Dengan karakteristik yang unik, institusi pesantren selama ini tidak pernah lepas dari perhatian publik. Hal ini dimungkinkan karena beberapa hal. Pertama, pesantren memiliki basis sosial yang kuat di masyarakat dengan nilai-nilai keagamaan yang kental. Kedua, pesantren memiliki karakteristik yang kuat karena karisma kiai. Dan, ketiga, pesantren telah melahirkan kader yang memiliki akses secara nasional ke beberapa lembaga, baik lembaga pemerintah, sosial, dan keagamaan.
Namun, ada beberapa persoalan yang menggelayuti komunitas pesantren. Pertama, tentang eksistensi nilai-nilai budaya pesantren terhadap nilai-nilai dari luar pesantren. Kedua, masalah menajemen organisasi pesantren. Dan, ketiga, tentang jaringan kerja ke lembaga-lembaga luar pesantren.
Selain itu, masih ada beberapa kendala yang melingkupi pesantren. Misalnya ada arus ortodoksi dan konservatisme kalangan sesepuh pesantren yang tidak (atau belum?) berlapang dada memberikan ruang gerak bagi anak muda dengan visi-visi transformatifnya.
Alih-alih memberi dukungan terhadap kiprah anak muda pesantren, mereka justru dianggap sebagai "ancaman" oleh para sesepuh pesantren. Kehadiran para "intelegensia"---memakai istilah Karl Menheim---ini ternyata disambut kalangan ulama "literati" sebagai ancaman terhadap kelestarian khazanah dan bahkan eksistensi pesantren. Padahal berbagai jalan baru, pengetahuan baru, dan nilai-nilai baru yang diusung anak muda pesantren tumbuh dari kecintaan mereka terhadap pesantren (baca: Islam).
Gerakan pemikiran generasi muda pesantren biasanya bersifat plural, terbuka, apresiatif terhadap hal-hal baru, merakyat, dan punya kepedulian sosial yang tinggi. Kecenderungan revolusioner dari dinamika pemikiran ini dijabarkan dengan sikap toleransi yang tinggi, menghormati hak asasi, dan konsisten pada visi penguatan masyarakat sipil. Hal ini didasari keterpanggilan kepada realitas sosial sehari-hari yang digumuli kaum muda pesantren bersama masyarakat bawah yang plural dengan berbagai persoalannya yang kompleks.
Generasi muda pesantren, beberapa di antaranya, mengacu kepada Farid Esack dalam Qur'an, liberation and Pluralism, mencoba mengangkat seluruh isu transformasi yang dibangun dari basis pemahaman pluralisme yang bersifat pembebasan (liberation) melalui perjuangan bersama melawan penindasan dan ketidakadilan yang akan mewujudkan solidaritas tak terucap dengan kaum marjinal dan tereksploitasi yang melintasi garis doktrinal yang sempit.
Pembebasan yang dilakukan tidak hanya pada level sosial dan praktis, tetapi juga pembebasan dalam kaitan doktrin keagamaan yang tidak lagi relevan dan dari tradisi nilai dan budaya yang dianggap sudah usang sebagai upaya menyambungkan tradisi ke modernitas (al-tawshul min al-turts il al-tajdd). Ikhtiar kalangan muda pesantren untuk menggali hal-hal yang ada dalam tradisi pesantren, menurut istilah Abid Al-Jabiri, disebut al-tajdd min al-dakhl atau "pembaruan internal" yang mendukung transformasi demi kepentingan masa kini dan masa depan.
Pesantren Dan Hegemoni Budaya
Jika kita tarik ke belakang, selain peristiwa "pencekalan" terhadap pemikiran generasi muda pesantren yang dinamis, pesantren yang dikomandoi para sesepuh dengan doktrin-doktrinnya juga melakukan hegemoni pada perkembangan seni budaya tradisional (lokal). Pesantren yang semestinya menjadi "pengayom" justru menghegemoni tradisi budaya masyarakat lokal. Ada upaya dari pesantren untuk mensterilkan dan melenyapkan hal-hal yang dianggap tidak Islam(i).
Hegemoni pesantren dengan doktrin-doktrin agama yang diajarkan oleh para kiai dan ustad tentu saja berpengaruh terhadap perkembangan seni budaya, khususnya seni budaya tradisional (lokal) yang telah menjadi salah satu sendi kehidupan masyarakat kita jauh sebelum ajaran Islam masuk ke dalam tatanan budaya kita.
Pada titik itu, seni tradisi tak jarang menjadi ikon budaya yang dipandang menempati posisi berseberangan dengan ajaran agama. Karenanya tak jarang ada beberapa agamawan (khususnya kiai) yang secara terang-terangan mengharamkan ikhwal keberadaan seni. Akibatnya, perkembangan seni tradisi mengalami hambatan. Seni tradisi misalnya, dianggap bermuatan syirik, berdekatan dengan prilaku setan, atau bahkan dipandang selalu diikuti setan. Seni tradisi dikhawatirkan akan menjauhkan umat dari nilai-nilai Ilahiah (ketuhanan).