"Memang demikianlah adanya. Tidak ada satu pun penduduk miskin di negeri ini, sebab mereka semuanya sudah kaya. Setiap tahun mereka selalu mengeluarkan zakat harta dan dalam kesehariannya mereka selalu berlomba bersedekah. Sesekali yang menjadi kesulitan bagi kami di zaman ini adalah mengalokasikan hasil zakat dan sedekah ini. Sebab di negeri ini sudah tak ada lagi yang berhak untuk menerimanya."
"Lantas, kemanakah harta-harta itu akan didistribusikan?"
"Syukurlah, harta itu kemudian bisa tertampung di negeri seberang."
"Loh, bukankah di negeri itu sudah sangat makmur keadaannya. Bahkan ia pemberi bantuan terbanyak untuk negeri kita ini." Aku menyanggah dengan memendam rasa tidak percaya.
"Dahulu memang demikian keadaannya. Namun, ketamakan manusia seringkali bisa merubah keadaan. Mereka saat ini harus berbenah dan berproses untuk membentuk peradaban baru yang lebih mulia, di mana guru kebudayaannya adalah dari negeri Tuan ini.
"Jika boleh saya tahu, apakah kunci begitu luhurnya peradaban kami?"
"Seiring berjalannya waktu, bangsa Tuan adalah bangsa yang gemar berbenah dan mudah memaafkan. Barangkali itulah yang kemudian mendatangkan ridha Tuhan untuk negeri Tuan."
Segera saja aku memohon ampun atas kerdilnya pengetahuanku juga untuk saudara-saudaraku yang sangat rawan terjerembab dalam kezaliman.
"Bagaimana Tuan? Apakah Tuan masih tetap ingin tinggal dalam peradaban zaman ini?"
"Tidak. Aku ingin kembali saja ke masaku. Barangkali ada satu atau dua hal baik yang bisa kutanam untuk kemakmuran negeri ini."
"Baiklah, jika demikian. Semoga Tuhan senantiasa meridhai dan membimbing langkah Tuan."