Mohon tunggu...
Karina Anggita
Karina Anggita Mohon Tunggu... Human Resources - Life enthusiast

Belajar untuk menulis, selalu tertarik pada sejarah, musik, budaya dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Memento Mori: Sebelum Waktu Habis, Refleksi Seorang Karyawan Biasa

3 November 2024   20:24 Diperbarui: 3 November 2024   20:24 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang dunia butuhkan.

Apa yang bisa menghasilkan penghidupan.

Dalam filsafat Jawa, ada konsep yang mendukung pencarian makna ini, yaitu "urip iku urup", hidup itu harus menyala. Filosofi ini mengajarkan bahwa hidup kita tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga harus memberikan cahaya kepada orang lain. Pencarian jati diri tidak hanya tentang menemukan tujuan pribadi, tetapi juga tentang bagaimana kita bisa bermanfaat bagi dunia. Ketika kita hidup dengan memberi, kita memenuhi panggilan spiritual yang lebih tinggi.

Di sini, kita bisa menghubungkan konsep Kamadatu, bagian dari tripartite kosmologi dalam Buddhisme Mahayana, yang menggambarkan tingkatan sebagai:

Kamadatu: dunia keinginan, di mana kita terikat pada hal-hal materi dan kebutuhan fisik.

Rupadatu: dunia bentuk, di mana kita mulai mencari sesuatu yang lebih tinggi, seperti seni, cinta, dan penghargaan.

Arupadatu: dunia tanpa bentuk, yang melambangkan pencapaian spiritual tertinggi, di mana kita menyadari bahwa segalanya bersifat fana dan yang abadi adalah kesadaran.

Pencarian jati diri dalam Kamadatu adalah perjalanan melewati setiap tingkatan ini, dari terikat pada hal-hal fisik menuju kesadaran yang lebih tinggi bahwa kita adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri. Ini menggemakan pencapaian aktualisasi diri dalam Maslow, dan sejalan dengan Ikigai, di mana kita menemukan keseimbangan antara pencapaian pribadi dan kontribusi sosial.

Memayu Hayuning Bawana: Menjaga dan Memperindah Dunia

Di balik hiruk-pikuk hidup duniawi, dalam tradisi filsafat Jawa, ada konsep menjaga dan memperindah dunia. Ini adalah panggilan untuk hidup, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk memberikan sesuatu yang lebih besar dari sekadar menjalani rutinitas harian.

Sebagai karyawan biasa, kita sering kali merasa bahwa pekerjaan kita mungkin tidak signifikan. Tetapi memayu hayuning bawana mengajarkan bahwa setiap tindakan, sekecil apa pun, bisa memperindah dan berarti bagi kehidupan orang lain. Apakah itu dengan memberikan bantuan kepada rekan kerja, atau menjalankan tugas dengan penuh dedikasi. Setiap langkah kecil membawa kita lebih dekat pada tujuan yang lebih tinggi. Sebuah persembahan dari kita kepada Sang Pencipta, seperti yang diingatkan dalam ajaran bahwa bekerja adalah ibadah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun