Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apakah Egoisme Sudah Memaksa Kita Bertengkar?

19 Agustus 2020   05:23 Diperbarui: 19 Agustus 2020   06:35 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin ini kisah yang sudah terkenal. Banyak orang yang tahu. Saya sekedar menuliskan ini kembali dengan sedikit tambahan. Anggap saja berbagi cerita dengan kisah masyhur yang sedikit "dimodifikasi". Bukankah menceritakan kembali (misalnya) cerita rakyat seperti Timun Mas itu bukan termasuk plagiasi?

Meskipun kisah ini dimulai dengan paragraf pembuka yang sangat klise. Mirip kata-kata "pada suatu hari". Saya harap anda tidak mendadak merasa bosan.

***
Alkisah, dua orang saudara kakak beradik yang lama tinggal bersama bercakap-cakap pada suatu pagi. Puluhan tahun hidup satu atap, mereka tidak pernah sekalipun bertengkar. Mereka hidup dengan keramahan, keceriaan. Berbagi tawa dan benda apapun yang mereka miliki adalah untuk bersama.

Guyonan pagi itu menjadi aneh. Si adik mencoba memecah kesunyian. Dia memberikan usul untuk sesuatu yang belum pernah mereka lakukan: bertengkar.

Terdengar gila, tapi sesekali mereka ingin merasakan bagaimana itu bertengkar. Bukan cuma sekedar tahu dari apa kata orang. Apakah bertengkar itu benar-benar tidak enak? Siapa tahu.

Tapi bukankah untuk bertengkar butuh alasan? Rasanya tak mungkin tiba-tiba seseorang marah tanpa sebab. Maka dengan apa kisruh itu harus dimulai? Mereka berdua bingung. Terdiam memikirkan itu sesaat, dan si adik ingat kejadian yang dia saksikan beberapa saat lalu di sebuah pasar.

Ada orang yang bertengkar karena rebutan makanan. Sungguh menginspirasi. Di depan mereka berdua ada sebuah roti. Mungkin itu bagus untuk memulai sebuah pertengkaran.

"Bagaimana kalau kita bertengkar karena ini?" Tanya adik menunjuk jatah sarapan pagi mereka berdua itu.

"Boleh. Ide bagus dan brilian. Di kota ada yang sampai berdarah-darah gara-gara berebut sepotong roti. Kita coba deh..." Kata si kakak.

"Baiklah aku mulai ya. Hmmm, jadi semua roti ini adalah milikku seorang." Ujar si adik memancing pertengkaran.

"Hmmm, silahkan. Ambil saja semuanya. Boleh saja kok." Kata si kakak.

"Yah, kok gitu?"

"Lah, emang kenapa? Ambil saja semua kalau kamu mau. Untukmu seutuhnya."

"Seharusnya kakak bilang, kalau aku gak boleh ambil semuanya, gitu..." Si adik malah mengajari kakaknya.

"Lah, gimana ya... Aku gak terbiasa bilang begitu. Hehehe..." Si kakak malah tersenyum, dan mereka gagal bertengkar pagi itu.

Mereka berdua jadi diam, dan kembali memikirkan hal apa lagi yang cocok untuk memancing sebuah pertikaian.

"Sudah, gini aja. Aku pukul kakak ya?" Tanya adik minta izin.

"Boleh." Jawab si kakak dengan santainya.

"Aku pernah melihat orang bermusuhan karena pukul-pukulan. Mereka baku hantam entah karena apa, tapi kabarnya puluhan tahun kemudian tak juga berbaikan." Kata si adik menyampaikan pengalamannya.

"Menarik. Selalu penasaran dengan hal baru ya..."

Mendadak sekali si adik memukul kakaknya. Sementara kakaknya bergeming. Tak ada reaksi apapun, selain "ya sudahlah..."

"Yah, kok diam saja sih..." Adiknya protes, karena seharusnya pukulan itu dibalas.

"Lah memangnya aku harus apa?"

"Bales dong kakak..." Pinta si adik.

"Ngapain dibales ya, aku udah maafin kamu kok. Kamu tak sengaja melakukan itu."

"Ya, tinggal bales aja kok..." Percakapan pagi itu jadi ganjil.

"Hmmm, gimana ya... Aku tak terbiasa melakukan itu." Jawab si kakak diakhiri dengan sebuah senyuman.

Dan mereka gagal bertengkar untuk kedua kalinya. Dalam rangka mencari inspirasi, mereka memutuskan keluar rumah. Jalan-jalan untuk menemukan alasan yang tepat buat bertikai.

Tapi kabarnya, sampai bertahun-tahun kemudian mereka selalu gagal untuk melakukan keinginan kecil itu.

***

Mungkin kisah semacam itu tidak masuk akal. Sebenarnya bukan tidak masuk akal, tapi hanya sesuatu yang hampir tidak pernah kita saksikan. Akhirnya jadi dianggap tak rasional.

Seperti orang dulu yang akan heran bila dapat melintasi waktu. Menganggap begitu banyak teknologi zaman sekarang adalah tidak logis. Sebab dulu tak ada mobil, sebab dulu tak ada telepon genggam. Sebab dulu yang bisa terbang hanya burung saja. Bagi manusia prasejarah, berbicara dengan seseorang yang ada di benua lain adalah tidak logis. Tapi hari ini beberapa dari kita melakukan itu hampir setiap hari.

Banyak dari kita juga akan keheranan, melihat banyak teknologi tak masuk akal yang mungkin segera terwujud di masa depan.

***

Jadi, kenapa kita pernah bertengkar? Mungkin, karena ada perasaan ingin memiliki. Ada rasa sungkan memberi. Ada perasaan angkuh diam-diam tidak mau memaafkan. Ada keengganan untuk mengalah dan keengganan menuruti kemauan orang lain.

Secara terselubung dalam hati ada keinginan meminta. Minta dihormati misalnya? Minta dihargai? Atau meminta sesuatu yang lebih baik dari yang orang lain miliki.

Kalau kita selalu bisa menerima, apakah mungkin akan terjadi pertengkaran di dunia ini? Apakah pertengkaran berasal dari egoisme? Banyak hal yang tak masuk akal dan hidup ini yang sulit dijelaskan dengan matematika.

Sebab jika hidup ini kalkulasi angka, seseorang dengan gaji bulanan upah minimum provinsi tentunya tidak akan bisa membangun rumah dan tak bisa membeli mobil. Honorium dari kerja tak akan cukup. Jadi, apa yang masuk akal? Bukankah hidup kita sudah dijamin oleh Tuhan?

Bukankah takut kehilangan itu adalah cermin dari kemiskinan? Seperti ungkapan dalam salah satu bait syair Kahlil Gibran.

Orang bisa memberikan apapun. Sebab pemberian bukan masalah harta. Kita juga bisa memberikan penghormatan dan penghargaan kepada orang lain. Sebab dengan penghormatan dan sikap ramah kepada orang lain, seseorang akan bisa mendapatkan rasa aman. Meskipun rumahnya tidak dilindungi pagar.

Guru saya mengingatkan, orang yang memagari rumahnya dengan tembok tinggi tak lebih aman dibandingkan orang yang memagari rumahnya dengan kedermawanan. Filosofi pager mangkok dan pager tembok.

Jadi, kembali lagi. Mengapa kita bertengkar?

***

Sekian...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun