Mohon tunggu...
Rosid Net
Rosid Net Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Ketika orang lain melihat saya baik, itu artinya Allah sedang menutupi keburukan saya. Ketika orang lain menilai saya benar, itu artinya Allah sedang menutupi kesalahan saya. Ketika orang lain memandang saya rajin, itu artinya Allah sedang menutupi kemalasan saya. Ketika orang lain menganggap saya pandai, itu artinya Allah sedang menutupi kebodohan saya. Ketika orang lain mendengar saya jujur, itu artinya Allah sedang menutupi kedustaan saya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mencari Gading Yang Tak' Retak

10 Juli 2011   05:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:47 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rasa sakit dan pahit melilit Salman perihnya tidak kepalang. Semua usahanya untuk memberikan yang terbaik buat Puspita harus berakhir sia-sia, benih-benih cinta yang ia tanam dan dipupuk dengan penuh kehatian-hatian ternyata memang tumbuh namun tidak berbunga dan berbuah seperti yang direncanakan. Kekacauan bertambah, surat pemecatan dari tempat Salman bekerja keluar dan kabar datang dari kampung kalau adiknya sudah tidak mau lagi sekolah karena tidak cukup biaya.

Umur geutanyo hanya siuro simalam, oleh sebabnyan taubat teu bakna”, sebuah kalimat nasehat yang sering disampaikan oleh ibunya terasa berdengung ditelinga Salman nasehat yang berarti “umur kita tidak ada sehari semalam, oleh sebab itu, bertaubatlah !. Salman sudah terlalu jauh berhaluan dari apa yang direncanakan, perasaan hatinya bercabang-cabang, antara kondisi keluarganya yang telah banyak terabaikan, pekerjaannya yang dengan susah didapat harus ditinggalkan, dan sang kekasih pujaan hati yang telah meninggalkannya namun masih sangat ia cintai.

Di satu sisi ia merasa kecewa dengan sikap dan perlakuan Puspita, tetapi disatu sisi ia juga iba melihat gaya hidup Puspita yang sudah jauh berubah. Sebagai orang yang paling dekat Puspita selama ini, ia merasa mempunyai tanggung jawab moral untuk membawa kembali Puspita pada karakter aslinya yang dipundak kirinya berselendangkan adat dan dipundak kanannya berselendangkan syariat. Akan tetapi ia juga tidak bisa mencurahkan terus pikirannya untuk Puspita karena bagaimanapun ada ibu dan adik-adiknya yang harus ia hidupi dari jarak yang sangat jauh. Huphh... hati Salman penuh kegalauan.

Sementara itu, Puspita yang kini sudah mengakhiri hubungan tali kasihnya dengan Salman merasa lebih punya banyak peluang untuk mendapatkan sosok pria yang lebih sesuai dalam mengimbangi gaya hidup dan pola pikirnya, pria yang lebih banyak waktu untuk dia, lebih “yes, i am ready” saat ia membutuhkannya, dan intinya lebih sempurna dari Salman.

Ditengah kondisi hati dan pikiran yang sulit terkendali, Salman memutuskan untuk pulang ke kampung halaman. Keputusannya semakin bulat, tidak ada pilihan lain yang lebih baik selain dari pulang kampung, kurang lebih itulah pilihan terbaik yang ada dipikirannya. Sebelum pulang, ada satu keinginan yang muncul didalam hati Salman, ia ingin bertemu untuk terakhir kalinya dengan Puspita sebelum ia pulang kampung. Salman memberanikan diri untuk meminta bertemu dengan Puspita, namun dengan tegas Puspita menolaknya, Puspita enggan ada komunikasi lagi dalam hal apapun dengan Salman, pasalnya Puspita sendiri tidak ingin terus dalam bayang-bayang Salman.

Satu hari menjelang keberangkatannya ke kampung halaman, Salman mencoba menghubungi Puspita untuk berpamitan, namun ternyata handphone Puspita tidak bisa dihubungi, entah handhonenya yang dimatikan, entah Puspita memang ganti nomor. Salman tidak kehabisan akal, ia tuliskan sebuah surat yang kemudian ia kirimkan sendiri di ke rumah bibinya Puspita, tempat dimana Puspita tinggal. Sayang, saat Salman sampai kerumah bibinya Puspiita, Puspita sedang tidak ada dirumah. Ia hanya bisa berpamitan kepada keluarga bibinya Puspita sambil menitipkan amplop yang berisi surat untuk Puspita.

Selamat Tinggal Jakarta....” kalimat yang muncul dipikiran Salman, dengan penuh kesedihan ia harus meninggalkan ibukota. Sekuat mungkin ia berusaha menegarkan diri, kalimat penghiburpun coba ia hadirkan dalam pikiran ; “cepat atau lambat aku pasti akan pulang kembali ke Nanggroe, hanya mungkin bagaimana kisah kepulanganku Allah tetap merahasiakannya hingga akhirnya kini aku jalani, ini hanyalah bagian dari proses panjang kehidupan, kuatkan Aku ya Alah.... Bek putoh asa cobaan Allah, sabar ngon tabah dudoe bahgia... Aku harus malu pada Cut Gambang yang bisa tegar disaat ayahandanya (Teuku Umar) gugur di ujung senapan Holanda, Kalau Ibunda Cut Nyak Dhien saja menasehati Cut Gambang :


Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid

harusnya aku sebagai lelaki bisa lebih tegar, terlebih lagi mungkin apa yang ku lalui tidak ada nilai pahalanya di hadapan Allah SWT”.

Sosok-sosok yang Istimewa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun