Pernahkah anda bayangkan nilai dari sehelai pakaian yang anda kenakan? Dibalik sehelai pakaian tersebut, terdapat proses panjang untuk membuatnya. Hal ini kompleks karena melibatkan banyak aspek didalamnya. Mulai dari kerja keras petani kapas, buruh pabrik garmen, supplier, distributor, retailer hingga akhirnya pakaian tersebut sampai kepada kita saat kita membelinya.
Fesyen menjadi sangat penting saat ini, bukan hanya sekedar pakaian penutup tubuh namun juga sebagai representasi identitas dan kepribadian seseorang. Tren fesyen berubah seiring perkembangan zaman bahkan perkembangan musim.
Saat ini, terdapat tren fesyen terbaru yang populer di negara maju seperti Amerika, Inggris, Italia, yang disebut fast fashion. Harga pakaian yang sedang naik daun menjadi semakin murah.
Dilansir dari Tirto.id, pada tahun 2017 harga sebuah gaun di H&M Inggris hanya 3,49 poundsterling yang mana sudah jauh lebih murah dari paket enam potong Chicken McNugget di McDonald's London.
Implikasinya, perusahaan pakaian bisa menjangkau lebih banyak konsumen. Beberapa perusahaan retail terkenal di industri fast fashion seperti Zara, H&M, Forever 21 dan GAP.
Lantas, apa yang membuat pakaian tersebut memiliki harga yang begitu murah? Bukankah dalam memproduksi suatu pakaian membutuhkan biaya bahan baku, upah pekerja pabrik garmen, gaji pegawai toko serta biaya angkut ke toko-toko yang tersebar di berbagai kota di dunia? Mari kita kaji apa sebenarnya fast fashion itu dan implikasinya terhadap berbagai aspek yang terkait didalamnya.
Inovasi yang Dinamis dan Keuntungan yang Masif
Fast fashion kini telah menjadi tren bisnis baru dalam bidang fesyen. Cakupan bisnis ini semakin meluas sejalan dengan kemampuannya menarik konsumen dengan harga yang murah. Fast fashion merupakan pakaian yang dijual dengan harga murah serta diproduksi dengan cepat demi menanggapi tren terbaru.
Arus yang dinamis merupakan hal penting dalam berbisnis di bidang fesyen. Kecepatan perubahan tren harus ditanggapi dengan cepat oleh pelaku pasar agar pakaian yang dijual tidak "ketinggalan zaman".
Perusahaan retail fast fashion memiliki indikator ini dalam mengoperasikan bisnisnya. H&M hanya butuh dua minggu untuk memperkenalkan produk pakaian terbarunya. Bahkan ZARA memiliki koleksi "new arrivals" setiap minggu. Perputaran persediaan barang yang berlangsung dengan cepat ini menjadi bukti bahwa mereka cepat dalam merespon kondisi pasar dan apa yang sedang menjadi tren saat itu.
Sehubungan dengan berlakunya sistem perdagangan bebas antarnegara di dunia, fast fashion memproduksi pakaian dengan sistem outsourcing di negara-negara berkembang seperti Bangladesh, China, Kamboja, India, yang memiliki banyak buruh  dengan keterampilan rendah dan harganya pun lebih murah.
Berdasarkan data dari Biro Statistik Tenaga Kerja Amerika Serikat, pada tahun 1991, 56,2% pakaian yang terjual di Amerika merupakan buatan Amerika, namun pada tahun 2012 terjadi penurunan menjadi hanya sekitar 2,5%. 97,5% Â nya berasal dari outsourcing di negara-negara berkembang di seluruh dunia.
Perusahaan fast fashion menentukan keputusan produksinya melalui pakaian yang sedang menjadi tren atau pakaian yang ada di fashion week, lalu membuat kontrak kerja sama dengan pabrik garmen di negara berkembang untuk memproduksi pakaiannya sehingga mendapatkan biaya produksi yang murah.
Perbedaan nilai tukar dari pabrik garmen yang ada di negara berkembang dan toko retail fast fashion yang ada di negara maju turut menyumbangkan tambahan marjin keuntungan pada perusahaan retail fast fashion.
Meskipun retailer fast fashion menjual pakaian dengan harga yang murah, bukan berarti mereka akan mengalami kerugian. Dilansir dari situs Forbes, berdasarkan list real time miliarder dunia tahun 2019, Amancio Ortega yang merupakan bos ZARA sekaligus seorang pencetus industri fast fashion merupakan orang terkaya keenam di dunia tahun 2019 dengan kekayaan mencapai US$692 miliar.
Lalu, menurut laporan keuangan H&M tahun 2018, H&M memiliki pendapatan bersih sebesar US$210 miliar. Hal ini membuktikan bahwa industri fast fashion memberikan keuntungan yang masif bagi pemain bisnis ini.Â
Industri fast fashion juga mendorong adanya pertumbuhan ekonomi di suatu negara. Berdasarkan survei oleh Biro Statistik Tenaga Kerja Amerika Serikat, terjadi peningkatan pengeluaran rumah tangga terhadap "Pakaian dan layanan lainnya" sebesar 11% dari tahun 2013 ke 2014 dan menjadi pengeluaran rumah tangga terbesar kedua ($1,786) setelah pengeluaran untuk makanan ($2,787).
Yang dimaksud "layanan lainnya" seperti dry cleaning. Peningkatan pengeluaran rumah tangga ini akan meningkatkan pendapatan nasional, dengan asumsi faktor lain yang memengaruhi pendapatan nasional tidak berubah, sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Nilai industri fast fashion global pada tahun 2018 sebesar US$35 miliar. Adanya bisnis fast fashion juga membuka peluang kerja bagi banyak buruh pabrik garmen di negara berkembang sehingga berkontribusi mengurangi angka pengangguran di negara berkembang dan mengeluarkan mereka dari kemiskinan.
Budaya Konsumtif
Konsumen di Amerika sangat berorientasi pada harga murah. Berdasarkan polling yang dilakukan Asosiasi Press GfK (sebuah lembaga riset pasar asal Jerman) pada tahun 2016, saat diberi pilihan antara membeli sebuah celana seharga $50 tapi buatan outsource atau sebuah celana seharga $85 dan dibuat oleh perusahaan Amerika maka 67% responden mengatakan lebih memilih yang seharga $50 bahkan pada responden yang pendapatan tahunannya lebih dari $100.000 (Thomas, 2019).
Tren fast fashion yang berkembang saat ini membuat harga pakaian menjadi semakin murah. Hal ini menunjukkan adanya deflasi dalam produk pakaian. Sesuai dengan hukum permintaan, semakin rendah harga suatu barang, maka semakin bertambah jumlah permintaan akan barang tersebut. Pada tahun 1930, rata-rata perempuan di Amerika membeli 9 pakaian dalam setahun.
Saat ini, mereka membeli lebih dari 60 pakaian dalam setahun. Peningkatan jumlah pembelian pakaian yang cukup signifikan ini menandakan sikap konsumtif konsumen akan pakaian saat ini. Adanya fast fashion menyebabkan perubahan pola pembelian masyarakat terhadap pakaian.
Kemajuan dibidang teknologi dan informasi mendorong peningkatan intensitas konsumsi produk fast fashion. Kemajuan internet memperluas jangkauan penjualan produk fast fashion dan diprediksi terjadi pertumbuhan penjualan online industri fesyen sebesar 8,8% di Amerika Serikat pada tahun 2022 (A. Orendorff, 2018).
Selain itu, terdapat insentif dari dunia maya yaitu video haul pakaian oleh para youtuber (Cline, 2012). Video haul menayangkan pembelian pakaian dalam jumlah yang banyak sehingga akan menjadi contoh bagi para penonton youtube yang didominasi generasi milenial dan memberi insentif kepada mereka untuk turut membeli produk tersebut.
Apalagi jika youtuber itu merupakan idolanya atau public figure yang berpengaruh terhadap orang banyak. Selain itu, pemberian diskon pada hari-hari tertentu seperti Black Friday membuat produk fast fashion melonjak penjualannya.
Eksploitasi Pekerja
Persaingan harga yang ketat antar para retailer dan potensi pasar global mengakibatkan harga semakin murah seiring waktu untuk menarik konsumen, saking murahnya bahkan seseorang bisa membuang pakaian tersebut tanpa perlu berpikir panjang. Penurunan harga ini berdampak pada semakin ditekannya upah buruh pabrik ke angka yang lebih rendah.
Lebih dari 50% pekerja pabrik garmen yang memproduksi pakaian fast fashion tidak dibayar sesuai upah minimum. Pekerja garmen di Bangladesh hanya mendapat upah sebesar $95 per bulan yang mana angka itu 3,5 kali lebih rendah dari biaya hidup mereka perbulan.
Hal ini jelas mencerminkan bahwa kesejahteraan buruh industri di Bangladesh terbilang buruk bahkan mereka kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan kehidupan lainnya yang fundamental seperti pakaian, tempat tinggal dan makanan (Kadeer & Mahmun, 2004).
Upah yang mereka dapatkan sangat tidak sesuai dengan jam kerjanya yaitu 14-16 jam perhari dan 7 hari dalam seminggu, bahkan jika mendekati batas waktu pengiriman pakaian ke retailer, mereka akan bekerja sampai jam 2 atau 3 pagi.
Hal ini mengindikasikan adanya eksploitasi pekerja bahkan perbudakan dalam industri ini. Terdapat 127,7 miliar produk fashion yang diimpor ke negara G20 diduga berasal dari hasil perbudakan modern.
Pemilik bisnis fast fashion melakukan relokasi produksi, yang awalnya ada di negaranya yaitu negara maju, pindah produksi dengan oustsource ke negara berkembang karena upah buruh di negara berkembang relatif murah jika dibandingkan dari upah buruh di negara maju (Handayani, 2016) dikarenakan di negara berkembang, peraturan yang melindungi hak-hak pekerja cenderung lemah, serikat pekerja memiliki kekuasaan terbatas dan tunduk pada pemerintahnya serta tidak adanya tunjangan dan jaminan kecelakaan kerja bagi pekerjanya.
Sedangkan di negara maju, upah buruh relatif lebih tinggi, terdapat tunjangan lainnya bagi pekerja, serta terdapat peraturan ketat yang melindungi para buruh pabrik di negara maju.
Sejak awal, industri pakaian selalu bersifat padat karya dan memiliki hambatan masuk ke pasar yang rendah (Linden, 2016). Diperkirakan 1 dari 6 orang di dunia bekerja di industri fesyen menjadikannya salah satu industri paling padat karya di dunia (Ross&Morgan, 2015). Terlepas dari eksistensinya yang membuka lapangan pekerjaan bagi para buruh pabrik garmen, namun bukan berarti kesejahteraan akan serta merta mereka dapatkan.
Eksploitasi pekerja yang tinggi menyebabkan rendahnya kesejahteraan yang didapatkan oleh buruh pabrik garmen. Lebih buruknya, pekerja pabrik garmen ini didominasi oleh wanita dan anak-anak dibawah umur.
Pabrik harus memotong biaya produksi dan memastikan bisa menjual pakaian kepada retailer dengan harga murah atau mereka harus shutdown karena tidak ada yang mau menggunakan jasa pabrik mereka.
Akibatnya, pihak manajemen pabrik seringkali mengabaikan keselamatan kerja buruh demi mengurangi biaya produksi dan tetap berlangsungnya kegiatan produksi tidak peduli apapun kondisinya. Kondisi pabrik yang panas dan dipenuhi bahan kimia dari bahan baku pakaian bisa membahayakan keselamatan pekerja. Rata-rata 5,6 per 100 pekerja mengalami cedera tiap tahunnya.
Runtuhnya bangunan pabrik Rana Plaza di Dhaka, Bangladesh menewaskan 1.138 buruh pabrik pada tahun 2013 menjadikannya tragedi terburuk dalam sejarah dunia tekstil.
Keruntuhan ini disebabkan pemilik pabrik yang mengabaikan perintah untuk mengungsi saat sudah terdapat banyak keretakan pada konstruksi bangunan pabrik. Berbagai kejadian ini menjadi contoh kelayakan tempat kerja yang dikorbankan demi mencapai target produksi dan menekan harga tetap murah.
Bahaya bagi Lingkungan dan Kesehatan
Tidak hanya mengeksploitasi pekerja, tren fast fashion juga mengakibatkan kerusakan lingkungan. Perubahan tren yang berganti dengan cepat mengakibatkan kenaikan kuantitas pada produksi pakaian yang berpotensi pada peningkatan jumlah limbah pakaian.
Menurut data dari Textile World pada tahun 2015, bahan polyester menjadi salah satu bahan favorit dalam pembuatan produk fast fashion dan terus meningkat penggunaannya seiring berjalannya waktu.
Bahan polyester merupakan bahan kain dari serat sintetis (microfiber) yang didapatkan secara kimiawi. Bahan ini lebih ekonomis dibanding bahan kain dari serat alami (kapas), namun karena dibuat secara kimiawi dapat menimbulkan iritasi bagi pengguna yang tidak cocok dengan bahan kimiawi didalamnya. Bahan microfiber sulit didaur ulang sehingga menghasilkan sampah microfiber sebesar 50 miliar plastik per tahun.
Produksi fast fashion juga menghasilkan emisi sebesar 1.715 juta ton CO2 per tahun menjadikannya salah satu industri yang paling banyak menghasilkan polusi dan menghasilkan potensi kerugian ekonomi sebesar US$500 miliar per tahun akibat pakaian yang jarang dipakai dan tidak dapat didaur ulang, limbah ini juga memancarkan gas berbahaya di udara akibat sulit terurai. Dilansir dari New York Times, sebanyak 4,3 juta pakaian H&M tidak terjual tiap tahunnya.
Lalu kemana limbah pakaian ini ditempatkan?
Kebanyakan pakaian bekas dari Amerika diluar pakaian yang disumbangkan untuk kegiatan amal akan dikemas dan dikirim ke negara berkembang untuk dijual kembali sehingga menyebabkan menggunungnya limbah pakaian bekas di negara-negara berkembang ini.
Adanya limbah hasil produksi pabrik dan limbah pakaian yang tidak terpakai mengindikasikan adanya eksternalitas negatif dari produksi fast fashion. Masyarakat disekitar pabrik akan terdampak kesehatannya akibat proses produksi yang dilakukan pabrik.
Di Kanpur, India, tanah di lingkungan sekitar pabrik terkontaminasi kromium akibat produksi dan satu-satunya sumber air pun ikut tercemar. Berbagai masalah kulit dan masalah pencernaan bahkan kanker mengintai masyarakat akibat kromium dalam air.
Nilai eksternalitas negatif yang tidak diinternalisasi oleh perusahaan menyebabkan produksi yang ada di pasar saat ini mengalami overproduce dan underprice sehingga tidak menggambarkan kondisi keseimbangan pasar yang optimal.
Sebuah Kontradiksi?
Dari segi ekonomi, fast fashion memang membuat harga pakaian menjadi murah dan bisa dijangkau lebih banyak kalangan masyarakat, namun dampak negatifnya terdapat pada timbulnya budaya konsumtif, kesejahteraan pekerja pabrik yang jauh dari kata wajar dan limbah yang merusak lingkungan. Â Terdapat trade off antara harga murah dengan kesejahteraan pekerja dan kondisi lingkungan.
Terdapat sebuah kutipan mengenai fast fashion yang sangat menggambarkan industri ini di pikiran saya.
"Fast fashion isn't free. Someone, somewhere is paying" -- Lucy Siegle
Jika terus berproduksi dengan orientasi mendapatkan profit sebesar-besarnya dan mengabaikan kondisi lingkungan, maka tinggal menunggu waktu sampai dampak buruk dari alam yang sudah dicemari ini akan kita dapatkan.
Perlu kesadaran bersama dari segala pihak untuk menangani kompleksitas masalah yang ditimbulkan akibat fast fashion ini. Mulailah dengan mengubah cara pikir terhadap pakaian yang kita kenakan, mengurangi pembelian produk pakaian untuk sekali pakai dan lebih memilih menggunakan pakaian yang lebih tahan lama serta terbuat dari bahan alami (cotton material) agar turut mengurangi limbah dari pakaian tidak terpakai.
Di sisi lain, diperlukan transparansi dan akuntabilitas para retailer fast fashion serta produksi yang "bersih" yang akan meningkatkan persepsi ramah lingkungan dan peduli kesejahteraan pekerja sehingga meningkatkan imej positif suatu brand. Sistem fesyen berkelanjutan menjadi model bisnis yang harus diterapkan saat ini demi masa depan fesyen yang lebih baik.
Oleh: Shania | Ilmu Ekonomi 2019 | Trainee Kajian 2019
Referensi :
Greenpeace. (2016). Timeout for Fast Fashion.
Nature Publishing Group. (2018). The Price of Fast Fashion. Nature Climate Change, 8(2 January 2018)
Fast Fashion -- From Challenge to Solution  - Global Fashion Agenda. Retrieved 9 January 2020
Kontroversi di Balik Industri "Fast Fashion". (2018). Retrieved 9 January 2020,
The Economics of Fast Fashion. (2018). Retrieved 9 January 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H