Pesantren punya sumbangsih besar dalam sejarah pertumbuhan masyarakat Indonesia yang bertujuan membentuk masyarakat rabbani yang sesuai dengan tuntunan Islam yang bersifat rahmatan lil 'lamn, membentuk manusia Indonesia yang berkualitas dalam segala bidang kehidupan, dan melaksanakan pembangunan demi terwujudnya keadilan dan kemakmuran yang merata.
Tujuan yang luhur itu ternyata menghadapi kendala yang besar karena pesantren terjebak oleh romantisme kemapanan, menutup diri dari kritik-kritik atas tradisinya, serta mengidap kegugupan mental dan intelektual dalam menghadapi "kemajuan" dan transformasi budaya. Akibatnya, pesantren lalu kehilangan vitalitas, daya hidup, dan daya saing di tengah masyarakat yang semakin maju, kritis, dan penuh tantangan.
Pesantren mengalami kegagapan dalam menyikapi problem kemanusiaan dan kemodernan yang bergerak cepat dan sering kali berseberangan dengan nilai spiritualitas dan nalar pembaruan yang cerah. Citra pesantren pun runtuh dan semakin berkurang kekuatannya sebagai lembaga pendidikan keagamaan, pusat pengetahuan (centre of excellence), agen perubahan sosial dan pembangunan (agent of social change and development), serta "biang" budaya (culture broker). Hal ini disebabkan karena pesantren melupakan jati dirinya sebagai "penjaga tradisi" dan pengayom masyarakat bawah (grassroots society), dan akhirnya hanya dijadikan alat legitimasi dan kendaraan bagi kepentingan tertentu.
Dalam konteks itu, pesantren kadang dieksploitasi oleh para kuyaha (bentuk jamak dari "kiai") yang terjun ke kancah politik dan wilayah kekuasaan dengan logika serta selera pribadi. Selain itu, para guyasa (bentuk jamak dari gus [anak kiai]) semakin berkuasa menghegemoni kehidupan pesantren serta mendominasi peran, kesempatan, dan pandangan pesantren serta para santrinya yang tetap bergumul dengan rutinitas yang statis, kumuh, dan terpisah dari realitas sosial.
Berhentinya ikhtiar untuk mempertemukan gagasan dan ide-ide yang mempertemukan pemikiran yang emansipatif dan eksploratif, baik bernuansa keagamaan maupun kebudayaan dalam satu momentum "budaya pesantren", membuat pesantren kehilangan kemampuan dalam proses akulturasi dan asimilasi berbagai tradisi serta budaya lokal yang selama ini menjadi "ruh" kultur pesantren itu sendiri.
Hal ini, khususnya terjadi di pesantren-pesantren tatar Sunda tempat dimana suku bangsa Sunda tinggal, yang dari tinjauan antropologi budaya didiami oleh orang-orang yang secara turun-temurun menggunakan bahasa ibu, yaitu bahasa Sunda.
Bahasa Sunda dengan berbagai identitas dan nilainya tidak lagi menjadi persenyawaan dalam sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai keagamaan di lingkungan pesantren maupun di tengah masyarakat disebabkan ada gerakan purifikasi ajaran Islam dari berbagai warna lokal serta praktik keagamaan rakyat. Muncullah kemudian proses "arabisasi" (peng-arab-an) serta indoktrinisasi ala Orde Baru, misalnya dalam penggunaan bahasa nasional yang mematikan keragaman bahasa daerah.
Para kiai lalu lebih tertarik masuk ke wilayah politik daripada merawat dan berinteraksi dengan kebudayaan dan tradisi Sunda. Padahal, dari aspek kronologi sejarah, Sunda mempunyai hubungan panjang dengan Islam serta memuat nilai-nilai universalitas Islam yang kental seperti optimisme, terbuka (inklusif), halus, dan mudah beradaptasi.
Beberapa karya sastra Sunda, misalnya, terlihat sangat kental nuansa keislamannya, seperti wayang, wawacan, dan cerita rakyat. Cerita wayang meskipun berasal dari epos Ramayana dan Mahabarata tetapi dipakai para misionaris Islam---terutama para wali---untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah.
Kata "punakawan", misalnya, berasal dari "fan" dan "a'wn" yang artinya teman yang tulus, budi pekerti yang tulus ikhlas. Begitu pula kata "dalang" dari "dalla" yang artinya penunjuk, sebagaimana pesan Hadis Nabi, "Barang siapa yang menunjukkan (man dalla) kebaikan, maka dia mendapatkan pahala sebanding dengan pelaku kebaikan tersebut."
Wawacan adalah cerita berbentuk puisi berisi kisah-kisah Islam, seperti wawacan Rengganis dan Purnama Alam. Wawacan tidak terekspos dengan baik di pesantren karena teks klasik kitab kuning dikaji mentah-mentah sebagai sesuatu yang "sakral", bersifat "teosentrisme", dan terasing dari realitas kemanusiaan.