Malam belum larut benar. Malam itu, Jakarta, tak sedang di sapa hujan. Di Mellys Cafe, sebuah kafe yang ada di Jalan Wahid Hasyim Jakarta Pusat, pada Senin malam (27/2), saya bertemu dengan seorang aktivis penggiat pemilu, August Mellaz. Ia peneliti dari Kemitraan, sebuah lembaga think thank yang kerap menjadi mitra sharing dengan parlemen.
August juga aktif di Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem), sebuah lembaga non pemerintah yang fokus pada kajian kepemiluan di Indonesia. Saat bertemu dan mengajak ngobrol wajah August nampak lelah.
" Habis dari DPR mas," katanya.
Ia pun bercerita, tadi ia menghadiri sidang Panja RUU Pemilu. Karena penelitiannya konsen dalam kepemiluan, ia perlu hadir melihat perkembangan pembahasan RUU Pemilu yang dikabarkan alot.
" Panja seperti menyerah, menyerahkan pembahasan empat point krusial, ke Pansus. Tadi tak ada titik temu lagi soal PT, " kata dia lagi.
Empat point krusial memang menjadi menu pemberitaan RUU Pemilu. Empat point itu, menyangkut soal Parliamentary Treshold atau PT, sistem pemilu, alokasi kursi di daerah pemilihan, dan konversi suara ke kursi.
Namun, kata August lagi, titik terang konsensus atau kompromi, mulai terlihat. Terutama soal PT. Partai-partai mulai melunak dan bersedia saling tukar guling konsesi kepentingan.
" PT sepertinya mau dikompromikan dengan sistem pemilu terbuka tertutup itu," ujarnya.
PKB, misalnya dalam sidang yang ia lihat, mulai melemparkan sinyal kompromi. Seorang politisinya di Komisi II, Abdul Malik Haramian, menyatakan, PT boleh naik, asal sistem pemilu tertutup diberlakukan. Pun, PPP dan PDI, isyaratnya sama.
" Di Lirboyo kan, Ketum PPP, Suryadharma Ali yang menyatakan, PT tidak apa-apa naik, asal sistemnya tertutup," ujarnya.
Dalam sidang Senin malam, angka PT memang dibahas dengan alot. Angka 3,5 persen di lontarkan oleh para pendukung sistem pemilu tertutup. Tapi akhirnya sidang Panja pun buntu tak menghasilkan kata putus. Dan soal PT kembali diserahkan untuk dibahas di tingkat Pansus.