas property, - pidana lingkungan hidup,pidana perzinahan
Penjara bagi anak dan lansia di RUU KUHP
Satu hal yang menjadi menarik ketika membaca batasan usia pemidanaan penjara dalampasal 76 ayat (1) huruf a yang berbunyi : Â dengan tetap mempertimbangkan pasal 55 dan pasal 56, pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhka, jika dijumpai keadaan-keadaan sebagai berikut : terdakwa berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun atau di atas 73 (tujuh puluh tiga) tahun.
Jika bicara upaya keadilan keadilan restoratif  bagi anak (orang yang belum dewasa) memang telah menjalani proses yang panjang dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.Indonesia adalah salah satu negara yang pernah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) pada tahun 1990 yang telah disetujui oleh Majelis Umum PBB pada 20 November 1989.Â
Dalam Pasal 4 KHA dinyatakan: Negara Peserta akan mengambil semua langkah legislatif, administratif dan lain sebagainya untuk pelaksanaan hak-hak yang diakui dalam konvensi. Selain itu dalam Pasal 6 KHA dinyatakan: Negara Peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan.Â
Satu dekade kemudian, tepatnya pada tahun 2001, Indonesia menyatakan komitmennya terhadap deklarasi Dunia Yang Layak Bagi Anak (A World Fit for Children). Sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang kesemuanya mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang serta menghargai partisipasi anak.Â
Perlindungan hukum bagi anak dapat dilakukan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak. Perlindungan terhadap anak ini juga mencakup kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Perlindungan anak yang berkonflik  dengan hukum (ABH), merupakan tanggung jawab bersama aparat penegak hukum.Â
Tidak hanya anak sebagai pelaku, namun mencakup juga anak sebagai korban dan saksi. Dalam hal ini, Aparat penegak hukum yang terlibat dalam penanganan ABH tidak hanya mengacu pada Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Sistem Peradilan Pidana Anak atau peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penanganan ABH, namun lebih mengutamakan perdamaian daripada proses hukum formal yang mulai diberlakukan 2 tahun setelah UU SPPA diundangkan atau 31 Juli 2014 (Pasal 108 UU No. 11 Tahun 2012).
Dengan perkembangan hukum pidana di dunia, yang juga berpengaruh pada sistem peradilan pidana di Indonesia yakni pengaturan tentang hukum pidana dalam perspektif dan pencapaian keadilan kepada perbaikan maupun pemulihan keadaan setelah peristiwa dan proses peradilan pidana yang dikenal dengan keadilan restoratif (restoratif justice) yang berbeda dengan keadilan retributif (menekankan keadilan pada pembalasan) dan keadilan restitutif (menekankan keadilan pada ganti rugi) oleh sebab itu pidana sebagai ultimum remidium (upaya hukum yang terakhir) dalam perkara tindak pidana anak dengan tujuan perbaikan dan penurunan angka kejahatan pada anak yang berkonflik  dengan hukum serta perlindungan yang terbaik bagi anak.Â
Apabila ditinjau dari perkembangan ilmu hukum pidana dan sifat pemidaan modern, telah memperkenalkan dan mengembangkan apa yang disebut pendekatan hubungan Pelaku-Korban atau "Doer-Victims" Relationship. Suatu pendekatan baru yang telah menggantikan pendekatan perbuatan atau pelaku atau "daad-dader straftecht". Ahli hukum telah memperkenalkan formula keadilan khususnya dalam penegakkan HAM, bahwa ada 3 aspek pendekatan untuk membangun suatu sistem hukum dalam rangka modernisasi dan pembaharuan hukum, yaitu segi struktur (structure), substansi (substance) dan budaya (legal culture) yang kesemuanya layak berjalan secara integral, simultan dan paralel (lebih jelas dapat dibaca  dalam Berita Utama MA, 8/13/2014, Ridwan Mansyur, Keadilan Restoratif Sebagai Tujuan Pelaksanaan Diversi Pada Sistem Peradilan Pidana Anak).
Diversi dilakukan oleh Penyidik atas rekomendasi Pembimbing Kemasyarakatan. Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi untuk menjamin kepentingan yang terbaik bagi anak dan jika upaya diversi tidak dapat berjalan atau tidak ada kesepakan maka dilanjutkan ke proses persidangan sebagai upaya hukum yang paling terakhir sehingga wajib diupayakan adanya diversi dan apabila tidak dilakukan maka batal demi hukum dan aparat penegak hukum jatuhkan sanksi. Demikian pula dengan setelah terjadinya poses peradilan maka dapat dilakukan banding, kasasi sampai upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali.
Dasar pemikiran pelaksanaan Diversi dengan prinsip keadilan restoratif dilaksanakan atas bahwa Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Hak hak setiap anak wajib dijunjung tinggi tanpa anak tersebut meminta. Kasus kasus ABH yang dibawa dalam proses peradilan adalah kasus kasus yang serius saja, itu juga harus selalu mengutamakan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, serta proses penghukuman adalah jalan terakhir (ultimum remedium) dengan tetap tidak mengabaikan hak hak anak.
Dengan demikian limitatif pemidanaan terhadap anak sudah cukup established, bahkan dalam tataran juknis di kejaksaan pun sangat jelas mengenai diversi.
Batasan usia 73 tahun
Berbeda dengan limitatif penjatuhan pidana terhadap ADH. Limitatif penjatuhan pidana penjara bagi lansia,ini merupakan pembaruan dalam pemidanaan di Indonesia. Bahkan hingga saat ini,  kami belum memahami dengan pasti apa yang menjadi dasar penentuan usia 73 tahun ini. Karena memang untuk urusan pembatasan  usia pensiun(sebagai dasar awalpenyebutan seseorang mulaimemasuki usialanjut/ non produktif)  saja peraturan perundang-undangan di Indoesia itu tidak dapat memberikan kepastian. Hal ini juga yang terjadi dalam pembatasan usia anak dalam sebelum pemberlakukan UU Perlindungan anak dan SPAA.
Jika yang menjadi rujukan adalah usia lansia, makaperlu memeprhatikan bebrapa patokan usia lansia,seperti  batasan usia menurut badan kesehatan dunia (WHO) yang mengkategorikan lanjut usia menjadi 3 glongan yakni:
- Lanjut usia (elderly) : antara 60 sampai 74 tahun
- Lanjut usia tua (old) :antara 75 sampai 90 tahun
- Sangat tua (very old):di atas 90 tahun
Salah satu UU yang mengatur mengenai lansia di Indonesia adalah UU No.13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, dimana Bab 1 pasal 1ayat 2 menyebutkan bahwa di atas lanjut usia adalah sesorang yang mencapai 60 tahun ke atas, baik pria maupun wanita. Sabagai bahan perbandingan kita akan menilik dari pengaturan batas usia pensiun yang terdapat beberapa perbedaan dalam pengaturannya.
Di dalam UU No.13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan tidak disebutkan secara pasti berapa usia pensium pekerja, dikembalikan kepada peraturan perusahaan masing-masing.Dalam hal penetapannya perusahaan swasta menentukan berdasarkan aturan di bawah UU yang mengatur hal ini. Sehingga dapat kita lihat dalam Peraturan Pemerintah (PP) Â Nomor 45 tahun 2015 pasal 15:
(1) Pensiun ditetapkan pertama kali adalah 56 tahun, dengan demikian interpratienya bahwa dengan pemberlakuan PP ini, maka batas usia pensium adalah 56 tahun.
(2) Mulai1 Januari 2019,usia pensium menjadi 57 tahun.
(3)Usia pensiun akan bertambah 1 tahun untuk setiap3 tahun berikutnya samapi mencapai usia pensiun 65 tahun
Secara intepretasi, maka batas usia pensiun per
1 januari 2019, usia pensiun  adalah 57 tahun
1 januari 2021, usia pensiun  adalah 58 tahun
1 januari 2024, usia pensiun  adalah 59 tahun
1 januari 2027, usia pensiun  adalah 60 tahun
1 januari 2030, usia pensiun  adalah 61 tahun
1 januari 2033, usia pensiun  adalah 62 tahun
1 januari 2036, usia pensiun  adalah 63 tahun
1 januari 2039, usia pensiun  adalah 64 tahun
1 januari 2042, usia pensiun  adalah 65 tahun
Hal berbeda dengan aparatur sipil negara yang ditetapkan batas usia pensiunnya dalam  :
PP No.11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil Â
a. pejabat adminsitrasi, pejabat fungsional ahli muda, pejabat fungsional ahli pertama pejabat fungsional keterampilan , Â 58 tahun;
b.pejabat pimpinantinggi dan pejabat fungsional madya, 60 tahun
c. Pejabat fungsionalahli utama,65 tahun
UU No. 4 Tahun 2015 tentang guru dan dosen, Bagi dosen batas usia pensiun adalah 65 tahun sedangkan guru basa usia pensiun adalah 60 tahun.
UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri, batas usia pensiunnya 58 tahun,sedangkan Polri yang memiki keahlian khusu batas usianya adlaha 60 tahun.
 UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, Bagi Bintara dan Tamtama batas usia pensiun adalah 53 tahun sedangkan bagi perwira TNI batas usia pensiunnya adalah 58 tahun.
UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, batas usia pensiun jaksa adalah 62 tahun.
Tampaknya dasar pemikiran upaya pembatasan pemidanaan penjara bagi lanjut usia berdasarkan kondisi perlindungan terhadap kelompok minoritas, karena jumlahnya yang sediit dibandingakan usia produktif. Pada usia lansia, sesorang akan mengalami penurunan kemampuan baik secara fisik, pskiologi dan sosial dan kembali membutuhkan ketergantungan dengan orang lain. Sehingga membawa penyelesaian perkara pidana yang dilakukan oleh lansia ada kekhawatiran akan memunculkan beban kepada mereka.
Banyak perkara yang melibatkan lansia sebagai pelaku pidana,sebut saja kasus nenek Arsyani yang dituduh mencuri tujuh batang kayu jati milik Perhutani di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, Nenek Minah yang dituduh mencuri 3 buah biji kakao di Kabupaten Banyumas, Pasangan lansia kakek Anjo Lasim dan Nenek Jamilu Nanai yang dituduh mencuri 6 batang bambu milik tetangganya di Gorontalo, kakek Musrin yang dihukum karena tuduhan mengambil kayu magrove untuk keperluan kayu bakar, dan banyak kasus lain yang sempat menyita perhatian publik.
Teori-teori pemidanaan berkembang mengikuti dinamika kehidupan masyarakat sebagai reaksi dari timbul dan berkembangnya kejahatan itu sendiri yang senantiasa mewarnai kehidupan sosial masyarakat dari masa ke masa. Dalam dunia ilmu hukum pidana itu sendiri, berkembang beberapa teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu teori absolut (retributif),teori relatif (deterrence/utilitarian), teori penggabungan (integratif),teori treatmentdan teori perlindungan sosial (social defence).Teori-teori pemidanaan mempertimbangkan berbagai aspek sasaran yang hendak dicapai di dalam penjatuhan pidana.
Dalam Handbook on Restorative Justice Programmesyang diterbitksan oleh PBB disebutkan bahwa : "Restorative justice is an approach to problem solving that, in its various forms, involves the victim, the offender, their social networks, justice agencies and the community." Hubungan dengan penegakan hukum pidana, maka restorative justicemerupakan suatu pendekatan dalam memecahkan masalah pidana yang melibatkan korban, pelaku, serta elemen- elemen masyarakat demi terciptanya suatu keadilan. (Dapat dibaca pada : United Nations, Handbook on Restorative Justice Programmes, (New York: United Nations Publication, 2006), hal. 6)
Bagir Manan, dalam tulisannya menguraikan tentang substansi "restorative justice"yang berisi prinsip-prinsip, antara lain: "Membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai "stakeholders" yang bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak (win-win solutions)".(Dapat dibaca pada M. Taufik Makarao , Pengkajian Hukum Tentang Penerapan Restorative Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-Anak, 2013, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, hal. XI)
Dalam halini maka terhadap kasus tindak pidana yang di lakukan oleh lansia, maka restorative justice systemsetidak-tidaknya bertujuan untuk memperbaiki /memulihkan (to restore) perbuatan kriminal yang dilakukan lansia dengan tindakan yang bermanfaat bagilansia , korban dan lingkungannya yang melibatkan mereka secara langsung (reintegrasi dan rehabilitasi) dalam penyelesaian masalah, dan berbeda dengan cara penanganan orang dewasa yang kemudian akan bermuara pada tujuan dari pidana itu sendiri yang menurut Barda Nawawi Arief tujuan pemidanaan bertitik tolak kepada "perlindungan masyarakat" dan "perlindungan/pembinaan individu pelaku tindak pidana". (Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta: PT. Kencana Prenada Media Group, 2008, hal. 98.)
Restorative Justicemerupakan reaksi terhadap teori retributif yang berorientasi pada pembalasan dan teori neo klasik yang berorientasi pada kesetaraan sanksi pidana dan sanksi tindakan. Dalam teori retributif, sanksi pidana bersumber pada ide "mengapa diadakan pemidanaan".Â
Dalam hal ini sanksi pidana lebih menekankan pada unsur pembalasan (pengimbalan) yang sesungguhnya bersifat reaktif terhadap sesuatu perbuatan. Ia merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar, atau seperti dikatakan oleh J. E. Jonkers bahwa sanksi pidana dititikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan. Sementara sanksi tindakan bersumber pada ide "untuk apa diadakan pemidanaan itu".Â
Jika dalam teori retributif sanksi pidana tertuju pada perbuatan salah seorang lewat pengenaan penderitaan (agar yang bersangkutan menjadi jera), maka sanksi tindakan terarah pada upaya memberi pertolongan agar dia berubah. Sanksi tindakan bertujuan lebih bersifat mendidikdan berorientasi pada perlindungan masyarakat.(Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, dari Retribusi ke Reformasi, Jakarta: Pradnya Paramita, 1986, hal. 53).
Apakah lansia menjadi tidak dipidana setelah berbuat kejahatan, tentu bukan seperti itu. Mereka tetap dipidana hanya saja diupayakan tidak dipenjara.Dengan pembaruan demikian, tentu memerlukan kesiapan dalam sistem peradilan pidana terhdapa penanganan perkara yang melibatkan lansia sebagaimana proses diversi dalam perkara ADH.Â
Ini memerlukan kesiapan yang matang sedari awal dari semua faktor yang mempengaruhi penegakan hukum mulai dari hukumnya itu sendiri (dalamartian peraturan perundang-undangannya), Penegak hukum, budaya serta masyarakatnya itu sendiri.
Tentu lansia di usia senja sangat membutuhkan rasa bahagia bukan?.Â
Selamat malam minggu Indonesia, tetap bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H