Pesantren semakin eksklusif karena punya pemahaman yang rendah tentang analisis sosial problem sentral kemanusiaan, mengabaikan proses akulturasi budaya, serta tidak mengerti konsepsi pembacaan teks yang menekankan bahwa teks sebaiknya dipahami dari kekhususannya bukan keumumannya (al-ibrah bi khuss al-sabb la bi 'umm al-lafadz).
Pesantren lantas sulit merealisasikan ide atau wacana yang dipelajarinya dengan praksis perubahan pada masyarakat sehingga signifikansi ajaran agama di pesantren yang seharusnya paralel dengan kapabilitasnya dalam mencari solusi atas problem kemanusiaan tidak terlaksana. Penulis merasakan hal ini ketika "mendekam" sekian lama di beberapa pesantren yang ada di wilayah Jawa Barat.
Di Baitul Arqom Ciparay Bandung, kebanggaan mengkaji bahasa Arab dan Inggris di nadwah al-lughah telah melenakan para ustad dan para santri dari bahasa ibu serta akar budaya sendiri, yakni Sunda, tempat dimana para santri---yang berasal dari wilayah Sunda---akan melakukan kegiatan dakwah.
Begitu juga dengan pasaran kitab Alfiyah di Bantargedang. Meskipun aktifitas ini memakai bahasa Sunda, tetapi ta'bir tetap memakai setting dan struktur Arab yang terpisah dari realitas empirik para santrinya yang notabene berasal dari pedalaman dan pesisir laut.
Sikap sebagian besar pesantren yang menolak seni tradisi Sunda seperti pantun, bebeluk, dan ngawih disertai perangkat instrumentalnya seperti suling, kecapi, dan gamelan, semakin mengidentifikasikan dirinya sendiri (self-identification) pada tradisi agung (great tradition) seperti diklasifikasikan Ernest Gellner, di mana tradisi tinggi adalah Islam resmi yang universal bukan lokal.
Tetapi pada kenyataannya yang muncul dari identifikasi Islam resmi yang universal ternyata hanyalah arabisasi, yaitu proses peng-arab-an yang diperlihatkan dari jubah, tutup kepala, sorban, pengucapan kalimat arab, dan nasyid. Arabisasi dianggap sebagai pola keislaman yang "resmi". Inilah fenomena tadayyun 'ala harf la 'ala ma'n yang menunjukkan sikap keberagamaan secara simbolik dan melupakan subtansi nilai-nilai keagamaan itu sendiri.
Seandainya sosok si Kabayan yang cerdas dan jujur, memakai ikat kepala dan berbaju hitam dengan suasana urang Sunda yang ramah, akrab, dan terbuka teridentifikasi oleh para santri dan pesantren yang ada di tatar Sunda, tentu akan menambah keanekaragaman interpretasi dalam keberagaman (Islam) yang jadi rahmat untuk kemanusiaan. Kapan hal ini bisa terwujud? Hanya para kiai dan para santri yang tahu.
Wallahu 'alam bish shawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H