Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tahapan dan Trik Menghasilkan Tulisan yang Baik Menurut A.S. Laksana

12 Agustus 2020   05:21 Diperbarui: 12 Agustus 2020   05:19 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

TAHAPAN MENULIS SESUATU

[Catatan dari Buku A.S. Laksana, Creative Writing, bagian dua dari tiga.]

***
[Dari Menemukan Ide, Masalah Gaya, Hingga Menyusun Draft]

Jika mau menurut teori, langkah pertama adalah menemukan ide. Apa yang terbenam dalam kepala kita? Apa yang tersembunyi, sebaiknya kita mulai menggali.

Terlepas setelah kita memiliki style dan gaya. Ibarat orang bicara memiliki logat, maka setiap orang berhak memilih warna tulisan mereka masing-masing.

Setelah ketemu, selanjutnya adalah menyusun draft sederhana. Merangkum kerangka. Ide ini akan ditempatkan dimana, apa yang cocok menjadi paragraf pembuka. Apa yang sesuai untuk penutup.

Jika berat menulis tulisan yang baik, maka seperti kata mas Sulak, tulis saja yang jelek. Draft tidak harus bagus. Saat kita membuat pondasi rumah kita tak harus langsung mendirikannya dengan indah. Jika belum benar-benar jadi, asal-asalan juga tak masalah. Yang penting ada sesuatu untuk dituliskan.

Jika diberi dua opsi, antara memiliki kertas kosong, atau memiliki kertas dengan tulisan buruk tapi mengandung ide, mana yang akan kita pilih?

Jika itu saya, saya lebih memilih kertas dengan draft yang buruk itu. Demikian juga mas Sulak. Sebab yang buruk itu bisa saja saya perbaiki kemudian. Sedangkan kertas kosong tak mampu diapa-apakan sama sekali. Kita cuma dapat memandang itu berjam-jam, seperti sedang bicara pada sebuah tembok yang polos.

Kita mungkin sekedar ketakutan, takut menghasilkan tulisan yang buruk. Karena memiliki draft yang buruk. Tapi apakah kita tak lebih takut justru saat tidak menghasilkan apapun sama sekali? Bukankah itu lebih buruk lagi?

Setidaknya karya yang buruk membuat seseorang menjadi mau belajar, untuk selanjutnya nanti bisa membuat karya yang lebih baik lagi. Tapi dengan tak menghasilkan karya sama sekali, akhirnya justru membuat orang jadi berhenti belajar.

Kita kadang terlalu menuntut menghasilkan sesuatu yang bagus. Karena mungkin sikap terlalu perfeksionis yang dimiliki. Atau ketakutan akan dianggap sebagai orang yang tak becus. Tapi sikap itu akhirnya menjadikan orang tidak produktif.

Padahal, sesuai nasihat senior saya, untuk memulai sesuatu, kita harus melakukan dari apa yang paling kita bisa. Jika hanya draft dan ide-ide konyol yang bisa dihasilkan sementara, kenapa tidak? Kenapa malu? Dari hal sederhana itulah setidaknya kita memiliki pijakan kaki untuk menjadi pribadi yang lebih berkualitas. Daripada tidak sama sekali.

Seperti yang mas Sulak bilang, kita bisa mengedit kembali dan memperbaiki tulisan yang buruk. Tapi kita gak akan pernah bisa mengedit atau memperbaiki tulisan yang tak pernah ada.

Ada, lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Nyata walaupun jelek, lebih baik daripada angan-angan luar biasa yang setinggi langit, namun sekedar bayangan imajinasi.

Tak perlu menjadikan beban semakin berat dengan menuntut harus menghasilkan tulisan yang bagus. Sebab tak setiap hari kita bisa menghasilkan karya yang menakjubkan. Yang dipuji-puji orang dan dihargai mahal sekali. Tapi setidaknya setiap hari kita bisa berkarya.

Entah dari sekian banyak karya itu, manakah yang akan menjadi "terpilih". Kita tak pernah tahu. Yang kita tahu hanyalah terus berusaha dan mencoba. Hasil adalah misteri kehidupan yang tak terpecahkan jika belum tiba waktunya.

Kita juga bisa meringankan beban dalam hidup dengan menghilangkan hal yang tak perlu. Bayangan tentang kesempurnaan, atau keharusan untuk terus menerus menghasilkan sesuatu. Kita hanya perlu menikmati waktu kita saat ini dengan melakukan hal apapun yang memang kita bisa lakukan. Tak perlu memaksa atas hal yang mustahil bagi diri sendiri. Kita bukan Superman ataupun Wonderwoman!

Betapa bayangan tentang kesempurnaan kadang begitu menyiksa pikiran. Padahal, manusia adalah makhluk yang serba berkekurangan.

Isaac Asimov, seorang penulis fiksi ilmiah yang punya reputasi besar, seperti dikutip mas Sulak, mengungkapkan rahasia produktivitasnya sebagai berikut: "Saya menjadi produktif, saya rasa, karena saya menulis secara simpel dan apa adanya."

Akhirnya penting untuk memiliki ciri khas. Setiap orang punya cara masing-masing dalam mengungkapkan sesuatu. Termasuk bagaimana orang bicara dan menulis. Saya memiliki gaya yang saya sukai, anda juga punya. Tapi kadang kita jadi merasa silau saat melihat hal baru. Agak tergiur dan jadi ingin mencoba "menjadi orang lain".

Saat dalam posisi demikian, saya teringat kata-kata mas Sulak.

"Dalam hal menulis, yang perlu anda lakukan adalah menuturkan segala sesuatunya dengan cara anda. Salah satu yang membuat anda macet menulis adalah karena tiba-tiba anda mencoba menggunakan cara ungkap yang berbeda dari cara ungkap anda sehari-hari.

Tiba-tiba anda tergoda untuk memasukkan kata-kata 'besar' atau menyusun kalimat-kalimat yang 'mendayu-dayu' atau membuat lukisan-lukisan yang puitis. Kalaupun tidak macet, hasilnya mungkin norak dan anda mungkin akan membuat pembaca anda tidak paham." (A.S. Laksana)

Cara terbaik membuat karya kita menjadi buruk adalah dengan tidak menjadi diri kita sendiri.

Maka style terbaik sebenarnya adalah mengemas karya seperti kita berbicara dengan seseorang. Bagaimana mereka mudah memahami kata-kata dan ucapan kita, maka kita juga sebaiknya membuat mereka mudah mengerti tulisan kita. Dengan bahasa yang sederhana.

***

[Tentang Editing dan Penyelerasan]

Setiap proses menulis adalah tahapan untuk belajar kembali. Sekelebat kata itu saya ingat dari spirit Sapardi Djoko Damono dalam berkarya. Yang dikutip (seingat saya) dalam salah satu buku Bakdi Soemanto. Semangat seperti itu juga ada dalam diri mereka yang sudah bisa menjiwai, misalnya Goenawan Mohamad.

"Proses pemikiran hanyalah satu tahap. Proses lainnya menyangkut sekian jam duduk di depan mesin tik atau monitor komputer, membesut, mengoreksi, menatah, menguji kata dan kalimat.

Tiap kali saya menulis, rasanya tiap kali saya belajar lagi. Terutama bila kita bertekad agar tidak bosan dan membosankan, dan (tentu saja kalau itu mungkin) agar setiap tulisan tidak mengulang tulisan yang terdahulu, bahkan setiap kata tidak mengulang kata yang sebelumnya, karena repetisi rasanya adalah sebuah cacat dalam proses kreatif." (Goenawan Mohamad)

Bagi Goenawan Mohamad, mudah mencetuskan draft dan menemukan ide. Memulai sesuatu untuk menulis itu adalah proses singkat. Mudah, karena orang seperti saya sekalipun juga bisa melakukannya dengan serampangan. Tapi tahap berikutnya melibatkan ketelitian. Menyangkut ketelatenan.

Memoles sebuah karya menjadi layak dibaca itu akan makan waktu yang jauh lebih lama. Dan sayang sekali, banyak diantara kita yang melewatkan itu begitu saja. Beberapa dari kita lebih menitikberatkan penyusunan awal, dan mengabaikan editorial. Sementara banyak orang yang berpengalaman akan jauh lebih peduli pada penyelarasan.

Dengan cara itulah kiranya, banyak dari mereka bisa menghasilkan karya yang luar biasa dari hal yang sederhana. Sementara beberapa dari kita memiliki tunas ide yang hebat, namun gagal dalam mengemas. Hingga emas seolah hanya nampak sebagai pagar besi biasa. Sementara yang lain mampu mengolah sampah sekalipun jadi harta. Maka bagaimana jadinya bila mereka pada awalnya bisa menemukan sesuatu yang cemerlang?

Sayang sekali, kadang beberapa dari kita terlalu buru-buru. Dengan gejala "penyakit" ingin menghasilkan sesuatu yang bagus sekaligus. Apakah menulis itu seperti main sulap? Asalkan tahu mantra saktinya, kita bisa menyelesaikan semua pekerjaan dalam sekejap mata. Dengan mantra abrakadabra.

Membangun rumah saja butuh tahapan panjang. Mulai menanam pondasi, mendirikan tembok-tembok, hingga menyusun atap. Dan terakhir adalah memperindah dengan polesan. Apakah itu dengan cat, ataukah sekedar pakai hiasan.

Seperti halnya kita tak seharusnya mengecat sebuah bangunan saat masih menata pondasi, kita juga tak seharusnya mengedit sebuah tulisan saat belum benar-benar jadi.

Mengedit sekaligus menulis akan menghambat kreativitas. Sebab dua hal itu adalah pekerjaan yang jauh berbeda. Menulis adalah menuangkan seluruh gagasan, sementara mengedit adalah memoles kembali apa yang kita sampaikan. Memperindahnya agar jadi sesuatu yang layak untuk dipublikasikan.

Saat mengeluarkan gagasan, kita tidak bicara masalah estetika. Tapi hal terpenting adalah kita bisa menggali sebanyak mungkin. Sampai tidak melewatkan hal sekecil apapun. Bagus atau tidak, runtut atau tidak, itu adalah urusan nomor sekian yang tidak penting. Namun saat editing adalah proses lanjutan bagaimana untuk merapikan itu semua menjadi terstruktur. Menjadi nyaman untuk dibaca dan dinikmati.

Bukankah kita tidak bisa memasak sekaligus berbelanja? Menulis dan menyusun draft adalah seperti kita belanja. Layaknya kita sedang membeli sesuatu sebanyak-banyaknya. Lalu editing adalah tahapan bagaimana kita memasaknya. Kita mengolah bahan mentah itu sesedap yang kita bisa.

Tak perlu buru-buru, sebab hidangan itu belum layak dinikmati jika belum sampai ke meja makan. Sebelum matang, kita tak bisa menilai hasilnya. Sebelum matang, kita hanya bisa menyajikan barang mentah.

Sayang sekali kita justru sering memasak hanya setengah matang. Menulis setengah jalan, dengan mengabaikan proses editing. Wajar saja tak enak, sebab bukan resep atau bahan mentahnya yang bermasalah. Tapi karena menggunakan teknik pengolahan yang kurang lengkap.

Konon Ernest Hemingway mengakui, dalam salah satu wawancara, bahwa hingga 39 kali dia menulis bagian akhir dari novel Pertempuran Penghabisan. Ketika ditanya apakah ada problem teknis di sana? "Menemukan kata-kata yang tepat." itulah jawabannya. Hemingway rela mengedit naskahnya hingga puluhan kali demi mendapatkan diksi yang sesuai.

Jadi apakah yang kita kagumi dari orang seperti Hemingway? Apakah sekedar karyanya, ataukah juga perjuangannya? Lantas mengapa kita memilih harus jadi orang yang buru-buru.

Dengan proses editing, kita menghipnotis pembaca agar bagaimana tak merasa bosan. Meminjam kata-kata Cyril Connolly, bagaimana mereka mau dengan sukarela menghanyutkan diri dalam cerita. Tiba-tiba saja sudah sampai paragraf terakhir tanpa terasa. Bahkan ketagihan dan penasaran dengan kelanjutannya, jika ada.

Kita bisa membuang kata-kata yang percuma. Menjadikan esai yang sebenarnya panjang jadi ringkas dan sederhana. Atau membuat esai yang ringkas, akhirnya jadi "bertele-tele" karena suatu tujuan.

Setiap kalimat yang kita tuliskan haruslah memiliki alasan. Sesuatu akan ditulis hanya karena itu penting. Bukan sebab kita kehabisan kata-kata, akhirnya malah memilih melakukan pemborosan, dengan cara menampilkan baris-baris kalimat yang membosankan. Kita harus kasihan pada pembaca, agar mereka tak terjebak dalam sesuatu yang menjemukan.

Segala-galanya tak perlu dijelas-jelaskan. Sebaiknya jangan semua diungkapkan dengan mentah-mentah. Kadang karya yang mengesankan adalah seperti saat kita menikmati puzzle yang kehilangan beberapa bagiannya. Atau seperti melihat lukisan yang tak pernah selesai. Biarkan pembaca sendiri yang menemukan artinya, ibarat sedang menyulam rajutan. Sebisa mungkin kita tak mendominasi peran dengan monolog. Tapi kita memiliki style, yang kita gunakan untuk berinteraksi bersama pembaca.

Kita tak perlu menulis kembali apa yang sudah diketahui orang. Setiap tulisan memiliki sasaran pembaca. Dan tahu sasaran pembaca itu penting untuk menentukan apa saja yang perlu dituliskan. Banyak hal lain yang bisa diceritakan pada kesempatan mendatang. Mengapa harus ragu memangkas hal yang tidak relevan? Bukankah rumus akhir Albert Einstein sangat sederhana, hanya E=Mc.

Sesuatu yang berbelit-belit mungkin sebenarnya sangat rapuh. Akhirnya kita malah mencoba menutupi kurangnya pengalaman hidup kita dengan menampakkan sesuatu yang norak kepada khalayak.

***

[Intermeso Tips dan Trik]

Mungkin kita butuh trik sederhana namun elementer. Seperti menyajikan lead yang mengesankan. Atau menghindari repetisi kata-kata. Saya ingat sebuah nasihat dari mas Sulak,

"Jika kalimat pertama anda tidak menarik, paragraf pertama anda menyedihkan, maka tulisan anda akan ditinggalkan dan anda tidak boleh menuduh bahwa  minat baca masyarakat kita rendah." (A.S. Laksana)

Atau kalau yang kita hadirkan adalah fiksi, maka pandai-pandai menyajikan alur tak terduga. Dalam analogi permainan catur, kita bisa terpikat berjam-jam didepan bidak hitam putih itu, karena penasaran dengan gerakan musuh yang tak bisa diprediksi. Seperti kita tahu, tulisan yang bisa ditebak jelas plotnya kadang itu membosankan.

Kita bisa menyajikan kisah yang seimbang dari awal sampai akhir. Tidak kelihatan bersemangat di awal, tapi kelelahan karena dalam beberapa bagian (biasanya belakang), ritme kadang jadi terlalu cepat. Seperti orang yang ingin segera lepas dari tanggung jawab mengarang. Mau segera mencapai kata tamat dan bebas dari kewajiban.

"Untuk anda ingat: tulisan yang baik tidak menyediakan ruang untuk pemborosan." Kata A.S. Laksana.

Dan satu hal yang penting, ini mungkin nasihat lama, sudah terlalu usang untuk diulang-ulang. Tapi jujur, kita harus banyak membaca. Sebab pikiran juga butuh nutrisi dan asupan wawasan. Kecuali jika kita mau untuk konstan dengan hal yang itu-itu saja. Kita perlu menyadari, bahwa beberapa dari kita sudah jauh tertinggal.

Seperti halnya kita sangat membutuhkan pergaulan dan interaksi sosial untuk memperkaya pengalaman, kita juga butuh dunia literasi untuk memperkaya khazanah intelektual. Tidak semua pengetahuan bisa kita dapatkan dengan usaha ganjil seperti bermimpi di siang bolong. Segalanya butuh perjuangan.

***

Saya tidak akan memaksa siapapun, termasuk diri saya sendiri, melakukan pekerjaan ini menjadi berat. Dengan catatan ada komitmen. Orang lain tak harus disuruh-suruh melakukan pekerjaan yang sama dengan apa yang kita lakukan, sebab hal itu terlalu egois. Dunia akan runtuh jika semua orang akhirnya jadi penulis.

Menulis haruslah menyenangkan. Jika segala aturan justru membuat kita terbebani, maka kita bisa menulis (pada awalnya) tanpa rambu-rambu sama sekali. Jika kita disiksa oleh deadline, maka buang saja tenggat waktu itu. Nulisnya kapan saja kalau mau. Saya ingat kata-kata William Faulkner yang mengusik,

"Aku hanya menulis ketika mendapatkan inspirasi, dan, celakanya, aku selalu  mendapatkannya setiap pukul sembilan pagi."

***

Sekian...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun