Namun sayang, dalam praktiknya, buah pikiran Bung Hatta nampaknya hanya menjadi angan-angan semata. Pasalnya, melihat kondisi perekonomian Indonesia saat ini, tampaknya masih jauh dari penerapan asas-asas demokrasi ekonomi. Prinsip pembangunan yang terjadi sekarang hanya berfokus pada penciptaan pertumbuhan tanpa penciptaan nilai tambah bagi seluruh segmen masyarakat. Contoh mudahnya dapat dilihat pada periode 2008--2012, ketika terjadi peningkatan harga komoditas dunia yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat secara tiba-tiba. Di waktu yang bersamaan, indeks Gini Indonesia juga mengalami peningkatan secara signifikan (Verico, 2024). Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang dialami Indonesia tidak bersifat inklusif, mengindikasikan adanya otokrasi ekonomi dalam sistem perekonomian, di mana sebagian besar 'kue' hanya dinikmati oleh segelintir orang.
Fenomena ini serta kisah kemalangan Maman di atas sebenarnya sudah cukup menggambarkan bagaimana hubungan ekonomi subordinatif 'Tuan-Hamba' ataupun 'Majikan-Buruh' masih mendarah daging dalam perekonomian Indonesia (Edi Swasono, 2019). Buah dari penerapan sistem ekonomi yang mengedepankan self-interest atau ketamakan, yang memperbolehkan terjadinya eksploitasi terhadap masyarakat miskin oleh kekuatan ekonomi besar.
Alhasil, prinsip 'keterbawasertaan' yang diimpikan oleh Bung Hatta masih jauh dari kata terwujud. Alih-alih 'terbawa serta,' usaha kecil seperti pedagang kaki lima, usaha informal, pasar rakyat, dan pasar tradisional justru tergusur dengan adanya pembangunan mal atau supermarket. Para petani kecil masih harus berdamai dengan kenyataan bahwa uang hasil panen gabah mereka tak lebih dari cukup untuk menyediakan sepiring nasi di meja makan mereka setiap hari. Sungguh ironis, bagaimana setelah 79 tahun Indonesia merdeka, masih banyak masyarakat yang harus menerima nasib bahwa mereka hanyalah sekadar 'jongos' di negeri sendiri.Â
Sumber:Â
Marini, P. (2021, March). Kisah miris Negeri Agraris | The Columnist. The Columnist. https://thecolumnist.id/artikel/kisah-miris-negeri-agraris-1546
Santia, T. (2023, November 23). Mantan Wamentan Miris Pendapatan Petani Indonesia Masih di Bawah UMP, Rata-rata Rp 1 Juta. liputan6.com. https://www.liputan6.com/bisnis/read/5462970/mantan-wamentan-miris-pendapatan-petani-indonesia-masih-di-bawah-ump-rata-rata-rp-1-juta
Brink, T. T. (2013). Paradoxes of prosperity in China's new capitalism. Journal of Current Chinese Affairs, 42(4), 17--44. https://doi.org/10.1177/186810261304200402
Haifeng Liao, F., & Dennis Wei, Y. (2016). Regional Inequality in China: Trends, Scales and Mechanisms. RIMISP. https://www.rimisp.org/wp-content/files_mf/1473279216202_FH_Liao_YD_Wei.pdf
Susilo, S. a. J. G. B. M. M. F. R. H. (2024, June 13). Kisah Miris Petani di Negeri Agraris. kompas.id. https://www.kompas.id/baca/investigasi/2024/06/05/kisah-miris-petani-di-negeri-agraris
IMF. (2018, May 10). What is capitalism? https://www.imf.org/en/Publications/fandd/issues/Series/Back-to-Basics/CapitalismÂ
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!