Menjelang malam hari, Puspita baru pulang. Usai mandi, makan, dan suasana Puspita lebih santai sang bibipun langsung menceritakan kedatangan Salman tadi siang. Namun, Puspita meminta supaya bibinya tidak menceritakan semuanya, bukannya ia sudah sangat membenci Salman, melainkan ia tidak mau terus tersiksa batinnya saat terus terbayang-bayang tentang sosok Salman. Tidak mau melahirkan masalah baru, sang bibipun langsung memberikan titipan dari Salman kepada Puspita, yaitu surat. Surat tersebut tidak langsung dibaca oleh Puspita, berusaha sebisa mungkin ia menghilangkan rasa penasaran tentang isi surat itu, ia pun memilih untuk menyimpannya di laci meja belajarnya yang berisi tumpukan kertas-kertas.
Singkat cerita, selang beberapa hari keadaan mulai terasa biasa saja bagi Puspita. Ia pun kini sudah bisa menjalin hubungan dengan pria lain dengan nyaman tanpa bayang-bayang sosok Salman. Hari-harinya bisa dibilang dilalui dengan penuh kebahagiaan, paling tidak bahagia bagi dirinya yang sedang merasakan. Bagaimana tidak, Ramdhan, pria yang kini ada di dekatnya merupakan seorang selebritis yang banyak digemari dan dikejar-kejar oleh banyak perempuan, dan itu artinya bagi Puspita “Sayalah Pemenang”.
Seiring berjalannya waktu, ternyata kebahagiaan “versi” Puspita tidak berlangsung lama. Ramdhan sangat disibukan dengan syuting striping sinetronnya, banyak waktunya yang dihabiskna ditempat syuting, sekalipun ada waktu luang untuk jalan-jalan santai ia selalu dikerubuti para penggemarnya, sekalinya penggemar tidak mengkerubuti maka wartawan infotaimen yang membututi. Sungguh, situasi yang sangat tidak menyenangkan buat Puspita, disela-sela kebersamaan Ramdan dengan dirinya tidak pernah seratus persen “dunia menjadi milik kita berdua”, mau tidak mau demi menjaga imej-nya Ramdhan pun harus meladeni permintaan foto bersama atau sekedar membubuhkan tanda tangan yang dipinta oleh para fans-nya. Semakin hari, Ramdhan semakin mengurangi intensitas kebersamaannya dengan Puspita, karena dikhawatirkan ada momen negatif yang diabadikan oleh orang-orang yang tidak suka atas kesuksesan karirnya.
Klimaks dari situasi yang tidak menyenangkan ini adalah rasa prustasi pada diri Puspita. Semakin hari hubungan diantara keduanya semakin renggang, suasana hati Puspita pun penuh dengan kejenuhan dan perasaan “bete”. Disituasi hati yang “genting” inilah ia lebih banyak mengalihkan waktunya di dunia maya alias internet. Dari internet pula-lah Puspita mengenal sosok baru yang periang dan sering menghibur dengan obrolan-obrolannya renyahnya via aplikasi jejaring sosial Nimbuzz, yaitu Hardi.
Hampir disetiap waktu senggang yang dilakukan Puspita adalah online, kalau tidak lewat ponsel ya lewat laptopnya. Rasa penasaran yang tumbuh dari keakrabannya dengan Hardi di Nimbuzz membuatnya menjadi kecanduan berat dengan dunia maya, dan hubungannya dengan Ramdhan pun bisa dibilang hanyut begitu saja.
Jalinan hubungan Puspita dengan Hardi di dunia maya semakin hangat, berawal dari sekedar chating kini bergeser ke SMSan dan teleponan, hampir tidak ada waktu luang tanpa berkomunikasi dengan Hardi yang tinggal di Kota Bandung. Semakin lama kejenuhanpun muncul dalam benak Puspita, hubungannya selama ini dengan Hardi begitu intens, begi dekat, dan begitu hangat, tapi apa mau dikata, hubungan yang mesra tersebut hanya sebatas “bercumbu dengan bayang-bayang”. Berkali-kali ia mengajak untuk ketemuan dengan Hardi, namun Hardi selalu mengatakan kalau dia belum punya waktu luang yang tepat. Sampai akhirnya batas kesabaran Puspita habis.
Puspita mulai sadar kalau saat ini telah banyak waktu yang ia buang untuk sekedar memuaskan setiap rasa penasarannya tentang Hardi. Sulit memang untuk melupakan Hardi begitu saja, namun ia tidak sanggup lagi menunggu waktu yang akan mempertemukannya dengan Hardi. Ia memutuskan untuk mengakhiri segala bentuk komunikasi dengan Hardi, ironis... sebuah kata “putus” alias perpisahan yang terjadi tanpa pernah ada pertemuan.
Satu waktu, kita pikirannya sedang berimajinasi jauh menembus batas cakrawal, Puspita kembali teringat dengan sosok cinta pertamanya di ibukota, yaitu Salman. Ia berusaha membuang bayang-bayang pria yang sebetulnya tanpa cela bagi dirinya jika saja Puspita tidak lalai diri, semakin ia berusaha membuang bayang-bayang Salman, justru sosok Salman terus menggelayui di dalam alam pikirannya, hingga akhirnya sampailah pada titik pertanya “bagaimana kabar dia sekarang ?”. Terperangah ia ingat, kalau Salman pernah memberikannya surat “terakhir” sebelum Salman pulang kampung yang belum ia baca. Bergegas Puspita membuka laci meja belajarnya mencari sebuah amplop yang belum pernah ia buka.
Assalamu'alaikum...
Inong loen nyang ceudah, jika Allah tidak mengizinkan kita untuk bertemu kembali, mungkin inilah rangkaian kata terakhir yang terucap dari hatiku kepadamu, rangkaian kata yang menjadi penanda bahwa Aku belum bisa memadamkan nyala api cinta kepadamu, setidaknya hingga surat ini terkirim api tersebut masih menyala.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!