Mohon tunggu...
Rosid Net
Rosid Net Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Ketika orang lain melihat saya baik, itu artinya Allah sedang menutupi keburukan saya. Ketika orang lain menilai saya benar, itu artinya Allah sedang menutupi kesalahan saya. Ketika orang lain memandang saya rajin, itu artinya Allah sedang menutupi kemalasan saya. Ketika orang lain menganggap saya pandai, itu artinya Allah sedang menutupi kebodohan saya. Ketika orang lain mendengar saya jujur, itu artinya Allah sedang menutupi kedustaan saya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mencari Gading Yang Tak' Retak

10 Juli 2011   05:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:47 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dua tahun sudah, Puspita menjalin tali kasih yang penuh kisah dengan Salman. Meskipun belum masuk ke jenjang “penyucian” hubungan, diantara keduanya sudah tercatat dalam memori masing-masing bagaimana “sulaman” hubungan antara muda-mudi tersebut yang penuh suka dan duka, suka yang selalu terkenang karena penuh keceriaan dan dukapun yang akan selalu terkenang indah dimana saat bersama-sama mampu melaluinya.

Memiliki karakter yang underminder (lebih parah dari minder) tentunya bukan masalah yang sederhana bagi Salman dalam menjalin hubungan yang mengikat batin dengan seorang gadis mulia dan terhormat, putri dari seorang Keuchik di Krueng Raya – Aceh Besar, persis di pesisir Selat Malaka. Sedangkan Salman sendiri hanya seorang anak yang terlahir dari keluarga buruh petani sawit di daerah Aceh Tamiang. Namun karena sikap Puspita yang penuh kesehajaan mampu menumbuhkan rasa percaya diri Salman, paling tidak saat berhadapan dengan Puspita.

Meskipun kedunya merupakan Aneuk Nanggroe, Puspita dan Salman baru saling mengenal di tanah perantauan, Jakarta. Puspita ada di Jakarta untuk mengejar gelar D3-nya sebagai tenaga keperawatan di salah satu Akademi Keperawatan swasta ternama dibilangan Jakarta Barat, sedangkan Salman sendiri.... hemhhh, mengejar impiannya agar dapat menyekolahkan adik-adiknya di Gampong, yatitu bekerja dengan harapan mendapatkan penghasilan yang lebih layak sebagaimana kisah mereka-mereka yang sudah pernah merasakan manisnya rupiah ibukota.

Pertemuan awal antara Puspita dan Salman berlangsung diatas Metromini saat keduanya pulang dari aktivitas rutin masing-masing. Salman menuju ke kontrakannya sedangkan Puspita menuju rumah bibinya yang kebetulan tinggal di Jakarta, sehingga dia tidak perlu repot-repot tinggal di kosan. Dan ternyata, keduanya sama-sama beratap di sekitar Kebon Jeruk.

Ketika dipinta ongkos bis oleh seorang kernet, sempat terjadi adu tawar menawar tarif antar sang kernet dengan Salman. Karena kernet meminta ongkos yang dianggap ketinggian oleh Salman, Salman sedikit ngedumel dengan bahasa dan logat yang khas Aceh. Mendengar bahasa dan logat yang tidak asing, Puspita (yang kebetulan duduk disamping Salman) langsung menyapa Salman. Bermula dari sinilah akhirnya keduanya menjadi akrab, saling bertukar nomor handphone, sesekali berangkat dan pulang bersama, hingga akhirnya terikrarkanlah ungkapan hati saling menyukai diantara keduanya.

Waktu demi waktu, hari demi hari, ragam cerita kehidupanpun banyak dilalui oleh keduanya dalam batasan-batasan kewajaran yang masih diluar ikatan kesucian. Sebisa mungkin diantara keduanya saling membantu dan saling menumbuhkan benih-benih kasih sayang, dengan harapan bisa mekar berbunga dengan indah pada waktunya, dan sebisa mungkin pula keduanya menghindari hal-hal diluar batas kewajaran yang dikhawatirkan akan mengkandaskan tujuan mereka merantau.

Tidak jarang Puspita mengingatkan Salman supaya tetap fokus kepada tujuan awalnya merantau, yaitu bekerja dengan baik untuk menyekolahkan adik-adiknya di kampung. Sering pula Salman pun mengingatkan Puspita tentang tujuan awal puspita menginjakan kaki di ibukota. Intinya, keduanya berusaha saling berusaha supaya hubungan yang mereka jalin bisa saling menguntungkan dan memberikan efek positif yang buahnya diharapkan bisa dipetik bersama-sama. Tidak hanya sebatas saling mengingatkan, jika sempat dan mampu Salman pun meluangakan waktu untuk membantu Puspita dalam mengerjakan tugas kuliahnya, ya paling tidak bantu-bantu mengetik lah... begitu juga dengan Puspita, yang dengan senang hati kadang membantu juga pekerjaan Salman yang dikejar deadline. Semuanya berjalan normal, indah dan menyenangkan.

Untuk saling menjaga diri, pepatah Ureueng Tuha secara turun temurun yang diajarkan pula kepada Salman dan Puspita oleh masing-masing orang tuanya berusaha mereka pegang teguh, yang ternyata memang pepatah tersebut memiliki prinsip yang sama bagi keduanya, yaitu “Matee aneuk meupat jeurat, matee adat pat tamita". Yang maksudnya kurang lebih menjelaskan bahwa adat dengan anak itu diposisi yang sama-sama penting, apabila anak yang meninggal itu masih ada bekasnya yaitu kuburan sedangkan apabila adat yang hilang kita tidak tahu ke mana mesti kita mencarinya. Ungkapan tersebut juga merupakan wujud kesadaran masyarakat tentang pentingnya adat-istiadat, yang telah memberikan sumbangan yang tidak ternilai harganya terhadap kelangsungan kehidupan sosial budaya masyarakat di Aceh. Bahkan bagi kalangan masyarakat Aceh, adat telah mendapat tempat yang istimewa dalam perilaku sosial dan keagamaannya. Baik Salman maupun Puspita, dimanapun berada, termasuk itu diperantauan, keduanya harus tetap berpegang teguh kepada adat istiadat tanah kelahirannya yang dibangun diatas kesucian agama. Kalau di masyarakat Sunda, ini mirip dengan pepatah “Najan pindah patempatan, omat ulah pindah paadatan”. Yang dimaksudkan jika mereka pulang kampung nanti mereka tidak lupa terhadap warisan leluhurnya.

Lambat laun hingga menjelang dua tahun masa hubungan kedekatan mereka, tanda-tanda perubahan sifat dan karakter mulai berubah pada diri Puspita. Kuatnya arus pergaulan dan gaya hidup di kota metropolitan ternyata mulai mengikis benteng adat dan kepribadian Inong Aceh tersebut. Konflik-konflik kecilpun mulai tumbuh ditengah hubungan antara Puspita dan Salman Baik secara sikap maupun perlakuan Puspita terhadap Salmanpun kian berubah, guna menghindari konflik yang lebih besar, Salman berusaha untuk terus mengimbangi dan mengikuti setiap apa yang menjadi tuntutan Puspita. Bukan materi memang yang dituntut oleh Puspita, melainkan mental pola dan gaya hidup yang mulai lebih kental cara-cara keibukotaannya, tapi meskipun demikian.... apa mau dikata, toh ujung-ujungnya selalu berurusan dengan uang.

Upaya Salman untuk terus mengimbangi setiap gaya dan pola hidup sang kekasihnya tersebut ternyata mulai menimbulkan masalah baru, kini karakter Puspita semakin sulit terkendali. Di satu sisi Salman harus menambahkan perhatian lebih untuk Puspita dan disisi lain iapun harus bergelut lebih keras dengan pekerjaannya, karena banyak pekerjaannya yang hasilnya kurang makismal sebab pikirannya saat bekerja selalu teralihkan oleh sosok perempuan yang dicintainya. Seiring berjalannya waktu, situasi semakin memburuk, disaat yang bersamaan pula perhatian Salman untuk Ibu dan adik-adiknya di kampung mulai berkurang, upah hasil kerja yang dikirimkanpun semakin berkurang. Lengkaplah sudah masalahnya, hubungan asmara sulit terkendali, posisi kerja terancam dilengserkan, dan adik-adiknyapun mulai tidak nyaman untuk sekolah karena mulai lelah dengan “sumbangan pembangunan” yang berbau paksaan.

Situasi buruk mencapai puncaknya, Puspita merasa kalau Salman bukan lagi sosok yang pas dengan dirinya, Salman tidak bisa lagi membuatnya tersenyum ceria seperti dulu kala, Salman tidak mampu mencintai dirinya seperti yang ia harapkan. Semuanya harus diakhiri..... !!!! kalimat tersebut begitu melekat kuat dipikiran Puspita hingga akhirnya ia pun mengucapkannya dihadapan Salman.

Rasa sakit dan pahit melilit Salman perihnya tidak kepalang. Semua usahanya untuk memberikan yang terbaik buat Puspita harus berakhir sia-sia, benih-benih cinta yang ia tanam dan dipupuk dengan penuh kehatian-hatian ternyata memang tumbuh namun tidak berbunga dan berbuah seperti yang direncanakan. Kekacauan bertambah, surat pemecatan dari tempat Salman bekerja keluar dan kabar datang dari kampung kalau adiknya sudah tidak mau lagi sekolah karena tidak cukup biaya.

Umur geutanyo hanya siuro simalam, oleh sebabnyan taubat teu bakna”, sebuah kalimat nasehat yang sering disampaikan oleh ibunya terasa berdengung ditelinga Salman nasehat yang berarti “umur kita tidak ada sehari semalam, oleh sebab itu, bertaubatlah !. Salman sudah terlalu jauh berhaluan dari apa yang direncanakan, perasaan hatinya bercabang-cabang, antara kondisi keluarganya yang telah banyak terabaikan, pekerjaannya yang dengan susah didapat harus ditinggalkan, dan sang kekasih pujaan hati yang telah meninggalkannya namun masih sangat ia cintai.

Di satu sisi ia merasa kecewa dengan sikap dan perlakuan Puspita, tetapi disatu sisi ia juga iba melihat gaya hidup Puspita yang sudah jauh berubah. Sebagai orang yang paling dekat Puspita selama ini, ia merasa mempunyai tanggung jawab moral untuk membawa kembali Puspita pada karakter aslinya yang dipundak kirinya berselendangkan adat dan dipundak kanannya berselendangkan syariat. Akan tetapi ia juga tidak bisa mencurahkan terus pikirannya untuk Puspita karena bagaimanapun ada ibu dan adik-adiknya yang harus ia hidupi dari jarak yang sangat jauh. Huphh... hati Salman penuh kegalauan.

Sementara itu, Puspita yang kini sudah mengakhiri hubungan tali kasihnya dengan Salman merasa lebih punya banyak peluang untuk mendapatkan sosok pria yang lebih sesuai dalam mengimbangi gaya hidup dan pola pikirnya, pria yang lebih banyak waktu untuk dia, lebih “yes, i am ready” saat ia membutuhkannya, dan intinya lebih sempurna dari Salman.

Ditengah kondisi hati dan pikiran yang sulit terkendali, Salman memutuskan untuk pulang ke kampung halaman. Keputusannya semakin bulat, tidak ada pilihan lain yang lebih baik selain dari pulang kampung, kurang lebih itulah pilihan terbaik yang ada dipikirannya. Sebelum pulang, ada satu keinginan yang muncul didalam hati Salman, ia ingin bertemu untuk terakhir kalinya dengan Puspita sebelum ia pulang kampung. Salman memberanikan diri untuk meminta bertemu dengan Puspita, namun dengan tegas Puspita menolaknya, Puspita enggan ada komunikasi lagi dalam hal apapun dengan Salman, pasalnya Puspita sendiri tidak ingin terus dalam bayang-bayang Salman.

Satu hari menjelang keberangkatannya ke kampung halaman, Salman mencoba menghubungi Puspita untuk berpamitan, namun ternyata handphone Puspita tidak bisa dihubungi, entah handhonenya yang dimatikan, entah Puspita memang ganti nomor. Salman tidak kehabisan akal, ia tuliskan sebuah surat yang kemudian ia kirimkan sendiri di ke rumah bibinya Puspita, tempat dimana Puspita tinggal. Sayang, saat Salman sampai kerumah bibinya Puspiita, Puspita sedang tidak ada dirumah. Ia hanya bisa berpamitan kepada keluarga bibinya Puspita sambil menitipkan amplop yang berisi surat untuk Puspita.

Selamat Tinggal Jakarta....” kalimat yang muncul dipikiran Salman, dengan penuh kesedihan ia harus meninggalkan ibukota. Sekuat mungkin ia berusaha menegarkan diri, kalimat penghiburpun coba ia hadirkan dalam pikiran ; “cepat atau lambat aku pasti akan pulang kembali ke Nanggroe, hanya mungkin bagaimana kisah kepulanganku Allah tetap merahasiakannya hingga akhirnya kini aku jalani, ini hanyalah bagian dari proses panjang kehidupan, kuatkan Aku ya Alah.... Bek putoh asa cobaan Allah, sabar ngon tabah dudoe bahgia... Aku harus malu pada Cut Gambang yang bisa tegar disaat ayahandanya (Teuku Umar) gugur di ujung senapan Holanda, Kalau Ibunda Cut Nyak Dhien saja menasehati Cut Gambang :


Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid

harusnya aku sebagai lelaki bisa lebih tegar, terlebih lagi mungkin apa yang ku lalui tidak ada nilai pahalanya di hadapan Allah SWT”.

Sosok-sosok yang Istimewa

Menjelang malam hari, Puspita baru pulang. Usai mandi, makan, dan suasana Puspita lebih santai sang bibipun langsung menceritakan kedatangan Salman tadi siang. Namun, Puspita meminta supaya bibinya tidak menceritakan semuanya, bukannya ia sudah sangat membenci Salman, melainkan ia tidak mau terus tersiksa batinnya saat terus terbayang-bayang tentang sosok Salman. Tidak mau melahirkan masalah baru, sang bibipun langsung memberikan titipan dari Salman kepada Puspita, yaitu surat. Surat tersebut tidak langsung dibaca oleh Puspita, berusaha sebisa mungkin ia menghilangkan rasa penasaran tentang isi surat itu, ia pun memilih untuk menyimpannya di laci meja belajarnya yang berisi tumpukan kertas-kertas.

Singkat cerita, selang beberapa hari keadaan mulai terasa biasa saja bagi Puspita. Ia pun kini sudah bisa menjalin hubungan dengan pria lain dengan nyaman tanpa bayang-bayang sosok Salman. Hari-harinya bisa dibilang dilalui dengan penuh kebahagiaan, paling tidak bahagia bagi dirinya yang sedang merasakan. Bagaimana tidak, Ramdhan, pria yang kini ada di dekatnya merupakan seorang selebritis yang banyak digemari dan dikejar-kejar oleh banyak perempuan, dan itu artinya bagi Puspita “Sayalah Pemenang”.

Seiring berjalannya waktu, ternyata kebahagiaan “versi” Puspita tidak berlangsung lama. Ramdhan sangat disibukan dengan syuting striping sinetronnya, banyak waktunya yang dihabiskna ditempat syuting, sekalipun ada waktu luang untuk jalan-jalan santai ia selalu dikerubuti para penggemarnya, sekalinya penggemar tidak mengkerubuti maka wartawan infotaimen yang membututi. Sungguh, situasi yang sangat tidak menyenangkan buat Puspita, disela-sela kebersamaan Ramdan dengan dirinya tidak pernah seratus persen “dunia menjadi milik kita berdua”, mau tidak mau demi menjaga imej-nya Ramdhan pun harus meladeni permintaan foto bersama atau sekedar membubuhkan tanda tangan yang dipinta oleh para fans-nya. Semakin hari, Ramdhan semakin mengurangi intensitas kebersamaannya dengan Puspita, karena dikhawatirkan ada momen negatif yang diabadikan oleh orang-orang yang tidak suka atas kesuksesan karirnya.

Klimaks dari situasi yang tidak menyenangkan ini adalah rasa prustasi pada diri Puspita. Semakin hari hubungan diantara keduanya semakin renggang, suasana hati Puspita pun penuh dengan kejenuhan dan perasaan “bete”. Disituasi hati yang “genting” inilah ia lebih banyak mengalihkan waktunya di dunia maya alias internet. Dari internet pula-lah Puspita mengenal sosok baru yang periang dan sering menghibur dengan obrolan-obrolannya renyahnya via aplikasi jejaring sosial Nimbuzz, yaitu Hardi.

Hampir disetiap waktu senggang yang dilakukan Puspita adalah online, kalau tidak lewat ponsel ya lewat laptopnya. Rasa penasaran yang tumbuh dari keakrabannya dengan Hardi di Nimbuzz membuatnya menjadi kecanduan berat dengan dunia maya, dan hubungannya dengan Ramdhan pun bisa dibilang hanyut begitu saja.

Jalinan hubungan Puspita dengan Hardi di dunia maya semakin hangat, berawal dari sekedar chating kini bergeser ke SMSan dan teleponan, hampir tidak ada waktu luang tanpa berkomunikasi dengan Hardi yang tinggal di Kota Bandung. Semakin lama kejenuhanpun muncul dalam benak Puspita, hubungannya selama ini dengan Hardi begitu intens, begi dekat, dan begitu hangat, tapi apa mau dikata, hubungan yang mesra tersebut hanya sebatas “bercumbu dengan bayang-bayang”. Berkali-kali ia mengajak untuk ketemuan dengan Hardi, namun Hardi selalu mengatakan kalau dia belum punya waktu luang yang tepat. Sampai akhirnya batas kesabaran Puspita habis.

Puspita mulai sadar kalau saat ini telah banyak waktu yang ia buang untuk sekedar memuaskan setiap rasa penasarannya tentang Hardi. Sulit memang untuk melupakan Hardi begitu saja, namun ia tidak sanggup lagi menunggu waktu yang akan mempertemukannya dengan Hardi. Ia memutuskan untuk mengakhiri segala bentuk komunikasi dengan Hardi, ironis... sebuah kata “putus” alias perpisahan yang terjadi tanpa pernah ada pertemuan.

Satu waktu, kita pikirannya sedang berimajinasi jauh menembus batas cakrawal, Puspita kembali teringat dengan sosok cinta pertamanya di ibukota, yaitu Salman. Ia berusaha membuang bayang-bayang pria yang sebetulnya tanpa cela bagi dirinya jika saja Puspita tidak lalai diri, semakin ia berusaha membuang bayang-bayang Salman, justru sosok Salman terus menggelayui di dalam alam pikirannya, hingga akhirnya sampailah pada titik pertanya “bagaimana kabar dia sekarang ?”. Terperangah ia ingat, kalau Salman pernah memberikannya surat “terakhir” sebelum Salman pulang kampung yang belum ia baca. Bergegas Puspita membuka laci meja belajarnya mencari sebuah amplop yang belum pernah ia buka.


Assalamu'alaikum...

Inong loen nyang ceudah, jika Allah tidak mengizinkan kita untuk bertemu kembali, mungkin inilah rangkaian kata terakhir yang terucap dari hatiku kepadamu, rangkaian kata yang menjadi penanda bahwa Aku belum bisa memadamkan nyala api cinta kepadamu, setidaknya hingga surat ini terkirim api tersebut masih menyala.

Dua tahun ku mengenalmu, dua tahun pula ku berusaha untuk memahamimu. Bisa mengenalmu saja itu sudah menjadi anugerah yang luar biasa, luar bisa jika ku bisa mengambil segala hikmah atas semua yang kita lalui. Dan belajar memahamimu, itu jauh lebih luar biasa lagi... setidaknya ku bisa melihat bahwa sosok “Inong Aceh” adalah simbol keteguhan “Ibu Perbu” yang tidak pernah membiarkan air matanya jatuh tanpa nilai dihadapan Illahi Rabbi.

Adinda Puspita, maafkanku jika selama ini tidak bisa mencintaimu seperti yang engkau inginkan, tapi insya Allah, aku sudah berusaha untuk mencintaimu dengan segala cara dan kemampuan yang aku miliki. Aku memang tidak bisa menjaminmu untuk bisa berbahagia bersamaku, tapi percayalah aku telah berusaha sebisa mungkin untuk membuatmu tidak bersedih.

Insya Allah aku percaya... sejauh mana engkau melangkah, engkau tetaplah seorang “Inong”, inong yang akan selalu menjaga adat dipundak kirinya dan syariat dipundak kanannya. Kejarlah terus cita-citamu hingga kelak engkau mampu memberikan yang terbaik untuk “Nanggroe”.

Yoh na teuga taibadat, tahareukat yoh goh matee

Wassalamu'alaikum...

Salman Haris

Tak terasa, berlinanglah air mata Puspita. Bayang-bayang kenangan indah masa lalunya dengan Salman benar-benar menyelimutinya. Tersentak ia sadar kalau selama ini dia telah keliru, banyak karakter baru yang tumbuh didialam dirinya yang tidak lagi mencerminkannya sebagai Inong Aceh. Yang menjungjung tinggi adat istiadat yang lahir dari syariat...

Bergegas ia mengambil ponselnya, kemudian ia buka daftar kontak mencari nama Salman, tidak banyak ba bi bu lagi... ia langsung menelepon Salman. Tapi sayang.... nomor handphone Salman tidak bisa dihubungi.

Singkat cerita, masa berliburpun tiba. Tidak mau menyia-nyiakan waktu lagi untuk liburan kali ini Puspita memutuskan untuk pulang kampung ke Krueung Raya, tentunya dengan rencana yang sudah sangat “diagendakannnya” untuk menemui Salman di Aceh Tamiang.

Begitu sampai di kampung halamannya, ke esokan harinya Puspita dengan penuh semangat pergi berangkat ke Aceh Tamiang bersama adik perempuannya Mutia. Antara berdebar dan tidak sabar bercampur aduk didalam pikirannya, ia hanya bisa berharap ; Pertama, mudah-mudahan Salman masih mencintainya dan Kedua, mudah-mudahan Salman belum menikah.

Menjelang sore hari, Puspita bersama Mutia berhasil menemukan rumah Salman. Tidak terlalu sulit memang bagi Puspita untuk menemukan rumah Salman, karena sebelumnya memang antara dia dan Salman banyak bertukar informasi, termasuk tentang alamat asal masing-masing. Luar biasanya gembiranya bukan main, saat Puspita bisa bertemu dengan Ibu Salman yang sudah berusia 60 tahunan dan kedua adik Salman yang masing duduk di bangku kelas 2 SMP dan kelas 4 SD. Namun, keceriaan Puspita 180 derajat berubah menjadi hujan air mata, karena sosok pria yang ia cari dan cintai ternyata sudah berpulang menghadap yang Maha Kuasa. Salman meninggal dunia akibat kecelakaan bis yang ia tumpangi saat pulang dari Jakarta.

Berjuta sesal membungkus perasaan Puspita, sosok yang tidak sempurna namun telah memperlakukannya secara sempurna telah tiada....

Disclaimer :

Sebelumnya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya kalau tulisan monolog ini sangat tidak menarik dan tidak berbobot dengan berbagai kesalahan penulisan disana-sini, dan saya juga mohon maaf kalau didalamnya terkandung unsur-unsur yang berbau SARA akibat keteledoran saya. Tapi saya pastikan, bahwa disini tidak ada maksud pendiskreditan terhadap siapapun apalagi berbau SARA. Tulisan ini adalah murni karangan saya sebagai pelepas kerinduan saya kepada "Bumi Rencong". Saya bukan berasal dari Aceh, saya juga tidak memiliki darah keturunan Aceh, dan saya juga tidak pernah ke Aceh, tapi entah kenapa saya begitu respek terhadap semua hal yang berbau Aceh, saya begitu mencintai Aceh, serasa dengan ringannya hati dan mulut saya berkata "Aceh Lon Sayang".

Saya juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua sobat-sobat, khususnya yang banyak menyajikan informasi seputar Aceh yang sedikit banyaknya telah memberikan gambaran tentang Aceh kepada saya, sehingga semakin menumbuhkan rasa kedekatan emosional saya dengan Aceh.

Sebelumnya tulisan ini sudah saya posting di blog saya ROSID|NET

Baca juga : Seandainya Saya Menjadi Anggota DPD RI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun