"Takut mati-lah, Yah!". Si Kakak nyelak. Kamar henyap. Hening dan senyap, membisu.
Meski begitu, kata-kata terakhir si Kakak; 'mati', terdengar memekakkan dan bising menggema di kepalaku pada malam jelang tidur itu, mungkin juga pada istri dan kedua anak kami. Mendadak oksigen di kamar serasa tipis sudah.
Kebisingan kata 'mati' dan gemanya, dipantulkan lagi dinding-dinding kamar ke semua sudut ruangan rumah, menyusup lewat segala celah dibawa angin keluar menyelimuti tiap bangunan rumah, juga ke pepohonan di taman, membumbung ke langit dan menjadi atmosfir bumi.
Hari-hari serta malam-malam selanjutnya, berminggu bahkan berbulan-bulan ke depan, akan menjadi teman tiap orang, akan menghadang rasa kantuk setiap malam, mengoyak ketenangan, menjungkir balikan segala kegagahan, menciutkan setiap nyali dan terus terendus sebagai aroma tajam yang menyengat di penciuman---sebagai aroma kematian.
Mungkin saya lebay, saya merasakan bahwa alam kebatinan kita hari-hari saat #DirumahAja ini, mirip "jalan buntu" Peter Kingsley (penulis In the Dark Places of Wisdom) sebagaimana dikutip Robert Holden di dalam bukunya Success Intelligence:
"Jika beruntung, pada suatu titik dalam hidup anda, anda akan bertemu dengan jalan buntu.
Atau, dengan kata lain, jika cukup beruntung, Anda akan tiba di sebuah persimpangan jalan dan melihat bahwa jalan ke kiri mengantarkan ke neraka, bahwa jalan ke kanan mengantarkan ke neraka, bahwa jalan lurus ke depan mengantarkan ke neraka, dan jika mencoba berbalik, anda akan tiba di neraka juga".
Saya dan Anda saat ini seolah ada di persimpangan yang hanya menawarkan kebuntuan. Saya juga Anda, dibikin "bau tanah" statusnya sudah, oleh demit COVID-19 ini.
Psikologi Kematian
Tanpa perlu bencana COVID-19, sesungguhnya kematian sudah menjadi "musuh" terbesar sekaligus "sohib" terdekat bagi manusia. Ia menjadi "musuh" karena kematian menjadi perlawanan abadi manusia sepanjang sejarah hidupnya. Segala bentuk kemajuan pemikiran, ilmu pengetahuan dan teknologi didedikasikan untuk kelanggengan hidupnya (kata lainnya, menyangkal ketidakkekalan).
Sementara kematian menjadi "sohib" terdekat karena ia tidak pernah meninggalkan keberadaan kita, ia selalu ada bersama kita, tidak soal apa dan siapa kita, tak peduli pada situasi dan kondisi apa, hanya masalah apakah satu dari dua jalan menemukan momennya; sakit atau kecelakaan.