Zaman kami sekolah di era 70-an sampai 80-an, jurusan Paspal atau IPA di SMA adalah jurusan yang lebih bergengsi daripada jurusan lainnya yaitu Sos (IPS) dan Bahasa. Masa itu, Jurusan Paspal (IPA) dianggap sebagai representasi dari keunggulan intelegensia dibandingkan siswa jurusan Sos (IPS) dan bahasa.
Saya dan istri saya merupakan produk zaman itu. Sehingga IPA menjadi pilihan saat SMA. Istri saya melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi yang berbasiskan exacta, sesuai dengan jurusannya di SMA. Sedangkan saya memilih jurusan dalam kelompok IPS yang cenderung sangat exact.
Apa yang terjadi, setelah lulus bisa dikatakan istri saya tidak mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya dari bangku kuliah. Faktor utama penyebabnya adalah bidang itu bukan minatnya. Begitu pula dengan saya, bidang ilmu yang diperoleh dari bangku kuliah akhirnya ditinggalkan. Meski itu tidak menjadi mubazir karena tetap bermanfaat untuk bidang pekerjaan yang digeluti kemudian.
Dari sini ada 2 hal yang bisa kita tarik sebagai pelajaran. Yang pertama adalah bahwa sebuah pilihan meski itu menjadi pilihan anak tidak selalu menjadi key success factor dalam success story si anak. Sebuah pilihan tetap berpotensi salah atau keliru seperti dialami istri saya dan juga saya sendiri. Tapi setidaknya yang harus dilakukan oleh orangtua adalah mendorong si anak untuk bertanggungjawab atas pilihan yang diambilnya. Bertanggungjawab itu misalnya si anak berusaha keras menyelesaikan pendidikannya meski tidak sesuai dengan minatnya, jika ia memilih untuk tetap melanjutkannya.
Pelajaran kedua adalah orang tua tetap bisa berperan dalam pilihan anaknya agar pilihan itu tidak menjadi pilihan yang salah atau keliru, meski harus disadari bahwa kesalahan atau kekeliruan memilih itu baru akan diketahui di kemudian hari.
Kepada ketiga anak yang kami miliki, kami memberikan kesempatan untuk memilih sendiri jurusan yang dikehendakinya di SMA. Ketiganya kemudian memilih jurusan yang berbeda. Anak pertama memantapkan pilihannya yaitu IPS, jurusan yang dia kehendakinya sejak sebelum dia masuk SMA. Anak kedua memilih IPA. Sedangkan anak ketiga memilih jurusan bahasa, meski saat test penentuan jurusan ia bisa masuk IPA. Sama sekali tidak ada intervensi kami orangtuanya dalam pilihan mereka. Kami hanya mengawal agar mereka bertanggungjawab atas pilihan mereka. Demikian pula saat pemilihan jurusan di perguruan tinggi. Kami tidak ikut campur. Kami hanya mengingatkan mereka untuk berhati-hati dalam menentukan pilihan.
Anak pertama kami hampir gagal menyelesaikan S1-nya, padahal sempat menjadi Asisten Dosen. Namun pada akhirnya ia berhasil lulus, meski keduluan oleh adiknya (anak kami nomor dua).
Anak ketiga kami sempat mengalami kegalauan saat berada di semester 2 kuliahnya. Dia galau antara tetap di jurusan yang sudah 2 semester diikutinya atau ikut test masuk lagi ke jurusan lain yang juga dia minati. Kami orangtuanya tidak melarang ataupun mendorong. Kami serahkan sepenuhnya kepada yang bersangkutan untuk memutuskan. Akhirnya dia memutuskan untuk lanjut saja dengan jurusan yang sekarang ditempuhnya.Â
Dan mereka berhasil menunjukkan tanggungjawab terhadap pilihan mereka sendiri. Anak pertama dan anak kedua kini mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keilmuan yang mereka pilih di perguruan tinggi. Sedangkan anak ketiga hampir menyelesaikan S1-nya dalam waktu yang relatif cepat.
6. Membangun komunikasi yang harmonis di dalam keluarga
Hal penting lain dalam pola asuh anak adalah komunikasi antara orangtua dan anak. Komunikasi ini menjadi sangat penting ketika anak secara sosial sudah lebih terbuka interaksinya. Orangtua harus memastikan bahwa komunikasi yang dibangun dengan anak-anaknya adalah komunikasi dua arah yang memungkinkan terjadinya proses bicara, mendengar dan berpikir serta menilai.
Kejadian ayah saya menempeleng saya setelah saya ditempeleng guru olahraga adalah contoh proses komunikasi yang sangat buruk untuk zaman sekarang. Ayah saya tidak pernah bertanya kenapa Pak Guru sampai menempeleng saya, misalnya. Ia juga merasa tidak perlu mengetahui dan menilai kesalahan saya. Ayah hanya tahu, jika guru memberikan hukuman berarti saya berbuat salah.Â