Mungkin ini kisah yang sudah terkenal. Banyak orang yang tahu. Saya sekedar menuliskan ini kembali dengan sedikit tambahan. Anggap saja berbagi cerita dengan kisah masyhur yang sedikit "dimodifikasi". Bukankah menceritakan kembali (misalnya) cerita rakyat seperti Timun Mas itu bukan termasuk plagiasi?
Meskipun kisah ini dimulai dengan paragraf pembuka yang sangat klise. Mirip kata-kata "pada suatu hari". Saya harap anda tidak mendadak merasa bosan.
***
Alkisah, dua orang saudara kakak beradik yang lama tinggal bersama bercakap-cakap pada suatu pagi. Puluhan tahun hidup satu atap, mereka tidak pernah sekalipun bertengkar. Mereka hidup dengan keramahan, keceriaan. Berbagi tawa dan benda apapun yang mereka miliki adalah untuk bersama.
Guyonan pagi itu menjadi aneh. Si adik mencoba memecah kesunyian. Dia memberikan usul untuk sesuatu yang belum pernah mereka lakukan: bertengkar.
Terdengar gila, tapi sesekali mereka ingin merasakan bagaimana itu bertengkar. Bukan cuma sekedar tahu dari apa kata orang. Apakah bertengkar itu benar-benar tidak enak? Siapa tahu.
Tapi bukankah untuk bertengkar butuh alasan? Rasanya tak mungkin tiba-tiba seseorang marah tanpa sebab. Maka dengan apa kisruh itu harus dimulai? Mereka berdua bingung. Terdiam memikirkan itu sesaat, dan si adik ingat kejadian yang dia saksikan beberapa saat lalu di sebuah pasar.
Ada orang yang bertengkar karena rebutan makanan. Sungguh menginspirasi. Di depan mereka berdua ada sebuah roti. Mungkin itu bagus untuk memulai sebuah pertengkaran.
"Bagaimana kalau kita bertengkar karena ini?" Tanya adik menunjuk jatah sarapan pagi mereka berdua itu.
"Boleh. Ide bagus dan brilian. Di kota ada yang sampai berdarah-darah gara-gara berebut sepotong roti. Kita coba deh..." Kata si kakak.
"Baiklah aku mulai ya. Hmmm, jadi semua roti ini adalah milikku seorang." Ujar si adik memancing pertengkaran.
"Hmmm, silahkan. Ambil saja semuanya. Boleh saja kok." Kata si kakak.