Mohon tunggu...
Maman Imanulhaq
Maman Imanulhaq Mohon Tunggu... Anggota DPR RI -

Ketua Lembaga Dakwah PBNU, Anggota DPR RI Periode 2014-2019, pengasuh Pondok Pesantren Al-Mizan Jatiwangi Majalengka, penulis buku "Fatwa dan Canda Gus Dur" dan Antologi Puisi "Kupilih Sepi".Email:kang_maman32@yahoo.com, Twitter; @kang_maman72. Ketik: Kyai Maman>kangmaman100’s chanel www.youtube.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pergulatan Islam, Kebudayaan dan Modernitas

14 November 2017   13:40 Diperbarui: 14 November 2017   14:11 1079
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jika tradisi itu bisa dipertahankan, maka pesantren akan selalu eksis dalam memperjuangkan tujuan-tujuan dasar Syariat Islam (maqshid al-syari'at), yakni menegakkan nilai dan prinsip keadilan sosial, kemaslahatan umat manusia, kerahmatan semesta, dan kearifan lokal. Yaitu Syariat Islam yang sesuai dengan kehidupan demokrasi dan mencerminkan karakter genuine kebudayaan Indonesia sebagai alternatif dari tuntutan formalisasi Syariat Islam yang kaffah pada satu sisi dengan keharusan menegakkan demokrasi dalam nation-state Indonesia pada sisi yang lain.

Dengan modal tradisi itu, sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam yang diperkenalkan di Jawa sekitar lima ratus tahun yang lalu, pesantren telah mengalami banyak perubahan dan memainkan berbagai macam peran dalam masyarakat Indonesia. Misalnya, pada zaman walisanga (wali sembilan) pondok pesantren memainkan peran penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa.

Dalam buku Primbon karya Sunan Bonang, dijelaskan hakikat pemikiran dan madzhab yang dianut Walisanga yang meliputi aspek akidah, syariat, dan tasawuf. Buku ini cukup representatif menjelaskan pemikiran dan metode dakwah Walisanga.

Walisanga tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-16, di tiga wilayah penting, yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaru masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru, mulai dari bidang kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga pemerintahan.

Pesantren Ampel Denta dan Padepokan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, tetapi juga pemimpin pemerintahan. 

Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa.

Tentu banyak juga tokoh lain yang berperan. Namun, walisanga lebih sering disebut sebagai penyebar Islam karena jasanya sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, serta memberi pengaruh terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta lapangan dakwah secara langsung.

Masing-masing tokoh walisanga mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Maulana Malik Ibrahim menempatkan diri sebagai "tabib" bagi Kerajaan Hindu Majapahit, Sunan Giri disebut para kolonialis sebagai "Paus dari Timur", sementara Sunan Kalijaga mencipta kesenian yang bernuansa Hindu dan Budha agar bisa dipahami masyarakat Jawa.

Pada zaman penjajahan, hampir semua peperangan melawan pemerintah kolonial Belanda berakar dari atau paling tidak dapat dukungan sepenuhnya dari pesantren (Hasbullah, 1999:149). Pesantren adalah tempat ditiupkannya "ruh jihad" demi membela agama dan bangsa. Pesantren saat itu menjadi markas pejuang kemerdekaan dan gudang logistik. Selain itu, menurut Azyumardi Azra, pondok pesantren juga berperan dalam era kebangkitan Islam di Indonesia yang telah terlihat dalam dua dekade terakhir ini.

Menggugat Eksistensi Pesantren

Sekarang, di Indonesia ada ribuan lembaga pendidikan Islam yang terletak di seluruh nusantara dan dikenal sebagai dayah dan rangkang di Aceh, surau di Sumatra Barat, dan pondok pesantren di Jawa (Azra, 2001:70). Di Jawa ada berbagai karakteristik pondok pesantren. Perbedaan karakteristik pondok pesantren di Jawa dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri, pola kepemimpinan, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun demikian, ada unsur-unsur pokok pesantren yang harus dimiliki setiap pondok pesantren (Hasyim, 1998:39). Unsur-unsur pokok pesantren itu adalah kiai, masjid, santri, pondok, dan kitab Islam klasik (disebut juga kitab kuning).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun