"Di manakah ini?" tanyaku penasaran.
"Tidak bergeser satu mili pun dari tempat Tuan semula. Hanya waktunya saja yang berbeda." Ia menjelaskan.
"Mohon maaf, jika saya boleh tahu, tahun berapakah ini?" Aku penasaran setelah celingak-celinguk melihat ke sekeliling. Sebab keadaannya sungguh jauh berbeda dengan keadaan sekitar lima detik sebelumnya.
"Ini adalah tahun nun." Ia menjawab singkat.
"Tahun nun?" aku tambah bingung.
"Oh, maaf. Saya lupa bahwa di masa Tuan belum menggunakan perhitungan hisab ini. Sebentar, jika dikalkulasi dengan perhitungan tahun Tuan sebelum berangkat, ini adalah tahunnya." Jelasnya sambil menunjukkan padaku semacam alat untuk mengkonversi hitungan.
Betapa kuasanya Tuhan, ternyata aku terlempar sedemikian jauhnya hingga ke masa ini. Tak henti-hentinya aku melihat ke sekeliling. Aku temukan peradaban yang hampir mustahil kupahami dengan nalarku saat ini. Mungkin akan butuh jutaan pertanyaan untuk bisa mengobati ketidaktahuan dan rasa penasaranku.
Bagaimana mungkin ada bumi yang tertata dengan begitu lestari, ia bisa bersanding dengan berbagai bangunan yang megah. Sepanjang pengetahuanku aku hanya sedikit mencicipi wacana tentang green dan blue economy, yang ranahnya mungkin akan bersentuhan dengan ekologi. Sedemikian jauhnya kah peradaban manusia pada zaman ini telah menerapkannya. Angan-anganku dibanjiri rasa penasaran.
Belum berhenti rasa penasaranku, tiba-tiba aku ingin menengok ke arah diriku sendiri yang rasa-rasanya ada yang berbeda dengan keadaanku sebelumnya. Tiba-tiba saja aku berpakaian serba putih.
"Mohon maaf, Tuan. Saya sudah lancang tanpa seizin Tuan telah mengganti pakaian Tuan. Hal ini aku tujukan agar tidak timbul rasa curiga dari mereka yang hadir di masa ini. Saya memang sengaja menyesuaikan penampilan Tuan dengan kondisi budaya mereka." Lelaki murah senyum itu seakan tahu dengan rasa penasaranku.
"Saya semakin penasaran dengan keadaan negeri ini. Bagaimana keadaan pemerintahan di negeri ini?" tiba-tiba saja aku menjadi lebih bersemangat untuk mencari tahu.