"And all your money won't another minute buy / Dust in the wind, all we are is dust in the wind."
-- Kansas, Dust in the Wind -
Kita, adalah seperti kebanyakan orang. Karyawan biasa, yang menjalani hari-hari dengan beban finansial, tuntutan pekerjaan dan kewajiban yang terus datang. Â
Bayangkan adegan film yang sama dan terus diputar. Anda sebagai pemeran utamanya. Tersadar, buka mata, bangun, mandi, bekerja, bayar tagihan, pulang, tidur, tersadar, buka mata, bangun, mandi, bekerja, bayar tagihan, pulang, tidur, tersadar, buka mata, bangun, mandi, bekerja, bayar tagihan dan siklus terus berulang.
Hidup akan terasa seperti roda yang terus berputar tanpa akhir. Rat race. Belum lagi berjibaku dengan kondisi medan di jalan dan berinteraksi dengan segala macam drama topeng peran orang lain. Hari-hari seperti laga pertempuran. Menghabiskan energi , melelahkan mental. Berulang terus setiap hari, tanpa tahu pasti, kapan bisa membebaskan diri.
Lalu, mengapa kita ada? Berperan sebagai titik kecil dari milyaran orang yang memadati bumi. Apakah ada yang istimewa dari setiap diri?
Sekarang berhentilah sejenak. Bayangkan saja...
Jika Anda mati besok, apa yang akan Anda sesali? Apa yang benar - benar penting? Bagaimana Anda menghabiskan waktu di Bumi? Bagaimana orang lain akan mengingat Anda? Bagaimana Anda ingin dikenang?
Apakah sebagai seseorang yang hanya menjalani rutinitas, sekadar hadir dalam kehidupan ini, atau sebagai pribadi yang menemukan makna dan tujuan dalam setiap langkah?
Kematian sebagai Guru Tersembunyi
Memento mori: ingatlah bahwa engkau akan mati, menggemakan realitas ini. Manusia terlahir tanpa kepastian tentang berapa lama akan hidup, dan kematian, dalam kebisuan mistisnya, selalu menunggu di ujung jalan. Tetapi kesadaran akan kematian seharusnya bukan menjadi ketakutan, melainkan panggilan untuk hidup lebih bermakna.
Sebagai karyawan biasa, kesadaran ini bisa datang secara tiba-tiba. Mungkin ketika Anda kehilangan rekan kerja, atau ketika kehidupan memberikan peringatan tentang kefanaan. Di tengah kesibukan sehari-hari, ada waktu di mana Anda terdiam, bahkan hanya untuk sesaat, dan bertanya: Â Apa yang sedang saya kejar? Jika saya mati hari ini, apakah saya akan puas dengan cara saya menjalani hidup?
Manusia secara alami mencari makna. Di balik setiap lakon yang dijalankan, selalu ada pertanyaan besar yang tersembunyi, untuk apa semua ini? Mengapa saya ada di sini?
pertanyaan tentang tujuan hidup, tentang 'why', Ketika semua ini selesai, apa yang tersisa?
Jean-Paul Sartre, dalam pandangannya menyatakan bahwa eksistensi mendahului esensi, artinya kita lahir tanpa tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dan bertanggung jawab untuk menciptakan makna hidup kita sendiri. Sementara Viktor Frankl, percaya bahwa kehidupan memiliki makna bahkan di tengah penderitaan, dan menemukan makna dalam hidup adalah kekuatan pendorong utama manusia.
Dengan mengingat bahwa hidup ini terbatas, manusia diarahkan untuk mempertanyakan apa yang benar-benar penting dan bermakna.
Setiap individu mungkin memiliki tujuan yang unik, tergantung pada nilai-nilai pribadi, pengalaman, dan keadaan hidup. Tujuan hidup tidak selalu merupakan sesuatu yang besar, epic, grande ataupun muluk, kadang-kadang, itu bisa sederhana, seperti hidup penuh di momen ini, membantu orang lain, atau mengejar pengetahuan.
Rutinitas dan Kebutuhan Dasar: Lintas Batas Fisiologis
Menurut Abraham Maslow, manusia bergerak melalui lima tingkatan kebutuhan, mulai dari yang paling mendasar seperti kebutuhan fisiologis dan keamanan, menuju puncak hierarki yang disebut aktualisasi diri. Ketika Anda sudah memenuhi kebutuhan fisiologis (Kebutuhan primer seperti sandang, pangan, papan) dan keamanan (rasa aman secara fisik dan emosional), Anda mulai mencari hubungan sosial dan penghargaan diri, dan akhirnya menuju pencapaian tertinggi, aktualisasi diri.
1. Pada tingkat dasar : Â Bertahan Hidup
Hidup terasa seperti rangkaian tugas tanpa akhir yang hanya bertujuan untuk memastikan kebutuhan fisik terpenuhi. Anda bekerja keras demi makan, tempat tinggal, memenuhi ego gaya hidup, dan keamanan fisik. Anda mungkin merasa terjebak dalam rutinitas, tanpa ruang untuk berpikir tentang hal-hal yang lebih besar.
Sebagai karyawan, rutinitas harian Anda dipenuhi oleh kebutuhan untuk bertahan hidup atau demi gaya hidup? Mengambil lembur, mencari kerja sampingan. Pendapatan habis digunakan untuk membayar cicilan, makanan, dan kebutuhan dasar lainnya. Uang adalah fokus utama. Â Itulah mungkin jalan pintas lewat judi online, pinjaman online bahkan korupsi menjadi primadona pilihan. Â Namun, apakah hidup hanya sebatas ini?
2. Tingkat dua: Stabilitas dan Keamanan
Anda mungkin sudah memiliki pekerjaan tetap, menabung untuk masa depan, memiliki asuransi, memastikan karier stabil, dan memastikan bahwa Anda serta keluarga aman secara finansial. Namun, hidup masih terasa seperti pengejaran untuk menjaga semua ini tetap berjalan dan usaha mempertahankan stabilitas ini.
Pada titik tertentu, kesadaran mulai muncul: Apakah ini tujuan hidup saya?
3. Kebutuhan Sosial: Â Membangun Hubungan
Ketika kebutuhan keamanan sudah tercapai, Anda mulai mencari koneksi dan hubungan dengan orang lain. Anda ingin merasa diterima, dihargai, dan menjadi bagian dari kelompok. Hubungan sosial, baik dengan keluarga, teman, atau rekan kerja, menjadi lebih penting dan mulai memberi warna dalam hidup.
Seperti: Anda mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan orang yang Anda sayangi, mencari koneksi yang lebih bermakna di luar pekerjaan. Mungkin Anda mulai merasakan betapa pentingnya dukungan sosial dalam kehidupan sehari-hari.
4. Kebutuhan Penghargaan : Â Mencari Pengakuan
Ketika kebutuhan sosial sudah tercapai, Anda mulai mencari penghargaan, baik dari diri sendiri maupun dari orang lain. Anda ingin diakui atas apa yang sudah dicapai, dan mulai mengejar prestasi atau status sebagai tanda keberhasilan.
MIsalnya: Anda mungkin mulai mengejar promosi di tempat kerja, atau berusaha untuk diakui sebagai seseorang yang berhasil dalam bidang yang Anda geluti. Anda merasa pencapaian ini adalah cara untuk membuktikan diri.
Renungkanlah : Apakah pengakuan ini benar-benar memberi kepuasan? Apakah ada sesuatu yang lebih bermakna yang sebenarnya dikejar?
5. Aktualisasi Diri : Â Menemukan Makna Hidup
Di puncak piramida Maslow, Anda mencari aktualisasi diri, menemukan makna sejati dari hidup. Di sini, hidup bukan lagi tentang mencapai pengakuan atau prestasi eksternal, tetapi tentang kontribusi dan tujuan yang lebih besar. Anda mulai bertanya: apa yang benar-benar saya kejar? Apa yang ingin saya tinggalkan di dunia ini?
Contoh: Anda mulai fokus pada bagaimana Anda bisa memberikan dampak positif bagi dunia. Anda tidak lagi terlalu peduli dengan pencapaian materi, tetapi lebih tertarik pada hal-hal yang lebih mendalam, seperti kontribusi sosial, atau kebahagiaan batin.
Anda mulai bertanya: Apakah saya hidup dengan penuh makna? Bagaimana saya bisa menggunakan sisa hidup saya untuk memberikan dampak yang berarti bagi orang lain?
Beyond the Paycheck
Pada akhirnya, hidup tidak hanya tentang gaji bulanan atau prestasi karier. Setelah kebutuhan fisiologis dan keamanan tercapai, ada dorongan yang lebih dalam, dorongan untuk mencari arti dari semua ini. Seperti dalam lirik "Dust in the Wind" yang mengingatkan bahwa segala sesuatu pada akhirnya akan hilang. Tidak ada yang abadi di bawah kolong langit ini.
Pencarian "why", bukanlah pertanyaan yang mudah dijawab dalam satu malam. Namun, ketika kita mulai menanyakannya pada diri sendiri, jawaban bisa saja terungkap dalam tindakan sehari-hari. Mungkin jawaban itu terletak dalam dedikasi kita kepada pekerjaan atau dalam kontribusi kecil yang kita berikan kepada keluarga dan teman. Pencarian jati diri bukanlah pencarian besar di luar sana, tetapi penemuan makna dalam kehidupan sederhana yang kita jalani.
Dari perspektif Jepang, ada konsep Ikigai yang berbicara tentang alasan untuk bangun setiap pagi. Dalam kehidupan yang terbatas oleh waktu, Ikigai mengajak manusia untuk menemukan tujuan yang lebih besar dari sekadar bertahan hidup. Bukan hanya tentang mencapai potensi, tetapi tentang menemukan keseimbangan antara:
Apa yang Anda cintai.
Apa yang Anda kuasai.
Apa yang dunia butuhkan.
Apa yang bisa menghasilkan penghidupan.
Dalam filsafat Jawa, ada konsep yang mendukung pencarian makna ini, yaitu "urip iku urup", hidup itu harus menyala. Filosofi ini mengajarkan bahwa hidup kita tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga harus memberikan cahaya kepada orang lain. Pencarian jati diri tidak hanya tentang menemukan tujuan pribadi, tetapi juga tentang bagaimana kita bisa bermanfaat bagi dunia. Ketika kita hidup dengan memberi, kita memenuhi panggilan spiritual yang lebih tinggi.
Di sini, kita bisa menghubungkan konsep Kamadatu, bagian dari tripartite kosmologi dalam Buddhisme Mahayana, yang menggambarkan tingkatan sebagai:
Kamadatu: dunia keinginan, di mana kita terikat pada hal-hal materi dan kebutuhan fisik.
Rupadatu: dunia bentuk, di mana kita mulai mencari sesuatu yang lebih tinggi, seperti seni, cinta, dan penghargaan.
Arupadatu: dunia tanpa bentuk, yang melambangkan pencapaian spiritual tertinggi, di mana kita menyadari bahwa segalanya bersifat fana dan yang abadi adalah kesadaran.
Pencarian jati diri dalam Kamadatu adalah perjalanan melewati setiap tingkatan ini, dari terikat pada hal-hal fisik menuju kesadaran yang lebih tinggi bahwa kita adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri. Ini menggemakan pencapaian aktualisasi diri dalam Maslow, dan sejalan dengan Ikigai, di mana kita menemukan keseimbangan antara pencapaian pribadi dan kontribusi sosial.
Memayu Hayuning Bawana: Menjaga dan Memperindah Dunia
Di balik hiruk-pikuk hidup duniawi, dalam tradisi filsafat Jawa, ada konsep menjaga dan memperindah dunia. Ini adalah panggilan untuk hidup, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk memberikan sesuatu yang lebih besar dari sekadar menjalani rutinitas harian.
Sebagai karyawan biasa, kita sering kali merasa bahwa pekerjaan kita mungkin tidak signifikan. Tetapi memayu hayuning bawana mengajarkan bahwa setiap tindakan, sekecil apa pun, bisa memperindah dan berarti bagi kehidupan orang lain. Apakah itu dengan memberikan bantuan kepada rekan kerja, atau menjalankan tugas dengan penuh dedikasi. Setiap langkah kecil membawa kita lebih dekat pada tujuan yang lebih tinggi. Sebuah persembahan dari kita kepada Sang Pencipta, seperti yang diingatkan dalam ajaran bahwa bekerja adalah ibadah.
"Apapun yang kamu lakukan, lakukanlah seperti untuk Tuhan."Â Kalimat ini menekankan bahwa setiap tugas yang kita kerjakan, betapapun kecil atau rutinnya, bisa menjadi bagian dari jalan spiritual kita. Setiap tindakan memiliki nilai ketika dilakukan dengan niat yang tulus dan kesadaran bahwa itu adalah bagian dari ibadah.
Contoh tindakan dalam kesederhanaan :
Bekerja dengan Integritas : Sebagai karyawan, bekerja dengan jujur, disiplin, dan tanggung jawab adalah tindakan yang sederhana tetapi sangat bermakna. Saat kita bekerja dengan baik, tanpa menyimpang dari nilai-nilai moral, kita tidak hanya memenuhi tugas kita, tetapi juga mempersembahkan usaha kita sebagai ibadah. Dalam setiap email yang kita kirim, setiap laporan yang kita buat, setiap pelanggan yang kita layani, kita bisa membawa kesadaran spiritual bahwa pekerjaan kita adalah bentuk pelayanan.
Misal Seorang karyawan yang menyelesaikan tugasnya dengan benar dan tepat waktu, bukan karena takut pada atasan, tetapi karena dia merasa itu adalah tanggung jawab spiritual dan moralnya. Ia melayani bukan hanya untuk mendapatkan upah, tetapi karena ia merasa setiap pekerjaan adalah bentuk ibadah.
Memberikan Nilai Tambah dalam Pekerjaan : Â Lakukan lebih dari yang diminta. Meskipun tugas Anda mungkin terkesan biasa, cobalah untuk memberikan lebih banyak dari yang diharapkan, baik dalam kualitas kerja, ide-ide kreatif, atau kontribusi tambahan yang menunjukkan komitmen Anda. Dengan melampaui ekspektasi, Anda tidak hanya mempersembahkan pekerjaan Anda kepada atasan, tetapi juga kepada Tuhan, yang melihat usaha Anda dengan penuh kasih.
Contoh : Seorang karyawan yang mencari cara untuk menyederhanakan proses kerja demi efektivitas tim, bukan karena ingin pujian, tetapi karena ia ingin meninggalkan jejak kebaikan dan membantu timnya bekerja lebih baik.
Sangkan Paraning Dumadi: Dari Mana dan Ke Mana
Konsep Jawa lain yang terasa magis adalah "Sangkan Paraning dumadi", dari mana kita berasal, dan ke mana kita akan kembali. Filosofi ini mengingatkan kita bahwa hidup adalah perjalanan. Kita berasal dari asal yang lebih tinggi dan, pada akhirnya, kita semua akan kembali ke sana. Kesadaran ini memberikan perspektif yang lebih luas tentang hidup: kita tidak hanya di sini untuk menjalani rutinitas, tetapi untuk mengisi perjalanan hidup ini dengan makna yang akan kita bawa kembali ke asal kita.
Sebagai karyawan biasa, kita sering kali merasa kecil di tengah dunia yang begitu luas. Namun, filosofi sangkan paraning dumadi mengingatkan kita bahwa setiap individu, sekecil apa pun, memiliki peran dalam perjalanan besar kehidupan ini. Kita tidak hanya hidup untuk diri sendiri; kita adalah bagian dari perjalanan kolektif umat manusia, dan bagaimana kita menjalani hidup ini akan meninggalkan jejak dalam perjalanan itu.
Tujuan Hidup dalam Kesederhanaan
Dalam setiap langkah yang kita ambil sebagai karyawan biasa, ada kesempatan untuk menemukan tujuan yang lebih dalam. Memento mori mengingatkan kita bahwa hidup ini sementara, tetapi justru dalam keterbatasan itulah kita bisa menemukan makna sejati. Melalui tindakan sederhana sehari-hari, baik itu membantu rekan kerja, melakukan pekerjaan dengan penuh dedikasi, atau sekadar menghadirkan senyum kepada orang lain. Kita mulai merajut makna yang lebih dalam dari hidup kita.
Pada akhirnya, ketika kita pergi, bukan gaji atau jabatan yang akan dikenang, tetapi bagaimana kita hidup.
Kehidupan, betapapun sederhana, selalu memiliki tujuan. Kita hanya perlu menemukan apa itu dan menjalaninya dengan penuh kesadaran.
Duc in altum
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H