Kalau usia balita dianggap sebagai "golden age" dalam masa tumbuh kembang anak, sehingga PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) menjadi sangat penting peranannya. Maka usia sekolah adalah masa dimana anak mulai berkenalan dengan lingkungan sosial yang lebih luas. Semakin tinggi tahapan sekolahnya, semakin luas pula lingkungan sosial yang harus dikenalinya dan kemudian berinteraksi di dalamnya.
Kondisi sosial ekonomi keluarga yang berbeda-beda, jarak tempuh dari rumah ke sekolah beserta moda transportasi yang digunakan, adalah contoh-contoh faktor yang mempengaruhi dinamika yang terjadi saat anak menjalani masa sekolah. Masa-masa sekolah inilah masa yang sangat menentukan dalam perkembangan anak secara keseluruhan.
Kita sering menyaksikan seseorang yang memiliki ketergantungan yang sangat tinggi kepada kedua orangtuanya, meski dia sudah beristri/bersuami bahkan sudah memiliki keturunan. Ketergantungan itu baik dalam aspek ekonomi (finansial) maupun dalam hal pengambilan keputusan terkait keluarganya. Kondisi ini bukan cerita yang terjadi di sinetron-sinetron, tapi nyata adanya di tengah-tengah kita. Ini adalah contoh dari kondisi ketidakdewasaan dalam usia dewasa. Ia sudah dewasa dalam usia, tetapi tidak dalam bersikap dan bertindak.
Dilihat dari sisi kemandirian, dewasanya seseorang tidak hanya ditentukan oleh seberapa mandiri ia dalam aspek ekonomi (finansial), tetapi juga seberapa mandiri ia dari ketergantungan kepada intervensi orangtuanya untuk hal-hal yang menyangkut pribadi dan keluarganya sendiri.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi hal itu. Salah satunya adalah pola asuh pada saat masa kanak-kanak dan remaja. Pola asuh anak adalah suatu proses yang ditujukan untuk meningkatkan serta mendukung perkembangan fisik, emosional, sosial, finansial, dan intelektual seorang anak sejak bayi hingga dewasa. Inti dari pola asuh anak adalah mempersiapkan anak menjadi manusia dewasa yang benar-benar dewasa pada usia dewasanya.
Dalam modul pembelajaran jenjang PAUD yang dikeluarkan oleh Direktorat PAUD Kementerian Pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud), disebut ada pola asuh tiga jenis pola asuh anak, yaitu:
1. Pola Asuh Permissif
Pola asuh permisif dapat diartikan sebagai pola yang membebaskan anak untuk melakukan apa yang ingin dilakukan tanpa mempertanyakan.
2. Pola Asuh Otoriter
Yakni ketika orang tua menerapkan aturan dan batasan yang mutlak harus ditaati, tanpa memberi kesempatan pada anak untuk berpendapat, jika anak tidak mematuhi akan diancam dan dihukum.
3. Pola Asuh Demokratis
Yaitu menanamkan disiplin kepada anak, dan menghargai kebebasan yang tidak mutlak, dengan bimbingan yang penuh pengertian antara anak dan orang tua.
Tulisan ini tidak ingin membahas secara mendalam mengenai ketiga jenis pola asuh di atas. Alasan pertama, karena pada prakteknya kita tidak bisa memilih salah satu dari ketiganya untuk diterapkan secara penuh. Kedua, definisi anak dalam pola asuh anak tidak boleh dibatasi oleh rentang usia kanak-kanak, apalagi hanya sebatas usia anak PAUD. Anak harus didefinisikan sebagai masa-masa di mana seorang anak masih dalam cakupan tanggungjawab orang tua. Seorang anak bisa saja sudah lepas dari asuhan orang tuanya ketika memasuki usia 17 tahun misalnya. Sebaliknya bisa saja seseorang yang sudah berusia 25 tahun masih berada dalam asuhan orang tua.
Pola asuh anak merupakan bagian penting dalam pendidikan anak. Mendidik anak adalah kewajiban dan tanggung jawab orang tua. Orang tua bisa saja “menitipkan” anaknya di sekolah yang bagus, baik itu sekolah umum maupum lembaga pendidikan khusus seperti pesantren. Akan tetapi tetap saja orang tua yang harus mengambil peran terbesar dalam pendidikan anak. Di sinilah arti penting dari pola asuh. Menjadi dasar dalam pendidikan anak secara keseluruhan. Banyak anomali bisa terjadi, dimana seseorang bisa menjadi manusia “sukses” tanpa pola asuh yang baik dari orang tuanya, tapi secara umum pola asuh anak akan memberikan kontibusi paling besar dalam keberhasilan seseorang.
Tulisan ini merupakan intisari dari pengalaman kami sebagai orang tua dalam menjalankan pola asuh bagi anak-anak kami.
Saya dan istri yang kelahiran tahun 60-an bisa dikatakan produk peralihan antara masa lalu dan masa sekarang. Di satu sisi kami dibesarkan dengan pola asuh masa lalu, di sisi lain kami harus menerapkan pola asuh "baru" sesuai tuntutan zaman. Tidak mudah bagi kami dalam nenerapkan pola asuh yang tepat untuk anak-anak kami.
Pola asuh anak di masa lalu sangat mungkin tidak pas lagi untuk diterapkan di masa sekarang. Masa dimana faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh semakin kompleks. Namun demikian ada nilai-nilai masa lalu yang masih cukup relevan untuk masa sekarang. Tentu dengan banyak penyesuaian yang harus dilakukan.
Berdasarkan pengalaman kami, saya dan istri, mengasuh dan mendidik 3 anak kami, berikut ini 6 hal penting yang harus diperhatikan dalam pola asuh anak.
1. Menanamkan sedini mungkin nilai-nilai dasar kehidupan sosial
Saat keluar rumah, norma dan etika bertetangga menjadi potensi kesalahan pertama yang bisa dialami anak. Mulai hal kecil seperti meludah di sembarang tempat, tidak menyapa orang yang kebetulan berpapasan sampai kepada ngebut di gang atau jalanan kompleks tempat tinggal. Potensi kesalahan dan pelanggaran terus bertambah panjang jika dibuat daftar sampai anak tiba di sekolah dan kemudian pulang kembali ke rumah saat jam sekolah berakhir.
Jangan sepelekan ini. Sikap permisif kepada kesalahan-kesalahan kecil dari anak akan berpengaruh kepada jiwa anak. Orangtua harus menemukan cara yang tepat untuk menyikapinya sesuai dengan situasi dan kondisinya masing-masing. Semuanya menjadi bagian dari pola asuh anak yang pada gilirannya akan berpengaruh kepada kondisi kedewasaan anak kelak.
Di masa lalu potensi melakukan kesalahan dan pelanggaran terhadap aturan dan norma yang berlaku relatif lebih mudah dicegah. Seperti di daerah yang kental dengan budaya Sunda misalnya, dilakukan dengan menerapkan konsep pamali. Di daerah lain tentu ada yang sejenis pamali dengan sebutan berbeda. Sementara itu sikap-sikap pembelaan dan sikap protektif dari orangtua kepada anak kurang menonjol, justru penghukuman yang lebih menonjol.
Di tempat kami masa kanak-kanak, waktu menjelang maghrib misalnya, dianggap waktu pamali bagi seorang anak berkeliaran di luar rumah. Ada "sandekala", begitu ayah dan ibu mengatakan.
Maksud sebenarnya adalah anak sudah harus berada di rumah bersiap untuk menunaikan sholat maghrib. Karena pamali itu saya pernah mengalami diikat di tiang rumah sampai menjelang tengah malam. Gara-garanya sampai bedug maghrib terdengar saya belum ada di rumah dan ayah menemukan saya masih asyik mancing di sungai. Dalam menghukum, ayah kami memang keras. Ayah pernah menghukum adik saya terus merokok tanpa henti untuk menghabiskan sebungkus rokok dalam seketika karena kedapatan merokok dengan teman sekolahnya. Saat itu adik saya masih kelas 6 SD.
Konsep pamali dan penghukuman seperti yang dipraktekan ayah saya tentu sudah tidak bisa diterapkan di zaman sekarang. Selain tidak sesuai dengan zaman, bentuk penghukuman seperti itu berpotensi masuk ke ranah KDRT dan menjadi delik hukum.
Namun ada hal yang masih relevan untuk zaman sekarang dan yang akan datang, yaitu ada nilai-nilai dasar kehidupan sosial yang harus ditanamkan kepada anak sedini mungkin. Menghormati orang tua, menghargai saudara yang lebih tua dan menyayangi saudara yang lebih muda adalah contoh dari nilai-nilai dasar itu.
Pada masa sekolah, menghormati orang tua kemudian diperluas dengan menghormati guru dengan memposisikan guru sebagai orangtua kedua, orangtua di sekolah. Menghormati guru berarti menghormati ayah ibu sendiri. Sedangkan menghargai saudara yang lebih tua dan menyayangi saudara yang lebih muda, meluas menjadi menghargai kakak kelas dan menyayangi adik kelas. Saling menghargai dan saling menyayangi menjadi hal yang dibutuhkan dalam interaksi sosial di zaman apapun.
Etika dan sopan santun adalah contoh lain dari nilai-nilai dasar kehidupan sosial yang harus ditanamkan sedini mungkin kepada anak.
Menanamkan nilai-nilai dasar kehidupan sosial adalah tugas dari orangtua. Orangtua harus melakukannya sedini mungkin, sebelum si anak mengenal nilai-nilai dari dunia luar. Keberadaan gadget dan internet menjadi tantangan sendiri bagi para orangtua dalam menanamkan nilai-nilai dasar kehidupan sosial di zaman sekarang ini. Orangtua harus berpacu dengan perkembangan teknologi.
Keluarga beserta rumah sebagai unit terkecil dari masyatakat menempati posisi penting dalam menanamkan nilai-nilai dasar kehidupan sosial ini. Ketika nilai-nilai dasar ini tidak berhasil diterapkan di lingkungan rumah dan keluarga, akan sulit bagi anak untuk bisa menjalankan nilai-nilai sosial yang berlaku umum di tengah-tengah masyarakat.
2. Hindari target-target yang tidak penting, biarkan anak menikmati masa sekolahnya
Satu prinsip yang kami pegang dalam pola asuh anak adalah anak harus menikmati masa sekolahnya. Tentu menikmatinya secara positif. Salah satunya adalah dengan tidak memberikan target-target yang tidak penting, seperti misalnya ranking (peringkat) anak di kelas.
Pengalaman saya dan istri selalu menempati ranking atas di kelas selama SMP dan SMA tidak membuat kami menuntut anak-anak bisa seperti kami. Karenanya kami tidak pernah memberikan target kepada anak-anak untuk mencapai rangking atas di kelas mereka. Namun ketika mereka bisa menikmati masa sekolahnya dengan baik, tanpa terbebani target-target tertentu, prestasi akan dengan sendirinya hadir.
Kami juga beruntung di jenjang SD anak-anak belajar di sekolah yang berbasiskan Islam sesuai dengan agama yang kami peluk, sehingga hal-hal yang berhubungan dengan tata cara ibadah menjadi bagian dari kurikulum. Hapalan bacaan sholat dan surat-surat pendek dalam Al Qur'an menjadi target yang diberikan sekolah. Begitu pula tata cara dan praktek wudlu serta sholat.
Sekolah juga membiasakan murid-murid melaksanakan sholat dluha dan sholat berjamaah di Masjid. Kami sangat terbantu oleh sekolah. Tentu ini tidak membuat tugas kami dalam mendidik anak menjadi berkurang. Akan tetapi kami tidak perlu lagi memberikan target kepada anak dimana anak sudah mendapatkannya dari guru-gurunya di sekolah. Kami hanya memonitor perkembangan anak dalam mencapai target-target itu.
Kepada anak-anak, kami hanya memberi pemahaman bahwa untuk naik kelas atau lulus sekolah bukan sesuatu yang sulit. Hanya kejadian yang luar biasa yang bisa menyebabkan tidak naik kelas atau tidak lulus sekolah. Ini berbeda dengan zaman kami sekolah, naik kelas adalah sesuatu yang mahal. Saat saya SD, setengah dari teman sekelas di kelas 1 terpaksa tinggal kelas. Dan saya bertemu teman baru di kelas 2 yang hampir setengahnya mereka yang tidak naik ke kelas 3. Dengan susah payah saya lulus dari SD dengan nilai rata-rata ijazah di bawah 7 ketika belum ada Ebtanas atau UN untuk menentukan kelulusan. Padahal saya termasuk peringkat atas di kelas.
Dengan cara seperti ini anak-anak tampak bisa menikmati masa-masa sekolah mereka, baik saat di jenjang pendidikan dasar dan menengah maupun pendidikan tinggi. Anak pertama kami misalnya menikmati masa sekolahnya di SMA dengan mengembangkan kepedulian sosial.
Salah satu contohnya, ia dan beberapa kawan sekelasnya pernah selama beberapa pekan ngamen setiap malam minggu di kawasan Dago Bandung untuk mengumpulkan dana bagi teman sekelasnya yang terancam tidak bisa ikut karyawisata karena kesulitan keuangan. Kawasan Dago menjadi pilihan mereka, karena menjadi pusat berkumpulnya wisatawan dari Jakarta di akhir pekan, sehingga dengan cepat bisa mengumpulkan dana yang cukup untuk temannya.
Sedangkan anak kedua menikmati masa sekolahnya dengan menjadi kutu buku. Dari situ dia bisa memperkuat kemampuannya dalam menyusun "peta berpikir", cara belajar yang didapatkanya dari guru SD-nya. Saat kuliah anak pertama dan kedua sangat aktif dalam ekstra kurikuler di kampusnya tanpa rasa takut akan terganggunya perkuliahan. Sedangkan anak ketiga asyik mengembangkan minatnya kepada seni budaya Asia Selatan khususnya Jepang dan Korea.
3. Hindari sikap pembelaan dan over protective
Saat saya SMP, salah satu lapangan tempat pelajaran praktek olahraga tepat berada di seberang jalan depan rumah kami. Suatu hari guru olahraga kami menjejerkan 9 orang murid termasuk saya karena berbuat sesuatu yang dianggap sebuah kesalahan berat. Ditempeleng satu per satu menjadi hukuman yang diberikan guru olahraga kepada kami. Naas, pada saat kami ditempeleng satu per satu, di seberang jalan ayah saya menyaksikan itu.
Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi di zaman sekarang, ketika seorang ayah menyaksikan anaknya ditempeleng orang di depan matanya sendiri. Mungkin si ayah akan merekam kejadian itu dan memviralkannya di medsos. Bisa juga si Ayah saat itu juga melabrak Pak Guru dengan caci maki bahkan tindak kekerasan. Atau bisa juga si Ayah melaporkan Pak Guru kepada Kepala Sekolah atau bahkan ke penegak hukum.
Tapi apa yang terjadi waktu itu ? Saat saya tiba di rumah sepulang sekolah, tanpa ba bi bu, sebuah tempelengan dari ayah melayang ke pipi kiri, melengkapi pipi kanan yang tadi ditempeleng Pak Guru Olahraga. Tak ada pengaduan apapun terhadap Pak Guru dari para orangtua dari 9 murid itu.
Jeweran ke kuping murid perempuan dan cubitan keras di perut murid laki-laki adalah hal yang biasa waktu itu. Semuanya tidak pernah menjadi persoalan antara murid dengan guru juga orangtua dengan guru. Bahkan orangtua akan menggandakan hukuman jika anaknya ketahuan mendapat hukuman dari gurunya.
Tindakan menggandakan hukuman seperti dilakukan ayah saya dan menjadi kebiasaan di zaman dulu memang tidak bijaksana untuk zaman sekarang. Demikian pula sanksi berupa hukuman pisik tidak seharusnya menjadi pilihan yang diambil oleh seorang guru kepada muridnya. Tetapi sikap berlebihan juga tidak patut dipertontonkan oleh orantua untuk menyikapi hukuman yang diterima anaknya dari sekolah.
Orangtua tentu berkepentingan untuk melindungi anaknya dari perlakuan yang tidak sewajarnya baik dari pihak sekolah maupun siswa yang lain. Akan tetapi harus disadari oleh orangtua bahwa sikap over protective dan pembelaan yang berlebihan hanya akan mengkerdilkan jiwa anaknya.
Si anak bisa saja menjadi tertekan jiwanya akibat sikap pembelaan yang berlebihan dari orangtuanya. Ia menjadi minder di hadapan teman-temannya karena dianggap berlindung di balik kekuatan orangtuanya. Atau sebaliknya si anak tumbuh menjadi anak yang angkuh dan arogan karena merasa dibekingi orangtuanya. Bisa juga si anak tumbuh menjadi "anak mama" yang terus menerus berlindung di ketiak ibunya karena sikap over protective dari orangtuanya.
Kasus-kasus yang banyak terjadi saat acara perpeloncoan misalnya, merupakan salah satu akibat dari sikap over protective itu, di samping akibat tidak terkendalinya perpeloncoan itu sendiri. Ketika anak-anak kita tidak tumbuh dalam sikap over protective dari orangtua, maka si anak akan lebih siap menerima kondisi-kondisi yang tidak mengenakan. Sebuah kondisi yang mau tidak mau pasti dialami olehnya dalam usia dewasanya kelak di kemudian hari.
Anak-anak kami semuanya tidak pernah menemui persoalan serius dan bisa mengikuti kegiatan perpeloncoan baik saat masuk SMA maupun saat menjadi mahasiswa baru. Mereka enjoy-enjoy aja mengikutinya. Tugas-tugas konyol dan mengada-ngada dan bentakan-bentakan tak beralasan dari senior tidak menjadi masalah buat anak-anak kami. Kalaupun ada keluhan yang sampai kepada kami orangtuanya, itu sekedar keluhan manja untuk sekedar menunjukkan kebanggaan bisa menjalani kegiatan yang lumayan berat.
4. Biarkan anak menyelesaikan persoalannya sendiri
Ada banyak persoalan yang mungkin dihadapi anak pada masa usia sekolah. Mulai dari hal-hal kecil seperti kebiasaan telat bangun pagi, malas mengerjakan PR, tidak serius menyimak pelajaran yang diberikan oleh guru, sampai kepada masalah yang relatif besar seperti pelanggaran tata tertib sekolah dan berkelahi dengan teman sekolah.
Tidak semua persoalan anak harus diselesaikan dengan intervensi orangtua secara langsung. Sedapat mungkin orangtua harus memberikan kesempatan kepada anak untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya dengan caranya sendiri. Orangtua tentu tidak bisa lepas sepenuhnya, tetapi harus tetap memberikan perhatian dan memastikan persoalan yang dihadapi anaknya tidak melahirkan persoalan-persoalan baru yang lebih besar.
Memberikan kesempatan kepada anak untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, akan memberikan manfaat kepada anak untuk melatih kemampuannya menghadapi persoalan-persoalan yang lebih besar yang akan dihadapinya di saat ia dewasa. Saat dimana orangtua sudah melepaskan dirinya untuk terjun sepenuhnya di tengah-tengah masyarakat.
Saya masih ingat betul saya ngurus sendiri saat mendaftar sekolah, mulai masuk SD sampai masuk perguruan tinggi. Dengan bercelana pendek dan sandal jepit saya datangi kantor SD yang tidak jauh dari rumah. Mendaftar untuk menjadi siswa di situ. Hal yang sama di jenjang-jenjang berikutnya. Betul-betul mengurusinya sendiri. Orangtua hanya menyiapkan uang untuk biaya pendaftaran dan yang lainnya. Hal seperti ini untuk zaman sekarang rasanya tidak mungkin, kecuali untuk jenjang perguruan tinggi. Dan kamipun mengalami hal ini. Kami harus mengurus sepenuhnya saat anak kami masuk SD dan SMP.
Pengalaman menyelesaikan masalah dengan cara sendiri yang dialami saya dan istri saya saat masa sekolah, sangat berpengaruh terhadap pola asuh anak-anak kami. Ketika anak pertama kami menginjak semester 3 perguruan tinggi, ia pernah mengalami insiden lalu lintas dengan seorang anggota Polri. Mobil yang dikemudikannya menabrak dari belakang sepeda motor yang dikendarai anggota Polri tersebut. Sesaat setelah kejadian anak kami menelepon saya mengabarkan insiden yang baru saja terjadi. Dan saya menilai anak kamilah yang bersalah dalam insiden itu.
Saya hanya mengatakan agar anak kami menyelesaikannya secara baik-baik. Dan anak kami itu berhasil menyelesaikan persoalan yang dihadapinya tanpa campur tangan orangtua. Anggota Polri itu hanya minta anak kami mengganti dan memperbaiki kerusakan sepeda motornya. Saat itu anak kami tak membawa uang yang cukup untuk membiayai semuanya. Tapi bisa membuat anggota Polri itu percaya bahwa anak kami akan bertanggungjawab, tanpa meminta jaminan apapun. Dia meneruskan perjalanan ke tempat dinasnya dengan mengendarai sepeda motor yang mengalami kerusakan di beberapa bagian.
Anak kami nomor dua, mengalami masalah berkenaan dengan seragam sekolah. Saat SD ia sekolah di SD yang berbasiskan Islam sehingga seragam siswa laki-laki adalah celana panjang. Ini menjadi persoalan saat masuk SMP seragam siswa laki-lakinya celana pendek. Anak kami yang terbiasa bercelana panjang ke sekolah, sempat mengalami penolakan dari SMP yang dia masuki. Namun dia terus berusaha minta semacam dispensasi khusus untuk menggunakan celana panjang. Upaya dia ternyata mendapat dukungan dari banyak guru di SMP itu sehingga akhirnya kepala sekolah mengijinkannya. Bahkan setelah itu celana panjang menjadi salah satu seragam resmi yang digunakan setiap hari Jum'at.
Hal berbeda dialami oleh anak ketiga kami yang pindah sekolah pada saat naik ke kelas 3 karena kepindahan tempat tinggal kami ke kota yang berbeda. Di SD sebelumnya yang sama dengan kakaknya, jilbab menjadi hal wajib dikenakan saat sekolah. Persoalan muncul, di sekolah barunya tidak ada satupun siswa perempuannya yang mengenakan jilbab, meski jilbab tidak dilarang.
Anak kami sempat kikuk dan beberapa hari mengalami kegalauan antara terus menggunakan jilbab atau tidak. Namun pada akhirnya dia memutuskan untuk tetap mengenakannya. Dia berhasil menyelesaikan persoalannya sendiri tanpa campur tangan orang tua. Keputusan dia untuk tetap mengenakan jilbab ternyata kemudian diikuti oleh beberapa teman sekolahnya termasuk kakak-kakak kelasnya untuk juga mengenakan jilbab.
Anak harus belajar sedini mungkin bagaimana menyelesaikan sendiri persoalan yang dihadapinya. Orangtua sedapat mungkin menghindari campur tangan kepada persoalan yang dihadapi anaknya sepanjang orangtua bisa menilai dan meyakini bahwa anaknya mampu menyelesaikannya sendiri.
5. Biarkan anak bertanggungjawab atas pilihannya
Memilih adalah sebuah keniscayaan dalam menjalani kehidupan. Pilihan demi pilihan akan datang silih berganti seiring berjalannya waktu. Yang pasti, setiap orang akan mengalami dimana dia harus memilih salah satu dari beberapa pilihan yang ada dihadapannya.
Sebagai orang tua pasti menghendaki kebaikan bagi anak-anaknya. Menjadi orang yang sukses misalnya. Karenanya menjadi hal yang sangat wajar apabila orang tua akan memilihkan hal terbaik untuk anak-anaknya. Mencarikan sekolah terbaik atau memilihkan jurusan favorit di perguruan tinggi bagi anaknya adalah contoh upaya orangtua memberikan yang terbaik untuk anaknya.
Orangtua bisa memilihkan sekolah yang mahal misalnya, karena secara finansial mampu. Orangtua bisa jadi memilihkan jurusan untuk anaknya di perguruan tinggi berdasarkan potensi akademik atau bisa juga berdasarkan penilaian atas bakat yang dimiliki si anak.
Dengan dasar-dasar itu, wajar sebagai orangtua merasa bisa memilihkan jurusan yang tepat untuknya. Akan tetapi orangtua harus memahami jalan sukses yang ada dalam pikiran anak kita belum tentu sama dengan yang ada dalam pikiran orangtuanya. Bisa jadi dia punya jalan yang berbeda untuk tujuan yang sama yakni jadi orang yang sukses itu.
Maka memberikan kesempatan kepada anak untuk memilih jalannya berarti memberikan kesempatan kepada anak untuk belajar bertanggungjawab atas pilihan yang diambilnya. Anak harus belajar bertanggungjawab kepada dirinya sendiri, sebelum belajar bertanggungjawab untuk hal-hal yang jauh lebih besar yang harus dihadapinya saat ia dewasa dan hidup di tengah-tengah masyarakat luas.
Zaman kami sekolah di era 70-an sampai 80-an, jurusan Paspal atau IPA di SMA adalah jurusan yang lebih bergengsi daripada jurusan lainnya yaitu Sos (IPS) dan Bahasa. Masa itu, Jurusan Paspal (IPA) dianggap sebagai representasi dari keunggulan intelegensia dibandingkan siswa jurusan Sos (IPS) dan bahasa.
Saya dan istri saya merupakan produk zaman itu. Sehingga IPA menjadi pilihan saat SMA. Istri saya melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi yang berbasiskan exacta, sesuai dengan jurusannya di SMA. Sedangkan saya memilih jurusan dalam kelompok IPS yang cenderung sangat exact.
Apa yang terjadi, setelah lulus bisa dikatakan istri saya tidak mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya dari bangku kuliah. Faktor utama penyebabnya adalah bidang itu bukan minatnya. Begitu pula dengan saya, bidang ilmu yang diperoleh dari bangku kuliah akhirnya ditinggalkan. Meski itu tidak menjadi mubazir karena tetap bermanfaat untuk bidang pekerjaan yang digeluti kemudian.
Dari sini ada 2 hal yang bisa kita tarik sebagai pelajaran. Yang pertama adalah bahwa sebuah pilihan meski itu menjadi pilihan anak tidak selalu menjadi key success factor dalam success story si anak. Sebuah pilihan tetap berpotensi salah atau keliru seperti dialami istri saya dan juga saya sendiri. Tapi setidaknya yang harus dilakukan oleh orangtua adalah mendorong si anak untuk bertanggungjawab atas pilihan yang diambilnya. Bertanggungjawab itu misalnya si anak berusaha keras menyelesaikan pendidikannya meski tidak sesuai dengan minatnya, jika ia memilih untuk tetap melanjutkannya.
Pelajaran kedua adalah orang tua tetap bisa berperan dalam pilihan anaknya agar pilihan itu tidak menjadi pilihan yang salah atau keliru, meski harus disadari bahwa kesalahan atau kekeliruan memilih itu baru akan diketahui di kemudian hari.
Kepada ketiga anak yang kami miliki, kami memberikan kesempatan untuk memilih sendiri jurusan yang dikehendakinya di SMA. Ketiganya kemudian memilih jurusan yang berbeda. Anak pertama memantapkan pilihannya yaitu IPS, jurusan yang dia kehendakinya sejak sebelum dia masuk SMA. Anak kedua memilih IPA. Sedangkan anak ketiga memilih jurusan bahasa, meski saat test penentuan jurusan ia bisa masuk IPA. Sama sekali tidak ada intervensi kami orangtuanya dalam pilihan mereka. Kami hanya mengawal agar mereka bertanggungjawab atas pilihan mereka. Demikian pula saat pemilihan jurusan di perguruan tinggi. Kami tidak ikut campur. Kami hanya mengingatkan mereka untuk berhati-hati dalam menentukan pilihan.
Anak pertama kami hampir gagal menyelesaikan S1-nya, padahal sempat menjadi Asisten Dosen. Namun pada akhirnya ia berhasil lulus, meski keduluan oleh adiknya (anak kami nomor dua).
Anak ketiga kami sempat mengalami kegalauan saat berada di semester 2 kuliahnya. Dia galau antara tetap di jurusan yang sudah 2 semester diikutinya atau ikut test masuk lagi ke jurusan lain yang juga dia minati. Kami orangtuanya tidak melarang ataupun mendorong. Kami serahkan sepenuhnya kepada yang bersangkutan untuk memutuskan. Akhirnya dia memutuskan untuk lanjut saja dengan jurusan yang sekarang ditempuhnya.
Dan mereka berhasil menunjukkan tanggungjawab terhadap pilihan mereka sendiri. Anak pertama dan anak kedua kini mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keilmuan yang mereka pilih di perguruan tinggi. Sedangkan anak ketiga hampir menyelesaikan S1-nya dalam waktu yang relatif cepat.
6. Membangun komunikasi yang harmonis di dalam keluarga
Hal penting lain dalam pola asuh anak adalah komunikasi antara orangtua dan anak. Komunikasi ini menjadi sangat penting ketika anak secara sosial sudah lebih terbuka interaksinya. Orangtua harus memastikan bahwa komunikasi yang dibangun dengan anak-anaknya adalah komunikasi dua arah yang memungkinkan terjadinya proses bicara, mendengar dan berpikir serta menilai.
Kejadian ayah saya menempeleng saya setelah saya ditempeleng guru olahraga adalah contoh proses komunikasi yang sangat buruk untuk zaman sekarang. Ayah saya tidak pernah bertanya kenapa Pak Guru sampai menempeleng saya, misalnya. Ia juga merasa tidak perlu mengetahui dan menilai kesalahan saya. Ayah hanya tahu, jika guru memberikan hukuman berarti saya berbuat salah.
Saya yang mengalaminya tidak membuat saya membenci ayah saya juga guru olahraga saya. Saya tetap menghormati keduanya sebagai orangtua. Tidak ada dampak buruk apapun secara psikologis untuk saya. Bahkan peristiwa itu menjadi kenangan manis yang selalu diperbincangkan saat saya berkumpul dengan teman-teman sekelas di SMP. Kenapa bisa terjadi ? Karena hal seperti itulah yang berlaku pada zaman itu. Dan kami anak-anak zaman itu menerimanya sebagai nilai sosial yang berlaku umum.
Tapi itu zaman baheula, jadul. Bukan hari ini. Hari dimana zaman sudah berubah dan berkembang sedemikian rupa. Semua yang terjadi harus dikomunikasikan dengan sebaik-baiknya.
Orang tua harus memahami secara mendalam apa yang terjadi dengan anaknya. Orangtua juga harus memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk memahami apa yang dikehendaki orangtua dari dirinya. Semuanya hanya bisa diwujudkan dengan komunikasi yang harmonis diantara keduanya. Ini harus menjadi tiang penyangga bagi tegaknya relasi orangtua - anak. Ketika relasi orangtua - anak berjalan baik maka kans untuk tercapainya harapan orangtua atas sebuah "kesuksesan" anaknya menjadi lebih besar.
Akhir Kata
Pola asuh anak bukanlah sebuah ilmu yang baku. Banyak variabel yang mempengaruhinya. Setiap keluarga akan menghadapi variabel yang berbeda sesuai zamannya. Karenanya diperlukan kejelian dari orangtua untuk memilih pola asuh yang tepat bagi anak-anaknya.
Kalau hari ini saya tuliskan ini semua, tidak berarti kami telah menerapkan pola asuh yang tepat untuk anak-anak kami. Kami belum bisa membuat sebuah "klaim keberhasilan", karena kami pun masih berproses dalam mendewasakan mereka. Mereka pun masih berproses mewujudkan harapan kami dengan cara dan jalannya masing-masing. Tapi setidaknya kami telah memulai investasi besar untuk mereka dalam bentuk kasih sayang. Tidak ada yang kami harapkan dari mereka selain menjadi benar-benar dewasa dalam kedewasaan usia mereka kelak. Semoga ......... >|
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI