Kabar baik dari penjuru timur,
Sang Dewi t’lah diselamatkan dari keruh cokelat Ciliwung oleh Pak Semar—satu-satunya penjual ciu cangkol di antara semerbak toko parfum Jalan Raya Condet—yang akhirnya terjaga dari perenungan siang bolong mikirin nasib pancingan malangnya, oh sungguh nahas sejak kemunculan sang surya hingga terik cuma kecantol sendal lusuh gondal-gandul.
Bersamaan dengan Kang Cepot yang tanpa sepengetahuan Keluarga Punakawan sedang terseok meratap di bawah deras Kawasan Bogor sana, Si Bungsu Bagong bersorak-sorai kegirangan mendengar bunyi byurrr mendebur, salah paham dipikirnya Sang Dewi yang terguling-guling tercebur itu ingin ikut berenang-renang di antara gunungan sampah gelas pop ice dan tas spunbond berlogo berbagai fast food brands.
Terheran-heran melihat mbarep e Prabu Kresna tumbenan tenan turun Kahyangan, Gareng dan Petruk pun ikut bangkit dari posisi penak mereka geloyoran beralaskan tikar catur pinggir kali, cengengesan curi-curi kesempatan cipika-cipiki dengan Sang Dewi yang bolong pipinya semakin ceruk kecucuk hidung Petruk yang saking bangirnya terkadang ditanya apakah ada darah Arab, bual-bualan gombal yang tanpa gagal membuat Si Middle Child tersipu terlena basa-basi penjual buku voucher yang berkeliaran mencari mangsa di Grand Indonesia.
“Pulang lewat mana, mbae?” tanya Gareng siapa tahu bisa nebeng.
“Mendaki gunung lewati lembah, mengarungi sungai mengalir indah ke samudera,” tutur Sang Dewi, dalam batinnya yang buta arah tak tahu ngalor apalagi ngidul mengingat-ingat tembang yang sering didendangkan Ninja Hattori, tetangga sebelah barat daya sedari masa kecilnya yang ngefans banget sama Dewa19.
“Uwaduuu, adohe ra jamak rek! Wallahi, percayalah padaku, Dewi Cinta terduga titisan Sinta, daripada waktu berhargamu terlalu banyak tersita, mendingan kamu lurus terus lewat depan GIS, sekalian tolong titip salam rinduku untuk Miss Muthi dan Miss Nining.”
“Idih, males kena macetnya itu lho, bro. Banyak brondong bercelana cerah biru muda lari melompat-lompat dikejar anak TK yang kecil meloncat,” nyinyir Sang Dewi, perhatiannya was-was memantau shareloc wasaf takut kebablasan. “Eh, kendaraanku udah deket nih.”
Baru saja Gareng hendak bertanya apakah sosok supir Sang Dewi seghaib para jin kontraktor candi, ia berjengit terkaget-kaget terhuyung, eh, dhoyong ketika jeder guntur menyambar menyala geni persis 1,27 meter di atas konde kuyup Bagong. Rupanya itulah jemputan keramat namun kasatmata Sang Dewi.
“See you later, alligator!” pekik keminggris Sang Dewi saat kepalanya sudah aman terbalut helm SNI motif mega mendung, membuat Bagong yang masih mengapung gaya punggung keringat dingin bergegas kecipak-kecipuk melipir dengan cemas.
Dalam perjalanan menukik Langit Ketujuh menunggangi Burung Jatayu—cengtri sama Hanuman dan Romo Sindhunata terbang tak gentar dihadang tilang karena di antara terang bintang tak ada itu akal-akalan Pasukan Halodek bernama ETLE—terdengar oleh Sang Dewi riuh rendah pesta pora hip hip hura dari sebuah perhelatan rakyat yang diramaikan oleh Sandyakala sebagai headliner, dan mohon maklum anaknya kepoan banget maka bertanyalah ia kepada gurunya, “Mereka tampak tak sengsara, Romo, bukankah itu petuahmu tentang nasib manusia ketika Patih Sengkuni berakhir ndheprok?”
Hanuman ngikik mendengar pertanyaan naif Sang Dewi, “Oh, Baginda Dewi, yang elok parasnya pasti membuat Rahwana pun swipe kanan tanpa pikir panjang kali lebar, kowe iki pancen ayu tenan tapi koq goblog.”
Tak sudi di-roasting manusia ataupun hewan yang berkulit maupun berbulu putih, Sang Dewi sewot menoyor Si Kunyuk, “Monyet lu!”
“Yhaaa, situ baru ngeh? Matamu picek, cok!” Hanuman melet-melet, lidahnya terjulur membiru menjijikkan berbekas es vanilla blue.
Sebelum adu bacot menjadi adu jotos, Romo Sindhunata menengahi, casciscus dalam kromo inggil yang setangkap Sang Dewi berjiwa Jaksel to the bone sekiranya begini, “Sedianya di kala fajar menghajar mundur lelap gelap seribu satu malam, semua harapan akan dimulai. Kebetulan tahun ini jatuh bersamaan dengan perayaan ke-23 sejak terbit Lembut Lembayung yang hadir melengkapi semarak spektrum kehidupan.”
“Opo Lembayung iku sama dengan warna fandom biasku Jeon Jungkook yang punya enam hyung? Nek cen kui aku ngerti, Romo,” tebak-tebak tak berhadiah Sang Dewi dengan sok tahu.
Hanuman ora paham pop culture selain film-film India, namun Romo Sindhunata tergelak tertawa lucu. “Deretan malaikat mengaminkan, Sridewi Asmaracinta memang multitalenta, jadi srimulat pun berbakat,” ujarnya menghela napas perut menyeka air mata haru di balik kacamata agar bisa menerawang jauh ke pemukiman pribumi berderet-deret empet-empetan memenuhi permukaan bumi, “Lembut Lembayung adalah pemuda yang sedang bergembira bergairah meraih mimpi yang belum usai tuk digapai.”
“Yang tinggi semampai dengan lengan bertato lagi nge-DJ itu?” tanya Sang Dewi menengok-nengok menelaah sekumpulan anak adam sejumlah dua tim bola plus pemain cadangan dan wasit berkepala warna-warni, ada yang hijau ngejreng mentereng, ada pula yang merona seperti seroja, tapi tak ada yang putih jersey Real Madrid.
“Oh, bukan, itu mah Johnny, neng. Tampan sosoknya kuyakin seakan sejelas semut di seberang lautan, tetapi percayalah, nak, ia hanya sebatas anganmu yang terbuai bayangan semu mahakarya kapitalis bengis,” jawab Romo, kepalanya yang ubannya tentu tak sebanyak ilmunya menggeleng-geleng, mulutnya komat-kamit merapal mantra yang di telinga Sang Dewi saking sungguh asingnya hanya tertangkap setiap syllable awalnya, terdengar kurang nombok lebih kembalian seperti a.. ca.. la… pa… ti….
Bukan sulap bukan sihir, bukan pula bimsalabim jadi apa prok prok prok, seketika raga Sang Dewi satset bergeser dari pundak Jatayu beralih bertengger di pucuk pohon beringin, helai rapuh rambut panjangnya yang darurat vitamin dan hair tonic melambai-lambai genit mengikuti arah angin menyapa sudut timur. Khawatir rambutnya akan semakin lepek, dengan bantuan kelihaian bergelayut Hanuman yang berulang kali meledek, “Wayolooo nek tak culke nggeblak kowe!” Sang Dewi berhasil turun menjejak tanah meski berakhir ngap-ngapan kehausan setelah terus-terusan menjerit manja tak biasa memanjat-manjat.
Di bawah teduh rindang beringin berakar besar menjalar yang membuatnya kokoh berdiri melindungi seluruh rakyat Indonesia, dan diiringi tangis bombay Mbok Kunti teringat suaminya Jrangkong yang terjerat hutang budi pada para tukang judi, sesaat kemudian Romo Sindhunata t’lah selesai bertapa.
“Kamu sudah bisa menemuinya sekarang, Cah Ayu,” Romo memberi tahu.
“Siapa?”
“Pemuda itu.”
“Yang nanya? Wleee!” Sang Dewi cekikikan berlarian pecicilan, mengangkat rok lilit batik kekiniannya lalu lay-up bak Stephen Curry agar bisa toss dengan Hanuman yang masih menggelayut, mulutnya berkedut menahan tawa tertahan hormat pada Sang Romo.
Puas terpingkal-pingkal hingga hampir tersandung nila setitik dan amit-amit terjungkal lagi ke Ciliwung yang sekotor rusak susu sebelanga, Sridewi Asmaracinta kembali berpose persis arca dewi yang menitis padanya dan berdeham duarius. Ujarnya merajuk membujuk, “Ih, nggak usah deh, Romo. Aku nggak mau ketemu sama dia ah, Romo. I mean, like, look at my reworked jacket! This sh*t looks like a goddamn mess after my dumbass fell into that dirty ass river. And I’m not even wearing shoes, Doc Martens aku kan tadi terikut hanyut bersama kenangan mantanku.”
“Nak, yakinlah bahwa lelaki yang kuat iman menjaga pandangan tak akan sadar wanita di depan matanya memakai brand ternama dari butik Plaza Indonesia atau barang thrift hasil mengulik Blok M Plaza,” Romo Sindhunata meyakinkan Sang Dewi yang ia pahami sukmanya mulai terusik panik, khawatir meninggalkan first impression yang kurang mengagungkan flawless perfection.
“Tapi, Romo, dengan penampilanku sekarang ini yang bagai wanita tak bermoral minim modal, kalau dia mengira aku ini binatang jalang yang dari kumpulannya terbuang, gimana, Romo?” benak Sang Dewi masih saja tersangkut poros pertanyaan yang sampai pungkasan pun tak ada habis putarannya.
“Dasar bawel, lambemu dower kakehan ngomel,” sela Hanuman mencak-mencak melompat turun, berdecak-decak gemas oleh cemas kekanakan Sang Dewi. “Tak perlu kau meracau mengacaukan mood-ku untuk nyebat, aku punya cetusan solusi untukmu agar bisa menemui Si Ungu tanpa banyak cuap-cuap.”
“Piye?”
“Kamu harus jadi kucing.”
“Hah? Maksudmu seperti cosplayers yang mencari nafkah mengemis hadiah dari para penggemar neko-nekoan itu? Memange wong Arab ono sing wibu?”
“Yo kocheng tenanan, cok,” sambar Hanuman lagi-lagi tak menangkap candaan garing Sang Dewi. Maklum, tak pernah para wanara bersanjang ke dunia Twitch maupun Tiktok karena terlalu jauh dari Kerajaan Kiskenda dan ongkos PP kalau pakai GoGaruda terlalu mihil tak terjangkau UMR mereka yang kebanyakan masih kaum mendang-mending.
Dengan telunjuknya, sang patih yang hanya sepenuhnya patuh pada Raja Sugriwa itu mengelus-elus mengunyer-unyer ubun-ubun Sang Dewi, merapal sajak bertajuk “To Be or Not to Be Doo Bee Doo Baa Ee” yang diimbuhi mantra-mantra khusus sedemikian khusyu hingga jiwa raga Sang Dewi bergejolak dan terdengarlah oleh seluruh kota, yang merupakan tempat bermain yang asyik oh senangnya Hanuman dan Sinchan, bunyi nyaring gemerincing cringgg!
Wow, keren. Sridewi Asmaracinta, Si Nepo Baby yang terkadang neko-neko, kini t’lah menjelma menjadi kucing hitam dengan bulan sabit di antara binar bundar mata anime-nya.
“Pspspsps,” bisik Romo Sindhunata berjongkok ndhodhok, jari-jemari tangan kanan menjentik-jentik sementara yang kiri memegangi sesachet treat lezat. Diberinya Si Kucing Hitam beberapa nikmat jilat cream yang sangat menggiurkan air liur, lalu bertuahlah Sang Romo dalam bahasa kalbu yang kucing garong, trio macan, bahkan para buaya teknik jebolan PTN ternama pun fasih, “Anakku sing ayu, anabulku sing tingkahe bikin ngguyu, pergi temui Lembut Lembayung dan pulanglah membawa apa yang s’lama ini kau inginkan untuk dirimu sendiri.”
“Tapi ingat,” hardik Hanuman, rokok kretek di sela jemari siap dibakar oleh percikan api kecil yang tentu tak seberapa dibandingkan kobaran yang pernah mengobongnya hidup-hidup, “Ojo menggok, ojo noleh. Bablas wae. Kucing bernyawa sembilan itu sekedar dongeng sebelum tidur karangan penulis nganggur yang sehari-hari hanya melantur, hidup di dunia sesungguhnya hanyalah sekali sebelum modyar, so focus on your goal!”
Si Siluman Hitam memiringkan wajah kecil berkumis putihnya 25,3 derajat ke kiri, 21,6 derajat ke kanan masing-masing sebanyak 2x8 hitungan, tanpa rumit mengisyaratkan bahwa ia mengerti. Namun dasar utekke kucing, yang terbayang-bayang olehnya untuk dibungkus pulang adalah sekarung Royal Canin dan mungkin beberapa dus creamy treats berbagai rasa. Kalau bisa sekaligus semuanya dikirim via JNE YES, biar sampai dengan cepat dan tanpa salah alamat bagai bidikan panah asmara Mas Arjuna—sosok suami yang cinta mati sebegitu menyayangi Mbak Srikandi sang adinda aduhai pujaan hati—yang s’lalu tokcer tepat sasaran gitu, lho. Dirinya sungguh tak sabaran menunggu dering ring ding dong ring ding dong diggy ding diggy ding ding ding berkumandang memecah hening rumah, pertanda kedatangan kang paket necis yang ngakunya sih bernama Taemin.
Melenggok-lenggok catwalk bagai supermodel lah sang kucing jadi-jadian melintasi pekarangan sebuah rumah yang mewahnya ra ketulungan, meliuk menyusuri jarak sejengkal di antara pot-pot mahal berbunga langka tanpa khawatir disuruh ganti rugi oleh si empunya yang usut punya usut adalah istri pejabat eselon 3, lalu melompat cekatan ke tepian atap. Disertai bimbingan insting hewani, mata batin, indera keenam, dan doa ibu, keempat kaki-kaki lentur sang kucing bergantian melangkah mendaki genteng cokelat kemerahan, terus hingga mencapai ujung pangkal dekat penangkal petir, spot terfavorit Lembut Lembayung untuk menikmati anugerah semesta berupa terbit dan tenggelam mentari, sedari terang hingga temaram bersenang hati penuh tentram bernyanyi-nyanyi dengan suara merdu nan syahdu yang desibelnya hanya bisa didengar makhluk tertentu.
“Sudah katakan cinta, sudah kubilang sayang, namun kau hanya diam tersen—wahhh, keren gils, kucing jenis apa kah ini? Lucu banget anjir,” Lembut Lembayung seketika berhenti bersenandung, hati pengabdi kucingnya terpana oleh tatapan kedua mata runcing Si Black Cat yang resting b*tch face-nya membuat setiap lirikan dan ekspresi, mau terbengong-bengong biasa kepikiran hilal jodoh, mau bermimik nggilani ketika lagi jaranan mlumpat-lumpat style gangnam, ataupun kesurupan tenanan mlayu-mlayu kedanan, sama aja terlihat judes.
“Miauw?” Dewi Kucing mengetes nada mengeong-ngeong kek mana yang terdengar paling imut tanpa terkesan pick me.
“Sini, sini, felis catus, maukah dirimu yang lucu berbulu-bulu halus diriku pick up tuk tak gendong kemana-mana?” Lembut Lembayung menawarkan penuh sopan santun.
“Mauuww,” sahut Dewi Kucing, yakin bahwa meongan yang nadanya satu oktav lebih rendah ini jelas maksudnya apa. Tentu saja, meski sedang bertopeng kucing, jiwa-jiwa anak perempuan pertama dengan inner child yang meronta-ronta selalu ingin dipeluk ditimang-timang dan dipuk-puk dibisik-bisikkan, you’re doing so well, everything’s going to be okay, this too shall pass.
Lembut Lembayung pun dengan penuh kehati-hatian mengangkat tubuh ringan Si Kucing yang perwujudan manusianya cukup menjulang di atas rata-rata wanita nusantara dan menurut testimoni teman-teman sepermainan surgawinya di Taman Sriwedari tuh #bodygoals banget membuat iri dengki meski memang Sang Dewi terlahir a skinny b*tch tanpa harus diet ala-ala.
“Lo kecil banget anjir,” Lembut Lembayung tanpa sadar agak random mengomentari. Bibirnya pun langsung mingkem diam seribu bahasa, tapi karena ini perkataan yang terlontar secara spontan live in action jadi ya nggak ada opsi untuk di-unsend. Berusaha menenangkan hatinya agar berhenti jedag-jedug dag dig dug duarrr mengkhawatirkan guna lisan menjaga ucapan, Lembut Lembayung mengelus-ngelus halus bulu kuping berpendengaran tajam sang kucing hingga helai-helai hitam legam berterbangan seperti tiupan dandelion pengabul keinginan, lalu memangkunya di atas kedua kaki bersila bak dewa-dewa kuno yang kini hanya relief dahulu bertapa. Ketika sudah pewe dalam comfort zone-nya Si Kucing mengeong tenang pertanda senang, tak pernah lagi mau diubah-ubah oleh perkembangan zaman ataupun digusur pemerintah.
Berdua bersama dalam diam di atas genteng, jauh dari hiruk-pikuk ibukota dan gemerlap dunia malam penuh arak memabukkan, hanya sesekali disambut sepoi angin menyejukkan yang membawa semerbak wangi Lembut Lembayung mengelilingi Si Kucing Hitam dari semua sudut dan meruntun ke dalam jiwa, oh sungguh rumus jitu ketenangan batin itu sederhana rupanya. Perempuan titisan dewi berkedok kucing anime itu bolak-balik hampir saja ketiduran, pacilnya terkantuk-kantuk merem-melek rep-repan, saking nyamannya lupa akan segala fana, bahkan tak lagi teringat-ingat sebentar lagi Mas Agus yang juga sering dimirip-miripin kucing akan menggebrak-gedubrak ICE BSD dengan dahsyat irama bombastis "Daechwita", tak ingat betapa dibandrol sedemikian mahal barang-barang berlogo Balenciaga yang didambakan para OKB, tak ingat pula rasa-rasa kopi Starbucks racikan Mas Bakja yang hobi menggambar ikan-ikanan berenang di antara kosmos.
Sepersekian detik sebelum kesadaran Dewi Kucing memasuki dimensi mistik penuh kejanggalan di mana gigi-giginya sering kali tanggal, tajam telinganya mensinyalir sayup-sayup paduan suara bersyair icikiwir, “Hari ini, hari yang kau tunggu, bertambah satu tahun usiamu, bahagialah kamu…” dan melompatlah sang siluman dari pangkuan Lembut Lembayung agar kaki-kaki jenjang pemuda itu tak lagi kesemutan dan bisa berdiri tegak tuk ikut berbahagia tanpa harus bertepuk sebelah tangan.
Memang tak ada perlu meragukan perkataan Romo Sindhunata, tepat pada hari ke-25 bulan Maret tahun ini merupakan peringatan ke-23 kehadiran Lembut Lembayung, dengan penuh sukacita dirayakan oleh keenam kawan-kawan terdekatnya yang datang berduyun-duyun heboh mengusung kue bertuliskan HAPPY LEMBAYUNG DAY. Dengan terang benderang lilin-lilin yang t’lah disulut, ramai-ramai mereka bersahutan bernyanyi lagu Jamrud versi dangdut, berjoget-joget bergoyang dombret dilatari holopis kuntul baris dan balon-balon helium warna biru metalik, abu-abu, perak, dan putih yang ikut meliuk ke kanan dan ke kiri menari-nari di angkasa. Kehangatan menjalari hati kecil Sang Dewi melihat Lembut Lembayung tertawa sumringah, sorot matanya yang selalu memancarkan kejujuran bersih nuraninya tak bisa menutupi keharuan menyadari hari spesialnya ternyata akan abadi dikenang banyak orang.
Dalam perwujudan spesies fauna yang sejatinya karnivore tentu Sang Dewi tak diperbolehkan mengicip kue ulang tahun yang dipesan dari sebuah bakery di SCBD dan diantar ke Condet pakai GoCar tak berpenumpang, tetapi Lembut Lembayung tetap mengajaknya duduk-duduk nongkrong penuh canda tawa keakraban dan kepada siluman kecil malu-malu kucing itu tak lupa ia memperkenalkan teman-temannya satu per satu.
Mereka adalah Arunika yang s’lalu mengawali hari dengan positive vibes sehingga selalu terang dalam harapan, Chandramawa yang penuh kebijakan memahami yang tak pernah dirasakan dan memaafkan yang tak bisa dilupakan, Lalita sang adinda jelita cipta karya nan rupawan yang pesonanya menyinari kehidupan namun tetap selalu membumi, Palawa yang telah hancur dalam perjuangan dan akhirnya merasa jua kebajikan raga, Tila yang kecakapan wicaranya menyempurnakan tali silaturahmi mereka agar tak menjadi sia-sia, dan last but not least tentu tak lupa Raihan, satu-satunya manusia tulen dan bukan lelembut, yang sibuk memotret-motret menggunakan kamera ajaib pinjaman dari Doraemon.
Bersama-sama mengiringi Lembut Lembayung mendayu-dayu membawakan lagu-lagu Melayu, dengan kompak kawanan sekawan lama itu nyengir-nyengir memainkan musik asik, ada yang menggonjreng gitar akustik, ada yang memetik lentik kecapi, ada yang berseruling sunda, dan ada juga yang memukul kenong nong ji nong ro nong nong ji nong ro.
Dan meski dalam perwujudan hewan mamalia yang bukan lah manusia tentu Sang Dewi tak diperkenankan takdir untuk menimpali dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai EYD dan KBBI, benaknya tetap bisa menangkap segala percakapan di antara mereka yang topiknya terbentang sejauh mata memandang, ocehan mereka tiada henti kesana kemari membahas segala hal mulai dari perdebatan tidak penting apakah pantat merupakan satu kesatuan atau berbongkah membelah dua, hingga yang lebih sarat makna seperti kisah-kisah nabi, serta rancangan anggaran yang dibutuhkan untuk mereka terus berkarya.
Mungkin memang benar adanya pepatah jangan pernah menilai buku dari sampulnya—terkecuali kalau pilihan font-nya bikin sakit mata dan ketika dibuka dalamnya bertebaran typo pula—karena tak pernah Sang Dewi mengira bahwa lelaki berpenampilan sedikit brandalan ini ternyata jika ditelaah jauh ke dalam relung hatinya terdapat jiwa muda membara yang penuh keteguhan memegang kuat idealisme sebagai pondasi penyokong kegigihannya mengejar mimpi-mimpi yang oh sungguh begitu tinggi seperti perawakannya, mengingatkan Sang Dewi kepada kelima kakak tingkatnya yang masing-masing sukses sebagai pandawa di Langit Tertinggi.
Meski pertemuan di antara mereka begitu singkat, sebagai pendengar setia segala kisah-kasih yang t’lah Lembut Lembayung arungi, Sang Dewi teryakinkan bahwa pemuda itu berkesabaran tanpa batas layaknya Yudistira, berkarakter kuat dan bersifat petarung pemberani sesakti Bima, memiliki ketekunan dalam mengasah kepiawaian keahlian yang didalaminya bagai Arjuna, menjaga kesetiaan sejati sepenuh hati dan s’lalu taat patuh kepada orangtua ala Nakula, dan tentunya berwatak bijaksana serta amanah mencontoh Sadewa.
Digempur rindu akan kampung halaman di Borodur, Magelang, dan segala tokoh pewayangan yang semasa kecil sering dikisahkan padanya oleh nenek moyang, melalui kekuatan batin yang untung saja semalam sudah diupdate software-nya agar lancar tanpa hambatan, Sang Dewi menghubungi Hanuman yang menurut tebakan intelijennya sudah menghabiskan setidaknya tiga bungkus rokok dan dua setengah cangkir bandrek.
Masih setia menunggu di bawah pohon beringin bersama Romo Sindhunata yang sedang bercengkrama dengan driver GoCar bernama Purnomo, sang patih yang di bawah terang lampu semprong sedang sibuk membaca dengan mudah tanpa loading menangkap sinyal permintaan Sang Dewi. Dan benar saja, langsung diletakkan buku Anak Bajang Mengayun Bulan yang masih basah dengan bubuhan tanda tangan penulisnya, dibuangnya puntung rokok kesekian puluhnya, dan diseruput habis gelas ketiga bandrek yang masih ngebul. Dengan mata terpejam penuh konsentrasi melantunkan mantra mandraguna, "Arep ngene lah arep ngono lah bebas wae lah ora masalah, aku ngene kowe ngono digowo santai wae lho," Hanuman mencabut satu bulu terpanjang yang menumbuhi merambati ketiak mambu kupat kecemplung ning njero santen, sebuah syarat tanpa tawar menawar untuk mengembalikan Sridewi Asmaracinta ke perwujudan yang paling ia gemari berupa gadis muda yang di hari pertama musim panas setiap tahunnya semakin dewasa.
“Loh, kok kayaknya gue kenal sama lo, deh?” Lembut Lembayung sama sekali tak terkesiap mendapati kucing yang tadi dipangkunya abracadbra berubah menjadi Dewi Cinta, sebab ia yakin pernah merasakan frekuensi jiwa wanita itu yang terasa sungguh familiar, entah di mana, bisa jadi dahulu kala di zaman megalitikum atau mungkin lebih jauh lagi di kehidupan lampau ketika dirinya masih menetap di Kahyangan dengan nama Kamadewa, masa-masa indah yang kini mulai samar sebelum ia diutus turun ke katulistiwa dengan tugas mulia meneruskan upaya Raden Ramacandra melestarikan kebudayaan nusantara.
“Itu lho, bro, awake dhewe weruh wedhok iki bar lebaran bareng-bareng bertamasya ke Candi Prambanan,” ujar Palawa yang alumni UGM dan tentunya hapal semua lika-liku jalanan di DIY sebaik ia bisa merapal di luar kepala setiap bait lirik Jogja Hiphop Foundation.
“Oalahhh, yayaya,” Lembut Lembayung mengangguk-angguk meski ingatannya masih sedikit berkabut terkena debu Merapi saat lava tour naik jeep ajrut-ajrutan ra karuan. Lalu, teringat tanggung jawabnya sebagai lelaki, Lembut Lembayung bertanya kepada apa yang dikiranya perempuan biasa itu, “Lo datang tanpa diundang, tapi apakah bersedia pulang diantar naik vespa? Baru aja adik gue ambilin dari bengkel tuh kemarin.”
Sungguh disayangkan, dikarenakan lidah kucingnya masih sedikit kelu belum kembali terbiasa berceloteh dalam bahasa ibu berlogat khas tongkrongan Condet, Sang Dewi hanya terdiam mematung. Namun, dasarnya memang Sridewi Asmaracinta ini dikaruniai kreativitas di luar nalar, maka otak cerdas tanpa batasnya bersinergi dengan ketulusan hati menyusun karangan puisi seribu puja-puji dan epos pewayangan yang dikemas modern, sebuah hasil karya yang ia harap mewakilkan apa yang ingin ia sampaikan pada Lembut Lembayung.
Ngintip-ngintip dari balik kepakan sayap Jatayu yang jadwal penerbangannya tak lagi delayed, Hanuman gemas kepingin ngunyel-ngunyel kedua muda-mudi bodoh itu, maka ia salurkan bantuan energi agar Sang Dewi setidaknya bisa oek oek khas bayi atau mengeja goo goo ga ga seperti balita. Sungguh kera sakti memang sang patih, dengan kedua bongkah bibir ala Bratz bergincu Ruby Woo keluaran MAC, tanpa menunggu nanti-nanti akhirnya segala isi pikiran Sang Dewi yang kadung campur aduk tumpah ruah melebihi word count yang direncanakan di awal.
Sebelum tirai menutup babak ini agar Sang Dewi bisa memenuhi panggilan Allah SWT untuk menunaikan ibadah umrah bersama Eyang Kakung—sosok ayah berwibawa dan panutan bagi Prabu Kresna—yang kepada cucu tersayangnya pasti akan menceritakan lebih banyak lagi kisah wayang penuh inspirasi dan pelajaran hidup, diambilnya selangkah maju kemudian ujarnya tersenyum kepada Lembut Lembayung,
“Yakinlah s’lalu pada kokoh pijakanmu,
bergelinang kepercayaan diri merah mendarah daging,
terukir indah senyum jingga terus terang,
bernaung hijau sejuk jiwa dalam peluk akrab ketentraman,
berlatar gradien cinta kasih bermekaran,
berakar pada indigo integritas mengarungi turbulensi,
menjalar beralur emas bermuara di semarak prisma kehidupan, —
berlari bersama deru angin menukik birunya langit,
mewarnai semesta dengan pelangi corakmu,
meraih perak rembulan tanpa terjatuh di antara awan,
bersatu dengan binar bima sakti tak takut terlekang bintang,
karena putih tawa lepasmu selalu diiringi simfoni kahyangan,
disaksikan jajaran jernih malaikat berseri-seri mengamini,
untukmu yang terkasih,
senyawa roh yang terpilih,
terbebas dari kelam hitam karma.”
— To be continued… (tergantung mood)
P.S. Thank you to Kemalala (birthday boy 🙌🏻✨🌚🌝💫🔥💝💜🎉🎹🎶🫶🏻) & Sandyakala (Acalapati) + Romo Sindhunata (Air Kata-Kata, Anak Bajang Mengayun Bulan) + Jogja Hiphop Foundation / JHF (Semar Mesem Romo Mendem, Ngene / Ngono) + Sujiwo Tejo (Rahvayana) for the inspirations. This was so fun to write wkwkwk
:)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H