Saat ini, mereka membeli lebih dari 60 pakaian dalam setahun. Peningkatan jumlah pembelian pakaian yang cukup signifikan ini menandakan sikap konsumtif konsumen akan pakaian saat ini. Adanya fast fashion menyebabkan perubahan pola pembelian masyarakat terhadap pakaian.
Kemajuan dibidang teknologi dan informasi mendorong peningkatan intensitas konsumsi produk fast fashion. Kemajuan internet memperluas jangkauan penjualan produk fast fashion dan diprediksi terjadi pertumbuhan penjualan online industri fesyen sebesar 8,8% di Amerika Serikat pada tahun 2022 (A. Orendorff, 2018).
Selain itu, terdapat insentif dari dunia maya yaitu video haul pakaian oleh para youtuber (Cline, 2012). Video haul menayangkan pembelian pakaian dalam jumlah yang banyak sehingga akan menjadi contoh bagi para penonton youtube yang didominasi generasi milenial dan memberi insentif kepada mereka untuk turut membeli produk tersebut.
Apalagi jika youtuber itu merupakan idolanya atau public figure yang berpengaruh terhadap orang banyak. Selain itu, pemberian diskon pada hari-hari tertentu seperti Black Friday membuat produk fast fashion melonjak penjualannya.
Eksploitasi Pekerja
Persaingan harga yang ketat antar para retailer dan potensi pasar global mengakibatkan harga semakin murah seiring waktu untuk menarik konsumen, saking murahnya bahkan seseorang bisa membuang pakaian tersebut tanpa perlu berpikir panjang. Penurunan harga ini berdampak pada semakin ditekannya upah buruh pabrik ke angka yang lebih rendah.
Lebih dari 50% pekerja pabrik garmen yang memproduksi pakaian fast fashion tidak dibayar sesuai upah minimum. Pekerja garmen di Bangladesh hanya mendapat upah sebesar $95 per bulan yang mana angka itu 3,5 kali lebih rendah dari biaya hidup mereka perbulan.
Hal ini jelas mencerminkan bahwa kesejahteraan buruh industri di Bangladesh terbilang buruk bahkan mereka kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan kehidupan lainnya yang fundamental seperti pakaian, tempat tinggal dan makanan (Kadeer & Mahmun, 2004).
Upah yang mereka dapatkan sangat tidak sesuai dengan jam kerjanya yaitu 14-16 jam perhari dan 7 hari dalam seminggu, bahkan jika mendekati batas waktu pengiriman pakaian ke retailer, mereka akan bekerja sampai jam 2 atau 3 pagi.
Hal ini mengindikasikan adanya eksploitasi pekerja bahkan perbudakan dalam industri ini. Terdapat 127,7 miliar produk fashion yang diimpor ke negara G20 diduga berasal dari hasil perbudakan modern.
Pemilik bisnis fast fashion melakukan relokasi produksi, yang awalnya ada di negaranya yaitu negara maju, pindah produksi dengan oustsource ke negara berkembang karena upah buruh di negara berkembang relatif murah jika dibandingkan dari upah buruh di negara maju (Handayani, 2016) dikarenakan di negara berkembang, peraturan yang melindungi hak-hak pekerja cenderung lemah, serikat pekerja memiliki kekuasaan terbatas dan tunduk pada pemerintahnya serta tidak adanya tunjangan dan jaminan kecelakaan kerja bagi pekerjanya.