"..to love and to cherish, till death do us part.." kalimat yang sering diucapkan pada kegiatan sakral yang sering kali disebut pernikahan. Dua individu yang berjanji untuk saling memperbaiki, membantu, dan membangun kehidupan yang lebih baik.Â
Pernikahan masih menjadi salah satu kewajiban di benak mayoritas orang. Banyak individu yang masih percaya bahwa seseorang dapat dikatakan complete ketika mereka sudah berpasangan atau berkeluarga.Â
Namun, bagaimana jika kegiatan sakral ini dilakukan sebelum waktu yang tepat? Apakah janji dari kedua individu ini akan tetap berjalan dengan baik?
Mengacu pada ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batas umur minimal untuk melangsungkan perkawinan bagi laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun dengan adanya persetujuan orang tua.Â
Oleh karena itu, apabila seorang laki-laki menikah dengan perempuan dan salah satu atau keduanya masih berumur dibawah 19 tahun, perkawinan tersebut dapat dikatakan sebagai perkawinan dibawah umur atau perkawinan anak.Â
Namun, ada undang-undang dispensasi yang cukup dipermudah untuk membuat pernikahan itu menjadi legal tanpa adanya minimum umur, yang tetap disertai dengan alasan-alasan pendukung yang kuat dimata hukum.Â
Berdasarkan data yang diolah dari PUSKAPA (Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia) dalam Child Marriage Report, angka pernikahan dibawah umur cenderung fluktuatif, namun terbilang tinggi.Â
Menurut Lenny Rosalin, deputi bidang Kementerian PPPA, Indonesia menduduki peringkat kedua tertinggi di ASEAN dalam kategori pernikahan di bawah umur.Â
Pada tahun 2008, prevalensi pernikahan anak perempuan sebesar 14,67% dan hanya menurun sebesar 3,5% dalam satu dekade menjadi 11,21% atau setara dengan 1,2 juta perempuan di Indonesia.Â
Bagi laki-laki, prevalensi pernikahan dini cenderung stabil di sekitaran 1% pada tingkat nasional. Prevalensi angka ini didominasi wilayah pedesaan dibanding perkotaan (Susenas, 2008-2018).Â
Menurut organisasi internasional Girls Not Brides, ada beberapa hal yang menjadi akar masalah tingginya pernikahan anak di Indonesia. Utamanya adalah kepercayaan bahwa masih adanya ketidaksetaraan gender dimana perempuan dianggap lebih lemah dibanding laki-laki. Ketidaksetaraan ini semakin diperburuk karena beberapa hal.
Pertama, stigma perempuan yang dianggap tidak perlu melanjutkan pendidikan tinggi karena akan menjadi ibu rumah tangga.Â
Perempuan yang menikah kurang dari usia minimum memiliki kemungkinan empat kali lebih kecil untuk menyelesaikan sekolah menengah ke atas daripada yang menikah diatas usia minimum. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang menyatakan bahwa adanya sekolah menengah akan mengurangi kemungkinan terjadinya perkawinan anak sebesar 1,3% (Dewi & Dartanto, 2019).Â
Kedua, anak perempuan yang hidup di keluarga menengah ke bawah cenderung lebih cepat menikah guna mengurangi beban ekonomi keluarga. Penelitian dari UNICEF dan UNFPA juga mengatakan kemiskinan merupakan salah satu faktor pendorong terjadinya perkawinan anak khususnya di negara berkembang (Paul, 2019).Â
Ketiga, pernikahan dilakukan untuk menutupi 'aib' keluarga karena kegiatan seksual yang dilakukan di luar nikah, diperkuat dengan ajaran agama dan tradisi di dalam keluarganya untuk segera melakukan pernikahan.Â
Hasil wawancara dari Aliansi Remaja Independen dalam dokumenternya juga menyebutkan bahwa tujuh dari delapan anak menikah karena adanya kehamilan diluar rencana.Â
Selain itu, data Susenas mengindikasikan bahwa wilayah pedesaan lebih banyak melakukan pernikahan anak dibandingkan perkotaan. Ini membuktikan bahwa wilayah tempat tinggal menjadi salah satu faktor terjadinya pernikahan anak. Masyarakat rural menganggap pernikahan merupakan warisan yang harus diteruskan oleh generasi penerusnya (Natanael et al., 2013).
Pernikahan anak memang menjadi masalah multidimensional yang tidak hanya menjadi perhatian di Indonesia. Bahkan, salah satu tujuan Sustainable Development Goals (SDG) yang sudah disepakati secara global  memiliki target untuk menghapus pernikahan dini dan pernikahan paksa, yang tertulis dalam tujuan ke 5 target 5.3.Â
Lantas, hal apa yang menjadi permasalahan dari pernikahan anak hingga penghapusannya dijadikan tujuan global? Penulis akan menjelaskan korelasi dari pernikahan anak ke dalam dua bidang ekonomi:
Pernikahan Anak dan Kemiskinan
Berdasarkan data Susenas yang diolah PUSKAPA, keluarga yang berada di kuintil pengeluaran kesatu atau kelompok kesejahteraan terendah memiliki tingkat pernikahan anak perempuan paling tinggi. Terdapat 26,76% dari jumlah keluarga yang melakukan kegiatan tersebut.Â
Namun, angka pernikahan anak semakin menurun seiring naiknya kuintil atau tingkat kesejahteraan. Pada kuintil pengeluaran kelima atau tingkat kesejahteraan tertinggi, hanya sebanyak 11,14% keluarga yang melakukan pernikahan anak perempuan (Susenas, 2018).Â
Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa tingkat kemiskinan berkorelasi positif dengan pernikahan anak. Semakin miskin suatu keluarga, semakin tinggi kemungkinan melakukannya pernikahan anak.Â
Dengan tujuan dapat mengurangi beban ekonomi, keluarga yang memiliki kondisi ekonomi lebih rendah mendominasi pernikahan anak. Faktanya, perempuan yang menikah di bawah umur cenderung mengalami kemakmuran yang lebih buruk di masa depan.Â
Tingkat kemiskinan perempuan yang menikah di bawah 18 tahun lebih tinggi sebesar 13,76% dibandingkan perempuan yang menikah diatas 18 tahun sebesar 10,09% (Susenas, 2018).Â
Ditinjau dari tingkat pengeluaran untuk barang pokok(makanan), tingkat pengeluaran perempuan yang menikah di bawah 18 tahun lebih banyak sebesar 58,92% daripada yang menikah diatas 18 tahun yaitu 52,85% (Susenas, 2018).Â
Tingginya pengeluaran untuk makanan sejalan dengan tingkat kerentanan keluarga. Ketika terjadi shock dalam perekonomian, keluarga yang memiliki proporsi pengeluaran yang lebih tinggi terhadap makanan akan lebih besar terkena dampaknya. Sehingga, perempuan yang menikah di atas umur 18 tahun dianggap lebih sejahtera dan  stabil secara finansial.
Pernikahan Anak dan Kondisi Tenaga Kerja
"Child marriage is child labor" kalimat yang cukup sering digunakan oleh beberapa organisasi internasional. Pernikahan anak dapat memengaruhi partisipasi angkatan kerja khususnya perempuan karena perempuan yang menikah dibawah umur bisa saja tetap bekerja, baik secara formal atau informal.Â
Berdasarkan data Employment to Population Ratio (EPR) yang diolah PUSKAPA, perempuan yang sudah menikah memiliki angka EPR paling kecil dibandingkan belum menikah atau sudah bercerai, yaitu sebesar 32,46%. Maknanya, proporsi perempuan yang sudah menikah lebih sedikit di dalam pasar tenaga kerja.Â
Terlebih lagi, Â perempuan yang menikah di bawah 18 tahun cenderung bekerja di sektor informal dengan proporsi 63,31% dari keseluruhan (Susenas, 2018). Pekerjaan ini sering kali dicirikan dengan pekerjaan yang inferior dan berupah rendah.Â
Selain itu, pernikahan anak berkorelasi dengan kehamilan anak pada usia muda . Jelas, ini memberikan efek kepada partisipasi tenaga kerja. Korelasi ini berhubungan dengan permasalahan pengambilan keputusan perempuan untuk mengurus anak atau bekerja.Â
Keberadaan masalah ini membuat pernikahan anak memberikan efek seperti menunda potensi untuk masuk ke dalam pasar tenaga kerja atau menurunkan biaya peluang untuk tidak bekerja dan menjadi ibu rumah tangga. K
urangnya keterlibatan ini dapat menyebabkan kerugian yang cukup kompleks, seperti membuat mereka terperangkap dalam kemiskinan, meningkatkan tingkat kerentanan jika terjadi guncangan ekonomi, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi serta membawa ke tingkat kesejahteraan yang lebih rendah, sehingga memberikan dampak negatif antargenerasi (Parsons et al., 2015).
Berdasarkan ulasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pernikahan anak/pernikahan dini memberikan dampak buruk untuk masa kini maupun nanti.Â
Tujuan melepas beban ekonomi dengan mempercepat pernikahan malah menjebak anak ke dalam lingkaran setan kemelaratan. Tidak dipungkiri lagi, dunia pun setuju pernikahan anak merupakan suatu permasalahan yang perlu dihapuskan.Â
Oleh karena itu, diperlukan intervensi lebih dari lembaga sosial dan pemerintah untuk mengurangi prevalensi pernikahan anak. Melalui intervensi tersebut, diharapkan masa depan anak dan negara secara keseluruhan yang lebih baik lagi karena pernikahan dilakukan pada waktu yang tepat.
Oleh Tiara Anindhita R. | Ilmu Ekonomi 2018 | Kepala Divisi PSDM Kanopi FEB UI 2020
Referensi:
- BPS. (2020). Prevention of Child Marriage Acceleration that cannot wait. 71.
- Dahl, G. B. (2010). Early teen marriage and future poverty. Demography, 47(3), 689--718.
- Indonesia - Child Marriage Around The World. Girls Not Brides. from https://www.girlsnotbrides.org/child-marriage/indonesia/
- Kumala Dewi, L. P. R., & Dartanto, T. (2019). Natural disasters and girls vulnerability: is child marriage a coping strategy of economic shocks in Indonesia? Vulnerable Children and Youth Studies, 14(1), 24--35.Â
- Natanael M. J., Fajar M. R., and M. R. (2013). Prevalence of Child Marriage and Its Determinants among Young Women in Indonesia. Child Poverty and Social Protection Conference, 1--27.
- Paul, P. (2019). Effects of education and poverty on the prevalence of girl child marriage in India: A district--level analysis. Children and Youth Services Review, 100, 16--21.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H