(1)
“Sekarang hidup susah, apa-apa mahal. Beras naik berkali-kali lipat harganya dibanding dulu, padahal makanan pokok kita. Belum lagi, bencana yang datang ke sini. Hutan yang dibakar buat perkebunan asapnya menutupi kampung kita ini. Sungai dan sumur sudah hampir kering, kalau beberapa minggu lagi hujan tidak turun, kita akan kekeringan.” Begitu ucapan Pak Karman di warung kopi. Beberapa orang yang duduk menikmati kopi pagi hanya bisa menyiyakan saja apa yang dikatakan Pak Karman.
“Hidup kita sudah susah sekarang.” Timpal seseorang
“Pagi bisa ngopi, tapi kita tidak bisa makan siang.” Imbuhan satu orang lagi.
“Masih untung bisa ketemu makan beras, mungkin kalau tidak panen, kita makan singkong.”
“Tak apa makan singkong, yang penting kita sehat. Tapi, asap kok makin tebal saja ya.”
“Sudah banyak sakit sebab asap katanya.”
“Iya. Dua anak saya, kemarin saya bawa ke puskesmas, sakit pernapasan. Antrean yang berobat panjang betul. Keluhannya sama, sakit pernapasan. Ya, sejak hutan dibakar buat perkebunan, kata Pak Mantri di puskesmas, makin banyak orang sakit pernapasan,” kata Ujang menambahi ucapan Pak Karman.
“Pantesan kemarin kamu tidak kelihatan di ladang,” kata Juned. “Tapi, kalau sungai kering, kita bakalan gagal panen.”
“Ngomong-ngomong, hampir seminggu ini saya tidak melihat Pak Kades,” kata Pak Karman.
“Iya, saya juga tidak melihatnya. Dua hari lalu waktu saya ke balai desa pun, saya tidak bertemu Pak Kades,” imbuh Ujang.
“Katanya ke lbukota,” tambah Komar, ikut nimbrung.
(2)
Setelah pulang dari Ibukota, ada yang berbeda dari penampilan Pak Kades. Sekarang Pak Kades pakai arloji. Kalau jalan, tangannya diayun perlahan ke atas, dibengkokkan sampai ke wajahnya, sambil dilirik arlojinya, lalu diturunkan lebih perlahan lagi. Begitulah cara Pak Kades memamerkan arlojinya.
“Arloji baru, Pak?” tanya stafnya saat Pak Kades baru masuk sepulang dari Ibukota.
“Iya, dong,” jawab Pak Kades diiringi senyumannya, “mahal nih.”
“Wah!? Berapa, Pak?” Sekdes ikut nimbrung.
“Kerbau selusin,” jawab Pak Kades, langsung masuk ke ruangannya.
(3)
Ternyata sungai itu mengering lebih cepat. Sawah dan ladang kekeringan. Debu berseliweran berbarengan kabut asap. Panen pun gagal. Masyarakat desa itu betul-betul menderita. Tapi, aparat desa hidup cukup makmur. Perusahaan perkebunan menjamin kehidupan mereka. Berbagai fasilitas disediakan perusahaan itu buat aparat desa. Jika anggota keluarga mereka sakit, perusahaan itu membawanya ke rumah sakit besar. Sebaliknya, masyarakat pergi ke puskesmas yang mantrinya sudah kelelahan bekerja sebab yang sakit makin banyak. Bahkan, obat-obatan di puskesmas sudah hampir habis sehingga hanya satu jenis obat yang diberikan.
Ilustrasi: hikariazzahirah.wordpress.com
Pak Kades sering tidak tampak di balai desa. Kata stafnya, Pak Kades mengontrol kondisi desa. Tapi, orang-orang tak pernah bertemu dengannya. Pernah orang-orang menunggunya di balai desa, Pak Kades tidak muncul-muncul hingga malam.
Penderitaan kian berat. Kepala Desa dan aparatnya tidak lagi diharapkan, mereka berdalih bermacam-macam jika dimintai pertanggungjawaban mereka sebagai pejabat, padahal sudah jelas mereka sudah tidak peduli kepada masyarakat.
(4)
Arloji Pak Kades hilang. Desa itu pun gempar. Pak Kades mengumumkan sayembara. Konon katanya, barangsiapa menemukan arloji itu akan diberi sepetak sawah. Tapi, orang-orang tidak tertarik dengan sayembara itu. Kata mereka, kalau ketemu arloji Pak Kades, mereka tidak bakalan mengembalikannya kepada Pak Kades, lebih baik mereka jual di Ibukota. Sebab dengan begitu, mereka tidak cuma dapat sepetak sawah, tetapi bisa dapat lima hektar sawah. Orang-orang mencari—cari arloji itu. Mereka menduga-duga tempat hilangnya arloji itu. Dan, mereka pun menduga-duga siapa yang mencuri arloji itu.
Satu hari sebuah mobil truk bermuatan sembako dan mobil tangki air masuk desa itu. Lewat pengeras suara, kenek truk itu berteriak mengumumkan kepada warga.
“Bapak-bapak, Ibu-Ibu, yang membutuhkan sembako, silakan antre di depan rumah Pak Karman. Kita akan membagikan sembako ini gratis! Dan, juga lupa bawa jerigen, gentong, atau apa saja tempat air bersih ya! Sekali lagi, di depan rumah Pak Karman!”
Lalu, masyarakat desa itu pun berbondong-bondong ke rumah Pak Karman. Mereka antre dengan tertib menerima paket sembako dan air bersih. Truk dan air bersih itu datang ke desa itu setiap tiga hari sekali saat paket sembako mereka berkurang.
(5)
“Terima kasih, Nak,” kata Pak Karman sambil mengintip orang-orang yang antri paket sembako di depan rumahnya. Ia berbicara kepada anaknya, Jamilah. Seperti namanya, Jamilah memang cantik, suaminya sudah meninggal kesambar petir di sawah tiga tahun lalu. Ia tidak tinggal di desa itu, tapi di Desa Karya Makmur yang berbeda kecamatan. Pak Kades sering mampir ke rumahnya. Tapi, masyarakat desa itu tidak ada yang tahu.
“Arloji yang kamu curi lebih bermanfaat bagi masyarakat di sini dibandingkan cuma buat gagah-gagahan Pak Kades saja.”
Jamilah tidak berkata apapun, ia duduk di kursi sambil menyusui anaknya, lantas ia tersenyum. Senyum yang membuat iri bidadari.
---------------Tamsela, 11 September 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H