Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Pernikahan Usia Dini: Menjebak di Kemelaratan

25 Desember 2020   19:28 Diperbarui: 26 Desember 2020   11:23 1960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut organisasi internasional Girls Not Brides, ada beberapa hal yang menjadi akar masalah tingginya pernikahan anak di Indonesia. Utamanya adalah kepercayaan bahwa masih adanya ketidaksetaraan gender dimana perempuan dianggap lebih lemah dibanding laki-laki. Ketidaksetaraan ini semakin diperburuk karena beberapa hal.

Pertama, stigma perempuan yang dianggap tidak perlu melanjutkan pendidikan tinggi karena akan menjadi ibu rumah tangga. 

Perempuan yang menikah kurang dari usia minimum memiliki kemungkinan empat kali lebih kecil untuk menyelesaikan sekolah menengah ke atas daripada yang menikah diatas usia minimum. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang menyatakan bahwa adanya sekolah menengah akan mengurangi kemungkinan terjadinya perkawinan anak sebesar 1,3% (Dewi & Dartanto, 2019). 

Kedua, anak perempuan yang hidup di keluarga menengah ke bawah cenderung lebih cepat menikah guna mengurangi beban ekonomi keluarga. Penelitian dari UNICEF dan UNFPA juga mengatakan kemiskinan merupakan salah satu faktor pendorong terjadinya perkawinan anak khususnya di negara berkembang (Paul, 2019). 

Ketiga, pernikahan dilakukan untuk menutupi 'aib' keluarga karena kegiatan seksual yang dilakukan di luar nikah, diperkuat dengan ajaran agama dan tradisi di dalam keluarganya untuk segera melakukan pernikahan. 

Hasil wawancara dari Aliansi Remaja Independen dalam dokumenternya juga menyebutkan bahwa tujuh dari delapan anak menikah karena adanya kehamilan diluar rencana. 

Selain itu, data Susenas mengindikasikan bahwa wilayah pedesaan lebih banyak melakukan pernikahan anak dibandingkan perkotaan. Ini membuktikan bahwa wilayah tempat tinggal menjadi salah satu faktor terjadinya pernikahan anak. Masyarakat rural menganggap pernikahan merupakan warisan yang harus diteruskan oleh generasi penerusnya (Natanael et al., 2013).

Pernikahan anak memang menjadi masalah multidimensional yang tidak hanya menjadi perhatian di Indonesia. Bahkan, salah satu tujuan Sustainable Development Goals (SDG) yang sudah disepakati secara global  memiliki target untuk menghapus pernikahan dini dan pernikahan paksa, yang tertulis dalam tujuan ke 5 target 5.3. 

Lantas, hal apa yang menjadi permasalahan dari pernikahan anak hingga penghapusannya dijadikan tujuan global? Penulis akan menjelaskan korelasi dari pernikahan anak ke dalam dua bidang ekonomi:

Pernikahan Anak dan Kemiskinan

Berdasarkan data Susenas yang diolah PUSKAPA, keluarga yang berada di kuintil pengeluaran kesatu atau kelompok kesejahteraan terendah memiliki tingkat pernikahan anak perempuan paling tinggi. Terdapat 26,76% dari jumlah keluarga yang melakukan kegiatan tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun