"Citra penyebaran Covid-19 seolah melambung ke ranah metafisis.
Ini menjadi identik dengan kesewenangan nasib. Makhlik renik ini---dan ratusan
tipe lain yang sewaktu-waktu bisa menginfeksi manusia---mengingatkan
Kerapuhan hidup yang berbatas kematian"- ( F Budi Hardiman- Kompas, 27 Maret 2020 )
 "Gimana kalau di antara kita ada yang kena?" Ada (Bhadra) memecah kesunyian kamar.
"Kena? kena Korona?" sahutku bertanya, memperjelas.
"Astagfirullah, De, Ade...jangan ngomong jelek gitu!" Mas Em, kakaknya nyahut keberatan.
"Ada gak bisa tidur, nih Mas.. mikirin terus" bela Ada.
"Takut? Wajar...Ayah juga takut, kok". Saya berusaha menenangkan.
"Ibu juga takut, De". Si Ibu yang sedari tadi asik dengan gadgetnya, nimbrung. "Kalau gak pergi ngajar les bagaimana? Kalau berangkat ngajar juga gimana...makanya Ibu baca-bacaan ayat terus di jalan, entah deh berapa juz surat yang Ibu baca, heee... habisnya takut sih, takut tertular lewat airborne, gitu" pungkasnya.
"No! airborne hoax itu!" bantah saya.
"Ya sudah, sekarang kita tetap #DiRumahAja, jaga kesehatan, itu cara kita melawan Korona. Hanya kita juga harus ingat, kita gak mungkin ngelawan dan menghindar dari rasa takut" saya berusaha mencairkan suasana kamar yang mulai terasa tegang. "Memang Ade takut apanya, sih?" lanjutku menggoda.
"Takut mati-lah, Yah!". Si Kakak nyelak. Kamar henyap. Hening dan senyap, membisu.
Meski begitu, kata-kata terakhir si Kakak; 'mati', terdengar memekakkan dan bising menggema di kepalaku pada malam jelang tidur itu, mungkin juga pada istri dan kedua anak kami. Mendadak oksigen di kamar serasa tipis sudah.
Kebisingan kata 'mati' dan gemanya, dipantulkan lagi dinding-dinding kamar ke semua sudut ruangan rumah, menyusup lewat segala celah dibawa angin keluar menyelimuti tiap bangunan rumah, juga ke pepohonan di taman, membumbung ke langit dan menjadi atmosfir bumi.
Hari-hari serta malam-malam selanjutnya, berminggu bahkan berbulan-bulan ke depan, akan menjadi teman tiap orang, akan menghadang rasa kantuk setiap malam, mengoyak ketenangan, menjungkir balikan segala kegagahan, menciutkan setiap nyali dan terus terendus sebagai aroma tajam yang menyengat di penciuman---sebagai aroma kematian.
Mungkin saya lebay, saya merasakan bahwa alam kebatinan kita hari-hari saat #DirumahAja ini, mirip "jalan buntu" Peter Kingsley (penulis In the Dark Places of Wisdom) sebagaimana dikutip Robert Holden di dalam bukunya Success Intelligence:
"Jika beruntung, pada suatu titik dalam hidup anda, anda akan bertemu dengan jalan buntu.
Atau, dengan kata lain, jika cukup beruntung, Anda akan tiba di sebuah persimpangan jalan dan melihat bahwa jalan ke kiri mengantarkan ke neraka, bahwa jalan ke kanan mengantarkan ke neraka, bahwa jalan lurus ke depan mengantarkan ke neraka, dan jika mencoba berbalik, anda akan tiba di neraka juga".
Saya dan Anda saat ini seolah ada di persimpangan yang hanya menawarkan kebuntuan. Saya juga Anda, dibikin "bau tanah" statusnya sudah, oleh demit COVID-19 ini.
Psikologi Kematian
Tanpa perlu bencana COVID-19, sesungguhnya kematian sudah menjadi "musuh" terbesar sekaligus "sohib" terdekat bagi manusia. Ia menjadi "musuh" karena kematian menjadi perlawanan abadi manusia sepanjang sejarah hidupnya. Segala bentuk kemajuan pemikiran, ilmu pengetahuan dan teknologi didedikasikan untuk kelanggengan hidupnya (kata lainnya, menyangkal ketidakkekalan).
Sementara kematian menjadi "sohib" terdekat karena ia tidak pernah meninggalkan keberadaan kita, ia selalu ada bersama kita, tidak soal apa dan siapa kita, tak peduli pada situasi dan kondisi apa, hanya masalah apakah satu dari dua jalan menemukan momennya; sakit atau kecelakaan.
Tapi ketakutan kita pada kematian, bukanlah ketakutan pada penyebab niscaya, di mana kematian dapat terjadi. Yang menjadi akar ketakutan kita adalah karena kita manusia menolak ketidakkekalan dan kerapuhan. Kita sulit membayangkan bagaiamana akhirnya eksistensi dan segala yang terkait dengan apa, dan bagaimana keberadaan diperjuangkan, dibangun dengan susah payah, berakhir dan lenyap.
Sebagaimana kematian, ketidakkekalan pun bukan hal yang tidak dimengerti oleh intelektual kita, sayangnya, pemahaman dan pengertian intelektual seringkali bukanlah pengertian yang sebenarnya karena tidak serta merta melahirkan pandangan terang yang membebaskan kita dari kelekatan pada segala yang tidak kekal, juga tidak membabarkan pencerahan kebenaran dari ketidakkekalan.
Orang-orang suci konon tidak pernah antipati atau menjauhi ketidakkekalan, atau menjadi kebalikannya, tidak jatuh melekatinya.
Praktik kehidupan asketisnya lahir bukan hanya dari pemahaman intelek atas ketidakkekalan, tapi kerena mereka menyentuh langsung karakter alamiah dari ketidakkekalan kehidupan dan menjadikan watak tersebut sebagai kunci tersingkapnya kebenaran---bahwa pada ketidakkekalan, kehidupan menjadi mungkin adanya.
Thich Nhat Hanh, seorang biksu dan pejuang kemanusian, mengingatkan "hutang budi" manusia pada ketidakkekalan sebagai suatu fase dari proses 'menjadi'.
Jika anak gadis kecil anda bersifat kekal, anda tidak punya mimpi menimang cucu dan melestarikan keturunan. Petani menanam benih padi dan sayuran di musimnya karena ketidakkekalan membentangkan kesempatan panen bila sudah waktunya. Ketidakkekalan adalah 'berubah setiap waktu'. Dalam ketidakkekalan kemungkinan-kemungkinan ditawarkan. Inilah kebenaran.
Karena kemungkinan-kemungkinan yang dilahirkan oleh ketidakkekalan, kehidupan mengizinkan manusia untuk memiliki harapan. Lalu melalui sebuah harapanlah kita manusia menjahit setiap makna hidupannya.
Dalam konteks bencana horor COVID-19, dalam menghadapi si makhluk renik pencabut nyawa yang tak kenal ampun saat ini, F Budi Hardiman menempatkan pentingnya secercah harapan di tengah intaian kematian yang intimidatif ini:
"...Karena itu, bahaya yang tidak kalah besar dibanding derita raga adalah hilangnya harapan. Pemerintah atau masyarakat yang kehilangan harapan di masa pandemi bisa bersikap ceroboh, tidak peduli dan bahkan bengis sehingga memperparah keadaan. Tanpa harapan, bukan hanya kebebasan tetapi juga masa depan suatu bangsa dapat sirna"(Kompas,27 Maret 2020)
Katakan saja "Ya"
Jadi, jika hari ini Anda dan saya, dicekam ketakutan; takut tertular bahkan karena itu kita jadi takut mati oleh COVID-19, inilah faktanya.
Apalagi ketika mengikuti perkembangan akumulasi serta akselerasi angka orang terinfeksi dan kematiannya, maka terima saja perasaan itu dan katakan, "Ya, saya begitu takut tertular, saya takut mati karenanya".
Apabila itu adalah penerimaan yang lengkap dan total, maka penerimaan atas segenap perasaan takut tersebut (selain terbukanya sikap waspada, bukan was-was) akan menampilkan watak aslinya sebagai sebuah sensasi yang tanpa entitas atau tanpa ada pribadi sebagai pemiliknya---tidak ada "diri' dalam sebuah sensasi.
Untuk itu suatu perasaan (takut) akan melanjutkan gerak alamiahnya yang timbul dan tenggelam sampai akhirnya ia menemukan momen ketidakkekalannya. Termasuk #DirumaAja.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI