Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bagian (2) : "Tukar Guling Pasal"

12 Maret 2012   23:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:09 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Malam belum larut benar. Malam itu, Jakarta, tak sedang di sapa hujan. Di Mellys Cafe, sebuah kafe yang ada di Jalan Wahid Hasyim Jakarta Pusat, pada Senin malam (27/2), saya bertemu dengan seorang aktivis penggiat pemilu, August Mellaz. Ia peneliti dari Kemitraan, sebuah lembaga think thank yang kerap menjadi mitra sharing dengan parlemen.

August juga aktif di Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem), sebuah lembaga non pemerintah yang fokus pada kajian kepemiluan di Indonesia. Saat bertemu dan mengajak ngobrol wajah August nampak lelah.

" Habis dari DPR mas," katanya.

Ia pun bercerita, tadi ia menghadiri sidang Panja RUU Pemilu. Karena penelitiannya konsen dalam kepemiluan, ia perlu hadir melihat perkembangan pembahasan RUU Pemilu yang dikabarkan alot.

" Panja seperti menyerah, menyerahkan pembahasan empat point krusial, ke Pansus. Tadi tak ada titik temu lagi soal PT, " kata dia lagi.

Empat point krusial memang menjadi menu pemberitaan RUU Pemilu. Empat point itu, menyangkut soal Parliamentary Treshold atau PT, sistem pemilu, alokasi kursi di daerah pemilihan, dan konversi suara ke kursi.

Namun, kata August lagi, titik terang konsensus atau kompromi, mulai terlihat. Terutama soal PT. Partai-partai mulai melunak dan bersedia saling tukar guling konsesi kepentingan.

" PT sepertinya mau dikompromikan dengan sistem pemilu terbuka tertutup itu," ujarnya.

PKB, misalnya dalam sidang yang ia lihat, mulai melemparkan sinyal kompromi. Seorang politisinya di Komisi II, Abdul Malik Haramian, menyatakan, PT boleh naik, asal sistem pemilu tertutup diberlakukan. Pun, PPP dan PDI, isyaratnya sama.

" Di Lirboyo kan, Ketum PPP, Suryadharma Ali yang menyatakan, PT tidak apa-apa naik, asal sistemnya tertutup," ujarnya.

Dalam sidang Senin malam, angka PT memang dibahas dengan alot. Angka 3,5 persen di lontarkan oleh para pendukung sistem pemilu tertutup. Tapi akhirnya sidang Panja pun buntu tak menghasilkan kata putus. Dan soal PT kembali diserahkan untuk dibahas di tingkat Pansus.

Mengenai tukar guling konsesi antara pasal yang memuat tentang angka PT dengan sistem proporsional tertutup sempat diutarakan oleh PDI-P. Ketua Pansus RUU Pemilu dari Fraksi PDI-P, Arief Wibowo, pernah menyatakan, sistem proporsional tertutup adalah prinsip bagi PDI-P. Sikap PDI-P tentang itu tegas dan jelas. Angka PT boleh turun, namun sistem pemilu tertutup bisa diakomodir.

"Sistem proporsional tertutup itu sudah menjadi prinsip partai. Sementara yang lain masih bisa kita kompromikan," ujarnya.

Kemungkinan tukar menukar pasal pun dilontarkan Wasekjen Partai Demokrat, Saan Mustofa. Menurut Saan bisa saja itu dilakukan. Intinya Demokrat siap membuka ruang kompromi.

" Kita ingin empat point krusial itu bisa disepakati, apakah dengan cara seperti itu (tukar guling PT dengan sistem proporsional tertutup-red), kita siap membuka ruang kompromi," kata Saan. Kendati Saan buru-buru menambahkan, hingga saat ini mengenai angka PT, partainya tetap pada angka 4 persen, belum ada keinginan menurunkan ke angka 3,5 persen.

Sementara Golkar, seperti diutarakan kadernya di Komisi II, Basuki Tjahja Purnama, masih bersikukuh angka PT dinaikan hingga 5 persen. Dan belum ada kompromi terkait itu. Mengenai apakah bisa dikompromikan dengan sistem pemilu, Basuki mengatakan, partainya sudah menawarkan sistem kombinasi.

" 30 persen tertutup dan 70 persen terbuka. Tapi kan, PDI-P, PKS, PKB dan PPP ngotot ingin semuanya tertutup," kata Basuki.

Alokasi Kursi

Namun kata August, bila PT misalnya sudah disepakati, tidak lantas kemudian pembahasan tak lagi alot. Ia berpendapat, persoalan krusial yang bakal juga akan menyita energi adalah soal alokasi kursi per daerah pemilihan atau dapil. Dalam rancangan revisi UU Pemilu, alokasi kursi itu basisnya adalah data DAK2 dari pemerintah, bukan data sensus.

Akan jadi problem, karena data DAK2 pemerintah, baru ada pada akhir Desember 2012. Sementara janji politik DPR, RUU Pemilu bisa selesai Maret 2012.

" Ini yang akan jadi hambatan," katanya.

Dalam sidang Panja yang ia saksikan juga terlihat pembahasan yang sulit mengenai alokasi kursi per dapil. Pembahasan alokasi kursi sulit karena sifatnya yang teknis, dan itu langsung bersentuhan dengan kepentingan politik individu legislator di 2014.

" Ini juga kan soal tarik menarik ini kantong suara saya, yang telah saya garap ya yang gitu-gitulah. Sikap ngotot-ngototan terjadi. Sampai-sampai mungkin saking pusingnya Muzamil (Politisi PKS-red), mengatakan, sudah soal alokasi gunakan saja hasil kajian Perludem," tuturnya.

Perludem, kata August, memang pernah melakukan kajian tentang alokasi kursi per dapil. Tapi kata dia, basisnya menggunakan data sensus, bukan DAK2 pemerintah. Padahal, data sensus dengan DAK2 bila di perbandingkan selalu ada selisih yang signifikan. " Bisa 20 juta selisihnya," katanya.

Jika DPR berkeras tetap mengejar Maret, sementara data DAK2 selesai akhir Desember, dan parlemen sendiri ngotot basis alokasi kursi itu basisnya DAK2, maka dipastikan UU Pemilu, tanpa lampiran alokasi kursi dapil.

" Bisa sih jalan tengahnya, KPU yang mengerjakan alokasi kursi per dapil itu, tapi kan DPR yang ngotot tak mau," kata August.

Apa yang ia saksikan dan pantau dari pembahasan RUU Pemilu, aroma tarik menarik kepentingan sangat kuat terasa. Anggota Komisi II dari masing-masing partai juga serba salah, satu sisi ia juga berkepentingan mengamankan dapilnya, tapi satu sisi juga harus memperjuangkan kepentingan partai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun