Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hattanomics: Demokrasi Ekonomi sebagai Antitesis Kapitalisme

1 November 2024   20:19 Diperbarui: 1 November 2024   20:30 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Panggil saja Maman, seorang petani gurem yang setiap pagi rutin bergelut dengan padi serta teriknya matahari demi menghidupi istri dan dua anaknya yang masih kecil. Sebagai seseorang yang lahir dari keluarga yang serba sederhana, Maman tak mendapatkan peninggalan apa pun dari kedua orangtuanya; bahkan, ladang sawah seluas seperempat hektare pun Maman tak punya. Maman menggantungkan nasib hidupnya pada sawah sewaan seluas 4.500 meter persegi yang dihargai 15 juta rupiah per tahun. Jika beruntung, dalam setahun ia bisa menghasilkan hingga 3 ton gabah setiap kali musim panen. Hasil yang cukup lumayan bagi seorang petani gurem.

Namun sayang sebagai petani, selain dilanda kecemasan mengenai kehadiran hama yang dapat merusak hasil panen nya, sehari-hari Maman juga gundah dengan keberadaan tengkulak yang dapat merusak harga jual gabah milik nya. Pasalnya, pada saat panen raya tiba, petani-petani kecil seperti Maman tidak berdaya menghadapi tengkulak yang terus menekan harga mereka. Walaupun awalnya menolak, namun karena tidak memiliki tempat penyimpanan dan akses ke pasar, Maman terpaksa melepas hasil gabahnya kepada tengkulak dengan harga sangat murah.

Alhasil, jerih payah serta kesabaran Maman selama setengah tahun hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga selama dua bulan. Selebihnya? Sebagai lulusan sekolah dasar, Maman terpaksa bekerja sebagai buruh tani sambil menunggu musim panen berikutnya. Sejahterakah? Tentu saja tidak. Setiap bulannya sebagai buruh tani ia hanya mampu mengantongi tidak lebih dari dua juta rupiah, tak lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Itupun tidak menentu, pasalnya pekerjaan sebagai buruh tani tidak selalu ada. Acap kali Maman dapat menganggur berminggu-minggu karena tawaran menggarap ladang tidak kunjung datang.  

Melihat kisah Maman, tampaknya tak ada yang lebih tabah dari seorang petani. Lahir di negeri yang subur, makmur, dan kaya akan kekayaan alamnya, negeri yang saat kecil dulu sering diceritakan bahwa apa pun bisa tumbuh subur di atasnya. Negeri dengan lahan sawah yang membentang seluas puluhan juta hektare. Alih-alih sejahtera, nasib sial malah menimpa puluhan juta petani seperti Maman yang  selalu dihantui kegelisahan: apakah hasil panen mereka akan cukup memberi makan keluarga selama enam bulan ke depan?

Dominasi Sistem Kapitalisme

Kisah miris Maman serta puluhan juta petani lainnya merupakan buah dari semakin tercemarnya perekonomian kita oleh sistem kapitalismeebuah sistem yang mengedepankan kepercayaan bahwa self-interest atau kepentingan pribadi akan membawa kesejahteraan bagi perekonomian secara keseluruhan (IMF, 2018). Sistem kapitalisme yang mengutamakan perilaku kompetitif ini menjadi paham mainstream dalam arah pembangunan banyak negara. Pasalnya, sudah banyak bukti konkret mengenai negara-negara yang mengalami pertumbuhan pesat setelah mengadopsi sistem pasar bebas ini. Salah satunya  Cina, yang setelah bertransformasi menjadi sistem kapitalis pada tahun 1990, mampu menumbuhkan PDB secara pesat dari $360 miliar menjadi $9.5 triliun pada tahun 2013 (World Bank).

Figur 1: Gini Index & Interregional Inequality in China 1982-2012 (Haifeng Liao & Dennis Wei, 2016)
Figur 1: Gini Index & Interregional Inequality in China 1982-2012 (Haifeng Liao & Dennis Wei, 2016)
Cukup menggiurkan, bukan? Melesat menjadi salah satu negara adidaya hanya dalam kurun waktu tidak lebih dari 25 tahun. Namun sayang, kenyataannya tak seindah itu. Setelah bertransformasi menjadi sistem kapitalis, muncul permasalahan baru bagi Cina di saat yang bersamaan, yakni melebarnya kesenjangan pendapatan di tengah masyarakat. Hal ini terlihat dari meningkatnya koefisien Gini serta tingkat kesenjangan antar daerah daerah sebesar 18% dan 36% pada periode yang sama, menandakan distribusi pendapatan yang semakin tidak merata di Cina setelah menganut sistem ekonomi kapitalis (Haifeng Liao & Dennis Wei, 2016). 

Figur 2: Cause of Economic Inequality  (Core: The Economics, 2017)
Figur 2: Cause of Economic Inequality  (Core: The Economics, 2017)

Hal ini muncul karena Cina mengalami penyakit klasik negara maju yang disebut sebagai "Paradoxes of Prosperity",di mana pertumbuhan yang dihasilkan oleh sistem kapitalisme cenderung diikuti dengan meningkatnya kesenjangan sosial karena hanya dapat dinikmati oleh sebagian segmen masyarakat, sedangkan sebagian lainnya tetap miskin akibat distribusi kekayaan yang tidak merata (Brink, 2013). Hal ini terjadi karena kapitalisme sebagai sebuah sistem yang bertumpu pada "daulat pasar", menjadikan peran modal sebagai "sentra substansial" dan cenderung mengesampingkan peran manusia menjadi "marginal residual" (Edi Swasono, 2019). Alhasil, sistem ekonomi kapitalis menjadikan modal sebagai determinan utama kesuksesan.

Di dalam sistem kapitalisme, sekadar memiliki keterampilan, kemampuan, ataupun keahlian saja tidak cukup untuk mengubah status sosial seseorang. Dibutuhkan modal atau endowment, yang didefinisikan sebagai sesuatu yang dimiliki individu yang dapat memengaruhi pendapatannya (Core: The Economics, 2017). Tanpa adanya endowment, akan sulit bagi seseorang untuk menaiki tangga sosial dalam sistem ekonomi kapitalis. Contohnya Maman, sebagai seorang yang dilahirkan dari keluarga yang jauh dari kata berkecukupan, Maman tumbuh tanpa adanya warisan dari kedua orangtuanya. Dalam kehidupan, yang ia miliki hanyalah secarik kertas bukti bahwa ia pernah menempuh pendidikan sekolah dasar serta kemampuan yang ia miliki dalam bertani. Sedangkan di sisi lain, ada seorang juragan beras yang membutuhkan buruh tani untuk mengolah sepetak lahan warisan orangtuanya. 

Melalui sistem kapitalisme, mekanisme pasar bebas nantinya memungkinkan kedua aktor ini bertemu sebagai pihak yang sama-sama membutuhkan. Namun, meskipun berada di posisi yang sama, hasil yang diperoleh Maman dengan sang juragan beras melalui interaksi ekonomi mereka nantinya akan sangat berbeda. Sebagai buruh tani berpendidikan rendah, Maman sangat mudah dieksploitasi oleh juragan beras agar memberikan jasanya dengan harga termurah. Hal ini terjadi karena sebagai buruh tani, Maman memiliki bargaining power yang jauh lebih rendah dibandingkan sang juragan beras. Jumlah buruh tani sangatlah banyak, sedangkan pemilik lahan sangat sedikit. Jika Maman tidak setuju dengan tawaran pekerjaan, sang juragan dapat dengan mudah beralih kepada buruh tani lain yang rela dibayar lebih murah daripada Maman. Sementara itu, Maman harus menunggu lagi adanya tawaran pekerjaan, yang setiap minggunya pun belum tentu ada.

Begitulah gambaran interaksi dalam perekonomian dengan sistem yang mengedepankan ketamakan. Setiap aktor ekonomi hanya dianggap sebatas seonggok faktor produksi, tidak lebih. Alih-alih menciptakan efisiensi ekonomi, sistem pasar bebas justru menghasilkan kegagalan pasar karena memperbolehkan si lemah dimangsa oleh si kuat (Edi Swasono, 2019). Sistem ini menciptakan kesenjangan pendapatan antara si kaya dan si miskin, yang melahirkan 'otokrasi ekonomi', di mana kekayaan hanya berputar dan bertambah di sekitar pemilik modal, menghasilkan konsentrasi kekayaan pada segelintir orang."

Demokrasi Ekonomi Sebagai Antitesis Kapitalisme

Kisah kemalangan Maman dalam menghadapi kekuatan tengkulak serta juragan beras ini sebenarnya sudah jauh diantisipasi oleh para bapak bangsa, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Terutama oleh Bung Hatta, seorang ekonom serta tokoh bangsa yang pemikirannya dikenal sebagai Hattanomics. Sebagai sosok yang dikenal atas religiusitasnya, melalui buah pemikiran Hatta lahirlah pasal 33 UUD 1945 yang menjadikan prinsip "sosialisme religius"  sebagai basis dari perekonomian Indonesia. Sebuah prinsip yang mengedepankan rasa persaudaraan dan tolong menolong antarsesama manusia dalam pergaulan hidup (Edi Swasono, 2019).

Pasal yang disusun dengan penuh kehati-hatian oleh Hatta ini dibentuk sedemikian rupa supaya ketika merdeka, Indonesia tidak lagi terbelenggu oleh paham-paham ekonomi Barat yang erat dengan hubungan subordinatif antara si kaya dan si miskin. Di mana Hatta, melalui tiga ayat dalam Pasal 33 UUD 1945, menjadikan konsep demokrasi ekonomi sebagai kiblat utama pembangunan ekonomi Indonesia, sebuah konsep yang lahir sebagai respons terhadap bengisnya imperialisme dan kapitalisme Barat (Edi Swasono, 2019)."

Kemudian apa itu demokrasi ekonomi? Secara tujuan, demokrasi ekonomi kurang lebih sama dengan demokrasi politik. Keduanya lahir untuk mencegah terjadinya otokrasi ekonomi maupun otokrasi politik. Namun secara esensi, keduanya tidak sama. Negara yang mengimplementasikan demokrasi politik tanpa adanya demokrasi ekonomi hanya menganggap si kaya dan si miskin, laki-laki dan perempuan, setara dalam konteks politik. Keduanya sama-sama memiliki hak untuk memilih dan dipilih menjadi anggota perwakilan rakyat, tetapi tidak lebih dari itu. Dalam konteks perekonomian, prinsip kesetaraan tidak berlaku; si kaya dan si miskin tetap dipandang berbeda (Hatta, 1960).

Sedangkan esensi utama dari demokrasi ekonomi adalah mendahulukan kebersamaan dan asas kekeluargaan dalam interaksi ekonomi. Dalam berekonomi, prinsip "keterbawaan" (emansipasi) harus diutamakan, yaitu memajukan yang kaya namun sembari memberdayakan yang rentan. Artinya, tidak boleh ada eksklusivisme dalam pembangunan. Jika ada pembangunan mal atau supermarket, maka pedagang kaki lima (PKL), usaha informal, pasar rakyat, dan pasar tradisional harus ikut "terbawa serta" dalam kemajuan tersebut (Edi Swasono, 2019). Hal ini menghasilkan pembangunan yang people-based dan people-centered, di mana masyarakat menjadi determinan utama dalam pengambilan keputusan, melengserkan doktrin "daulat pasar" yang dicanangkan oleh sistem kapitalisme menjadi "daulat rakyat" (Edi Swasono, 2019).

Dalam merealisasikan mimpi ini, Bung Hatta mencanangkan bangun usaha koperasi sebagai motor penggerak perekonomian rakyat. Di mana, koperasi merupakan bangun usaha berwatak sosial, yang merupakan sebuah wadah usaha ekonomi yang dimiliki bersama (Edi Swasono, 2019), sehingga seluruh anggotanya menjadi residual claimant dari keuntungan yang diperoleh koperasi tersebut (Torgerson, 1977). Di mana sebagai bangun usaha yang memegang prinsip keterbukaan, sukarela, dan pengelolaan yang demokratis, koperasi memungkinkan rakyat kecil untuk bergabung menjadi pemilik sebuah bangun usaha secara bersama-sama, menyatukan kekuatan ekonomi kecil menjadi suatu kekuatan besar (Edi Swasono, 2019).

Keberadaan koperasi akan memungkinkan Maman serta puluhan juta petani kecil lainnya untuk bergabung dan berhimpun dalam satu bangun usaha, memperbolehkan mereka untuk menyatukan kemampuan serta faktor produksi sehingga menciptakan kesempatan bagi para buruh tani untuk tidak hanya menggarap gabah, tetapi juga mengolahnya menjadi produk bernilai tambah tinggi dan membuka akses ke pasar sekunder bahkan tersier (Elijah, 2022). Hal ini akan menghilangkan faktor endowment yang diperlukan oleh individu untuk meningkatkan kesejahteraannya karena koperasi memungkinkan rakyat kecil memiliki bangun usaha tanpa perlu adanya endowment. Mereka tidak perlu lagi mengemis dan memohon ke bank agar diberikan pinjaman modal demi merealisasikan mimpi rakyat kecil untuk berdaulat--berdiri di atas kaki mereka sendiri.

Pada akhirnya, keberadaan koperasi akan memperbolehkan petani untuk tak lagi bergantung pada tengkulak-tengkulak yang terus menekan harga jual gabah mereka. Tak lagi bergantung pada juragan-juragan beras yang menawar murah jasa mereka, tak lagi tunduk pada kekuatan besar yang terus mengeksploitasi mereka. Koperasi memperbolehkan rakyat kecil untuk "terbawa serta" dalam kemajuan ekonomi serta menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, di mana kue perekonomian tak lagi dikuasai oleh segelintir orang, namun dapat dinikmati dan dikelola bersama. 

"Hattanomics": Sebuah Impian belaka

Figur 3: Growth, Inflation & Gini Ratio Indonesia 2004-2023 (Verico, 2024)
Figur 3: Growth, Inflation & Gini Ratio Indonesia 2004-2023 (Verico, 2024)

Namun sayang, dalam praktiknya, buah pikiran Bung Hatta nampaknya hanya menjadi angan-angan semata. Pasalnya, melihat kondisi perekonomian Indonesia saat ini, tampaknya masih jauh dari penerapan asas-asas demokrasi ekonomi. Prinsip pembangunan yang terjadi sekarang hanya berfokus pada penciptaan pertumbuhan tanpa penciptaan nilai tambah bagi seluruh segmen masyarakat. Contoh mudahnya dapat dilihat pada periode 2008--2012, ketika terjadi peningkatan harga komoditas dunia yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat secara tiba-tiba. Di waktu yang bersamaan, indeks Gini Indonesia juga mengalami peningkatan secara signifikan (Verico, 2024). Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang dialami Indonesia tidak bersifat inklusif, mengindikasikan adanya otokrasi ekonomi dalam sistem perekonomian, di mana sebagian besar 'kue' hanya dinikmati oleh segelintir orang.

Fenomena ini serta kisah kemalangan Maman di atas sebenarnya sudah cukup menggambarkan bagaimana hubungan ekonomi subordinatif 'Tuan-Hamba' ataupun 'Majikan-Buruh' masih mendarah daging dalam perekonomian Indonesia (Edi Swasono, 2019). Buah dari penerapan sistem ekonomi yang mengedepankan self-interest atau ketamakan, yang memperbolehkan terjadinya eksploitasi terhadap masyarakat miskin oleh kekuatan ekonomi besar.

Alhasil, prinsip 'keterbawasertaan' yang diimpikan oleh Bung Hatta masih jauh dari kata terwujud. Alih-alih 'terbawa serta,' usaha kecil seperti pedagang kaki lima, usaha informal, pasar rakyat, dan pasar tradisional justru tergusur dengan adanya pembangunan mal atau supermarket. Para petani kecil masih harus berdamai dengan kenyataan bahwa uang hasil panen gabah mereka tak lebih dari cukup untuk menyediakan sepiring nasi di meja makan mereka setiap hari. Sungguh ironis, bagaimana setelah 79 tahun Indonesia merdeka, masih banyak masyarakat yang harus menerima nasib bahwa mereka hanyalah sekadar 'jongos' di negeri sendiri. 

Sumber: 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun