"Apa kabar baiknya?"
"Di zaman ini ia sudah tak lagi ada."
"Loh, kok kabar baik? Bukankah hukum itu harus ada untuk menegakkan keadilan."
"Memang benar demikian adanya. Akan tetapi untuk apa hukum itu ada jika semua manusianya sudah berakhlak mulia." Jawabnya tenang di tengah laju kendaraan kami yang juga berjalan cukup pelan, sebagaimana kendaraan-kendaraan lain yang ada di sekitar kami. Begitu senyap suara dari masing-masing mereka.
Sesekali aku melihat pada keadaan sekeliling, aku melihat sapa senyuman pada setiap wajah manusia yang kutemui di sepanjang jalan, seakan menyiratkan jaminan keselamatan dan kedamaian dari sanubari mereka untukku. Pemandangan ini menurutku sungguh aneh, sebab kami belum pernah saling mengenal dan bertegur sapa sebelumnya.
"Bagaimana caranya manusia pada masa ini bisa berakhlak mulia?"
"Mereka bisa berakhlak mulia sebab semuanya sudah mengimplementasikan apa yang ada pada kitab sucinya. Jadi, kitab suci tidak hanya sekadar menjadi wacana apalagi bahan untuk saling berbantahan seperti yang masih terjadi pada zaman Tuan. Persisnya, masing-masing kitab suci yang sudah benar-benar mereka pahami adalah pondasi utama dari setiap perilaku mereka."
"Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?"
"Sebab mereka sudah menyadari bahwa keyakinan beragama itu ibarat bahan masakan yang ada di dapur, di mana hasil olahannya adalah keluhuran akhlak yang disajikan untuk setiap manusia. Bukankah sikap itu yang sepatutnya mereka jaga di samping akhlak mereka kepada Tuhan?"
Begitu kuasanya Tuhan membolak-balikkan hati dan keadaan manusia. Aku tak berhenti takjub atas kuasa Tuhan yang telah membawaku hingga pada keadaan ini.
"Sepanjang perjalanan, tak satu pun saya melihat kondisi hunian tak pantas yang berisikan orang fakir di dalamnya." Aku mencoba menanggapi keadaan bangunan yang berjajar rapi di sekitar kendaraan yang kami tunggangi.