Kegembiran atau kesedihan adalah proses alamiah batin. Jadi menuntut banyak lagi kegembiraan dalam hidup, terjadi lantaran kita bodoh, mengira bahwa proses alami itu sebagai aku dan milikku.Â
Kembali ke lirik lagu yang saya dengar dari teman-teman artis di jalan. Jika air di dalam kolam menjadi tenang lantaran tidak adanya gerak baik di luar maupun di dalam kolam, maka demikian pula dengan batin.
Batin menjadi tenang lantaran pikiran diam tak keluyuran.
***
Ketenangan itu mahal. Sebagian kita harus "menabung" waktu 30-35 tahun: akhirnya pensiun juga. Masa yang resolusinya diafirmasi pagi, siang dan malam; mengisi hari dengan lebih banyak menenangkan diri.
Itu baru bicara betapa panjang penantian untuk punya kesempatan di mana ketenangan jadi asa mengisi umur yang tersisa setelah hasil medical check up telah mewartakan berbagai tanda "positif" dan angka-angka tak wajar, melebihi ambang, dan soal makan minum mulai banyak berpantang. "Ia korbankan kesehatannya demi uang lalu ia korbankan uangnya demi kesehatannya, manusia memang membingungkan". Begitu alir bolak-balik hidup manusia yang Dalai Lama gambarkan.
Setelah tidak ada topik yang sengaja dirawat kehangatannya di usia itu selain soal gula darah, kolesterol, syaraf kecetit, prostat, suplement pemicu libido, ejakulasi dini, pengencang dada, bakar lemak dan lingkar pinggang yang glembyer sebagai obrolan utama yang mengisi reunain, arisan keluarga, pengajian atau kebaktian. Obrolan yang melulu "berbau" tanah.
Atau...
Setelah batin menggedor-gedor setiap saat, mengusik waktu tidur; menagih utang bak debt collector: utang emosional kepada keluarga. Tak bisa dielakan, kesibukan bertahan hidup atau benar-benar kekayaan jadi berlimpah dari pekerjaanya; penyesalan sisa abunya.
"Hampir setengah dari responden survei Boston Private mengatakan hal nomor 1 yang ingin mereka lakukan secara berbeda adalah dapat menghabiskan lebih banyak waktu dengan keluarga. Di sini kita melihat interaksi emosional penyesalan, rasa bersalah dan kompensasi"(cnbcindonesiadotcom).
Kanyataannya, anak-anak di rumah sudah sulit dirangkul atau dipeluk-peluk sambil ngobrol, berbincang soal sekolah, mata kuliah, cita dan minat hidupnya; anak-anak sendiri sudah sibuk dengan hidupnya, juga sudah punya tempat curhat lian yang bisa sambil dirangkul dan dipeluk-peluk.Â
Sebuah permulaan dengan akhir yang tak tentu: datangnya rasa rumah yang dingin, sepi, tak ada kehangatan, mirip keadaan tenang tapi bukan. Itu kemurungan yang tebal akibat rasa kuasa kepada anak-anak yang mulai dibaikan.