Hampir setiap hari, pedagang keliling itu berjualan di teras rumah Juragan Manto. Sejak pagi menyingsing, dia sudah menggelar barang dagangannya. Mulai dari sayur-mayur, ikan, daging, bumbu dapur dan aneka macam jenis makanan yang lainnya. Sejak pagi pula, sudah banyak pembeli yang menghampirinya.
Barangkali karena keramahannya, sehingga banyak pembeli, utamanya ibu-ibu, yang senang berbelanja kepadanya. Selalu melayani dengan sabar. Apalagi jika menghadapi ibu-ibu yang cerewetnya minta ampun. Selalu saja menawar. Selalu saja minta potongan, seratus, dua ratus dan seterusnya.
Menurut sang pedagang keliling. Hampir semua ibu-ibu melakukan itu. Tak terkecuali bu RT. Selalu saja menawar sampai titik terendah. Sudah begitu, jika belanja, seringkali berhutang. Kadang kala sampai lupa membayarnya. Jika sudah begitu, sang pedagang hanya bisa pasrah. Percuma saja menunjukkan semua catatan hutang yang dibuatnya. Sudah pasti, si ibu itu tidak akan percaya.
Hasil berjualan setiap hari dan pendapatan sang istri sebagai buruh bersih-bersih, sebenarnya, untungnya cukup besar. Lebih dari cukup, jika sekedar untuk makan, memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membiayai pendidikan kedua anaknya. Tapi memang, sang pedagang, tiap bulannya harus menyisihkan sebagian pendapatannya untuk membayar kredit motor untuk anak laki-lakinya yang besar.
Waktu semakin siang. Jumlah pembeli pun semakin berkurang. Jika sudah seperti itu, sang pedagang biasanya sudah bersiap untuk mengemas kembali barang dagangannya. Berpindah ke tempat jualan yang lainnya. Yaitu di depan rumah Mbak Juh, yang depannya sekolah SD. Jam-jam seperti ini, ibu-ibu sudah pasti setia menunggunya.
Semua barang sudah diangkut di atas motor. Sang pedagang keliling sudah bersiap meluncur ke tempat selanjutnya. Baginya, tujuannya kali ini paling membuatnya bersemangat. Bukan lantaran banyaknya ibu-ibu yang sudah menunggunya. Melainkan, di situ dia bisa melihat wajah cantik Mbak Jum. Janda anak satu, yang ditinggal suaminya pergi, entah ke mana.
Banyak Ibu-ibu di sana yang sudah mengira. Bahwa sang pedagang keliling, ada rasa pada Mbak Jum. Dugaan tersebut bukan tanpa alasan. Setiap kali Mbak Jum berbelanja, selalu saja diberikan diskon besar-besaran. Ditambahi ini, itu dan sebagainya. Dan setiap kali berhutang, sang pedagang, tak pernah terdengar menagihnya.
Sampailah sang pedagang keliling di depan rumah Mbak Jum. Segera ia parkir motor yang memuat barang dagangan. Semua digelar. Sehingga ibu-ibu bisa leluasa untuk memilih barang yang dikehendaki. Semua pembeli merubung sang pedagang. Membeli sayur, daging, ikan dan sebagainya. Menawar seratus, lima ratus, hingga berhutang seribu atau dia ribu. Dan sang pedagang, selalu terlihat ramah pada semua langganannya.
Hampir semua pelanggan sudah dilayani. Barang dagangan pun tinggal menyisakan sedikit sisa. Namun dari pengamatan sang pedagang, ada satu yang belum berbelanja. Ya, Mbak Jum, belum ada. Sang pedagang keliling, terus saja menanti. Barangkali, Mbak Jum ketiduran, atau sedang mencuci, sedang ada tamu, atau anaknya sedang rewel.
Pandangan sang pedagang keliling tertuju pada pintu rumah Mbak Jum. Dipandanginya, seperti tertutup. Sepi, seperti memang sedang tidak ada di rumah. Sekali tak memandang wajah perempuan pujaannya, membuat hati sang pedagang keliling gundah. Ada rasa penasaran. Hingga akhirnya, dia mendekat ke rumah Mbak Jum.
"Mbak ... Mbak Jum" kata sang pedagang keliling sambil mengetuk pintu yang sedari tadi tertutup.