Jumlah buruh tani sangatlah banyak, sedangkan pemilik lahan sangat sedikit. Jika Maman tidak setuju dengan tawaran pekerjaan, sang juragan dapat dengan mudah beralih kepada buruh tani lain yang rela dibayar lebih murah daripada Maman.Â
Sementara itu, Maman harus menunggu lagi adanya tawaran pekerjaan, yang setiap minggunya pun belum tentu ada.
Begitulah gambaran interaksi dalam perekonomian dengan sistem yang mengedepankan ketamakan. Setiap aktor ekonomi hanya dianggap sebatas seonggok faktor produksi, tidak lebih.Â
Alih-alih menciptakan efisiensi ekonomi, sistem pasar bebas justru menghasilkan kegagalan pasar karena memperbolehkan si lemah dimangsa oleh si kuat (Edi Swasono, 2019).Â
Sistem ini menciptakan kesenjangan pendapatan antara si kaya dan si miskin, yang melahirkan 'otokrasi ekonomi', di mana kekayaan hanya berputar dan bertambah di sekitar pemilik modal, menghasilkan konsentrasi kekayaan pada segelintir orang."
Demokrasi Ekonomi Sebagai Antitesis Kapitalisme
Kisah kemalangan Maman dalam menghadapi kekuatan tengkulak serta juragan beras ini sebenarnya sudah jauh diantisipasi oleh para bapak bangsa, bahkan sebelum Indonesia merdeka.
Terutama oleh Bung Hatta, seorang ekonom serta tokoh bangsa yang pemikirannya dikenal sebagai Hattanomics. Sebagai sosok yang dikenal atas religiusitasnya, melalui buah pemikiran Hatta lahirlah pasal 33 UUD 1945 yang menjadikan prinsip "sosialisme religius" Â sebagai basis dari perekonomian Indonesia. Sebuah prinsip yang mengedepankan rasa persaudaraan dan tolong menolong antarsesama manusia dalam pergaulan hidup (Edi Swasono, 2019).
Pasal yang disusun dengan penuh kehati-hatian oleh Hatta ini dibentuk sedemikian rupa supaya ketika merdeka, Indonesia tidak lagi terbelenggu oleh paham-paham ekonomi Barat yang erat dengan hubungan subordinatif antara si kaya dan si miskin. Di mana Hatta, melalui tiga ayat dalam Pasal 33 UUD 1945, menjadikan konsep demokrasi ekonomi sebagai kiblat utama pembangunan ekonomi Indonesia, sebuah konsep yang lahir sebagai respons terhadap bengisnya imperialisme dan kapitalisme Barat (Edi Swasono, 2019)."
Kemudian apa itu demokrasi ekonomi? Secara tujuan, demokrasi ekonomi kurang lebih sama dengan demokrasi politik. Keduanya lahir untuk mencegah terjadinya otokrasi ekonomi maupun otokrasi politik. Namun secara esensi, keduanya tidak sama. Negara yang mengimplementasikan demokrasi politik tanpa adanya demokrasi ekonomi hanya menganggap si kaya dan si miskin, laki-laki dan perempuan, setara dalam konteks politik. Keduanya sama-sama memiliki hak untuk memilih dan dipilih menjadi anggota perwakilan rakyat, tetapi tidak lebih dari itu. Dalam konteks perekonomian, prinsip kesetaraan tidak berlaku; si kaya dan si miskin tetap dipandang berbeda (Hatta, 1960).
Sedangkan esensi utama dari demokrasi ekonomi adalah mendahulukan kebersamaan dan asas kekeluargaan dalam interaksi ekonomi. Dalam berekonomi, prinsip "keterbawaan" (emansipasi) harus diutamakan, yaitu memajukan yang kaya namun sembari memberdayakan yang rentan. Artinya, tidak boleh ada eksklusivisme dalam pembangunan. Jika ada pembangunan mal atau supermarket, maka pedagang kaki lima (PKL), usaha informal, pasar rakyat, dan pasar tradisional harus ikut "terbawa serta" dalam kemajuan tersebut (Edi Swasono, 2019). Hal ini menghasilkan pembangunan yang people-based dan people-centered, di mana masyarakat menjadi determinan utama dalam pengambilan keputusan, melengserkan doktrin "daulat pasar" yang dicanangkan oleh sistem kapitalisme menjadi "daulat rakyat" (Edi Swasono, 2019).