Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ahmad Tohari yang "Tak Sengaja" Jadi Sastrawan

21 Juni 2020   05:59 Diperbarui: 24 Juni 2020   13:56 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi hebat tak perlu direncanakan. Cita-cita besar dan harapan tinggi tak perlu didengung-dengungkan. Cukup lakukan saja sesuatu, sedikit demi sedikit. Hal-hal kecil yang menumpuk itu, lama kelamaan akan menjadi "sesuatu" dengan sendirinya.

Seperti kata seseorang, "satu pekerjaan sederhana yang selesai, lebih baik daripada seribu rencana hebat yang tak pernah dilaksanakan."

***

Pak Ahmad Tohari menceritakan kisah masa lalunya. Sekarang kita semua mengenal beliau sebagai penulis, sastrawan, dan budayawan. Tapi siapa sangka, bahkan cita-cita dan gambaran tentang hal itu bahkan belum muncul hingga beliau mencapai sekolah atas?

Beliau hanya suka membaca, dan mendengarkan cerita. Tapi untuk jadi seorang penulis?

Apa yang dibaca juga adalah buku-buku yang terbatas. Kita tahu, zaman dulu tidaklah sejahtera seperti hari ini. Itu realita. Tapi entahlah kenapa masih ada yang bilang kalau masa lalu itu lebih indah...

Seperti kata Mas Goenawan Mohamad dalam Twitternya, "Kita terbiasa mengkritik masa kini dengan menyebut masa lalu lebih bagus. Masa kini mungkin jelek, tapi benarkah masa lalu lebih bagus?"

"Masa kini memang bisa membuat kesal, tapi karena perubahan kondisi sejarah, orang tak bisa membuat masa lalu sebagai standar."

Tapi sudahlah...

Pada awalnya minat baca itu belum menumbuhkan bayangan untuk jadi penulis. Tapi siapakah orang yang haus bacaan, namun bisa menahan diri untuk tidak gatal menulis? 

Sebab menulis, atau apapun itu, harus dimulai dengan sesuatu yang mudah. Dan sesuatu yang kita bisa. Sesuatu yang sudah tersedia sumber dayanya. Gak perlu memaksa jauh-jauh... Raihlah apa yang ada dan mampu kita genggam terlebih dahulu.

Kisah Pak Ahmad Tohari pada zaman sekolah, adalah pengalaman traumatis tentang menulis. Saat beliau dituduh menjadi plagiat dengan puisi yang "sudah susah payah" beliau susun. Padahal kata beliau, "demi Tuhan saya tidak menyontek karya orang".

Setelah mengumpulkan keberanian dengan nulis di mading, namun seseorang menyampaikan kritik bahwa apa yang beliau tulis itu pernah ada di suatu tempat. Sebuah kebetulan yang memadamkan semangat beliau.

Sejak itulah, beliau sempat berpikir kalau "dunia kepengarangan adalah sesuatu yang tinggi. Jauh dan saya hanya bisa memandang dari luar. Rasanya tidak mungkin saya bisa ikut dalam barisan para sastrawan."

Namun pengalaman "pahit" menulis gak membuat minat membaca beliau surut. Beliau tetap bisa suka membaca, bahkan meskipun di jurusan ilmu alam dan ilmu pasti, yang dibaca juga adalah buku-buku sastra.

Juga dengan membaca koran, beliau mulai mengenal tulisan-tulisan Pramoedya, Asrul Sani, dan Sitor Situmorang. Sungguh lain dengan hari ini. Sekarang tak perlu sampai "bergerilya" ke pasar loak atau berlangganan koran pagi untuk sekedar ingin membaca. Yang paling dibutuhkan saat ini bukanlah lagi masalah bacaannya ada atau tidak. Tapi minat bacanya ada atau tidak...

Bahkan kita tetap bisa membaca meskipun tak pergi ke perpustakaan. Atau bahkan tak memiliki uang untuk membeli buku. Semua sudah serba praktis dan tersedia. Hanya tinggal mau atau tidak...

Pak Ahmad Tohari kelas dua SMA menulis semacam "catatan harian". Berisi tulisan random, seperti esai, cerpen, catatan perjalanan, hingga puisi, yang oleh beliau diksi puisinya masih disebut "mengerikan". Tapi bukan hanya beliau, semua orang juga mestinya pernah punya tulisan yang "mengerikan" untuk dibaca kembali. Serasa jadi Malin Kundang yang tak sudi mengakui bahwa itu adalah tulisan kita sendiri.

Dari proses sederhana itulah beliau belajar mengungkapkan gagasan dan ide ke dalam sebuah tulisan. Walaupun hanya dibaca oleh kawan sekelas. Atau bahkan dibaca oleh pujaan hati, dalam bentuk surat cinta. Nostalgia yang hanya ada di jenjang SMA.

"Dulu saya hanya bisa menikmati keindahan sastra karya pujangga, kemudian saya juga bisa merasakan pula kenikmatan ketika sebuah kalimat indah, anggun, dan menggetarkan bisa saya susun sendiri." Kata beliau.

Beberapa diantara guru-guru sastra beliau adalah Amir Hamzah, Ranggawarsita, dan Chairil Anwar. Sedangkan diantara guru prosanya adalah John Steinbeck, Mochtar Lubis, dan Hamka.

Lulus SMA dan keluar dari fakultas kedokteran, beliau makin sering menulis. Awalnya untuk mengisi waktu dan mengusir "frustasi". Kalau boleh saya katakan, mungkin sebagai media hiburan. Namun aktivitas tersebut merupakan kegiatan sastra pasif. Sebab tulisan-tulisan itu tidak dipublikasikan.

Barulah tahun 1971, cerpen beliau berjudul Upacara Kecil terbit di sebuah koran. Warna tulisan cerpen itu dipengaruhi oleh Edgar Allan Poe, serta penulis lain beraliran realisme sosial dari Amerika Latin dan Asia Selatan. Sedangkan idenya adalah pengalaman pribadi saat melewati daerah kumuh di Jakarta.

Tahun-tahun berikutnya masa depan tentang dunia kepenulisan yang oleh beliau dulu dianggap terlalu "gemerlap" untuk dimasuki, justru menjadi sekian dari bagian kehidupan beliau.

Cerpen Jasa Buat Sanwirya, menjadi pemenang harapan lomba cerpen Radio Hilversum, Belanda, tahun 1975. Dan novel Di Kaki Bukit Cibalak, yang merupakan novel pertama beliau meraih penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta, tahun 1978. Dan terbit di harian Kompas tahun 1979. Siapa yang tahu kalau novel itu hanya ditulis dalam waktu sekitar satu bulan? Lalu novel Kubah ditulis dalam waktu sekitar dua bulan.

Maka tahun itu jugalah, beliau memutuskan untuk serius di dunia kepenulisan. Setelah menyadari motivasi penting dalam tujuan seorang penulis. Yah, apalagi kalau bukan eksistensi? Manusia mana yang bisa hidup seribu tahun lamanya? Tapi sebuah tulisan mungkin bisa hidup dan bertahan lebih lama dari seribu tahun. Mewakili "kehidupan" penulisnya setelah raga dia gak ada lagi.

"Keinginan itu muncul setelah saya tahu sejak lama para penulis hadir (eksis) di tengah kehidupan dengan sangat nyata. Bahkan mereka tetap hadir sesudah puluhan atau ratusan tahun meninggal. Bukankah eksistensi merupakan kebutuhan dasar manusia, dan saya bukan kekecualian.

Kedua, dunia kepengarangan ternyata juga memberi ruang untuk mengembangkan profesi dan mata pencarian.

Dengan dua pertimbangan itu, saya melangkah masuk ke dalam lingkaran sastra sekaligus meninggalkan dunia usaha lain yang pernah saya coba jalankan.

Bersamaan dengan itu pula, saya masuk ke dunia jurnalistik dengan menerima jabatan sebagai redaktur di harian Merdeka, Jakarta. Jurnalistik saya gandeng sebagai paraliterary carreer karena saya menganggapnya bisa bersinergi dengan kepengarangan saya selain sebagai sumber penghasilan alternatif." (Buku Proses Kreatif. Halaman 117)

Tahun-tahun berikutnya, beliau semakin aktif menulis. Novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk meledak. Novel itu ditulis selama lima tahun.

Masa-masa awal adalah masa sulit, biasanya begitu. Tapi orang besar manapun pastinya adalah orang yang berhasil melewati masa-masa sulit itu. Lihatlah pengalaman pribadi beliau ini.

"Mungkin untuk semua pengarang tahun-tahun awal kepengarangan merupakan masa ujian yang tidak ringan. Saya pun demikian.

Masalah berat pertama yang harus saya hadapi adalah membangun rasa percaya diri untuk bekal masuk ke dunia karang-mengarang.

Dulu, sebagai calon pengarang saya merasa ada tembok kokoh yang melingkari dunia para pengarang mapan sehingga keinginan untuk masuk sering terganjal oleh rasa kurang percaya diri.

Bahkan perasaan ini masih tersisa setelah beberapa karya cerpen saya terbit di media massa. Saya masih ingat betapa kaki saya gemetar dan tengkuk terasa dingin ketika saya berdiri di depan pintu kantor redaksi sebuah penerbitan di Jakarta untuk mengantarkan naskah novel Di Kaki Bukit Cibalak pada tahun 1979. Padahal naskah tersebut sudah mendapat penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta.

Untunglah saat itu saya tidak berbalik dan pulang. Andaikan waktu itu saya menuruti rasa minder, lalu mundur, mungkin saya tidak pernah jadi pengarang.

Hal ini sama saja dengan calon pengarang yang berhenti menulis setelah naskahnya beberapa kali ditolak oleh redaksi. Padahal bila dia terus mencoba dan mencoba besar kemungkinan akhirnya ada naskah yang lolos dan diterbitkan."

Tidak hanya itu, lebih tragis adalah cerita tentang bagaimana dengan menulis seseorang bisa menyambung hidup. Jika pekerjaan satu-satunya hanya menulis, tanpa mengandalkan profesi sampingan lain. Kita pikir dunia sastra itu gemerlap dan glamor? Tidak juga. Lihatlah pengalaman pribadi pak Ahmad Tohari ini...

"Sering kali seorang pemula harus merasakan kemiskinan bertahun-tahun sebab dari karya yang dibuat belum menghasilkan uang. Saya mengalami keadaan ini selama 8 tahun hingga 1980. Dalam situasi ini bahkan untuk membeli kertas pun saya tak punya dana.

Atau sering terjadi, sebuah naskah sudah siap dikirim, namun uang pembeli prangko tidak tersedia Andaikan saya menyerah terhadap situasi yang sulit ini, mungkin dunia karang-mengarang tidak pernah saya jamah."

Tapi itu adalah masa sulit yang sementara. Sebab selanjutnya honor dan uang royalti sangat bisa diandalkan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Bahkan untuk menyekolahkan anak-anak beliau hingga perguruan tinggi.

***

Yang saya suka dari banyak tulisan pak Ahmad Tohari adalah kesederhanaan atas ide-idenya. Tema-tema yang ada di sekitar kita.

Dan penjelasan ini membuat pertanyaan saya tadi menjadi gamblang terjawab.

"Seperti halnya Ronggeng Dukuh Paruk, hampir semua karya saya terilhami oleh pengalaman nyata. Hasil pembacaan lahir atas lingkungan, yang kemudian diperkaya dengan idealisme dan komitmen kemanusiaan. Maka semua karya saya sederhana. Amat membumi. Dan karena komitmen kemanusiaan, semuanya punya keberpihakan." (Halaman 119)

Regionalitas pribadi selalu menuntun ide beliau ke dalam wacana tentang masyarakat bawah. Sebab bagi seorang Ahmad Tohari, lingkungan seperti itu merupakan insipirasi yang tak ada habisnya.

Bagaimana seharusnya setiap penulis memiliki karakteristik seperti itu. Punya ranah masing-masing, dan ciri khas. Saat melihat kelas bawah, pak Ahmad Tohari selalu dapat melihat banyak tulisan bisa lahir dari sana. Maka bagaimana kita, atau saya misalnya, orang pesantren, seharusnya selalu bisa melihat ide ketika merenung tentang suasana disana.

Bagaimana seorang pelaut, selalu bisa melihat ide tatkala dia melihat samudera. Atau bagaimana orang perkotaan, bisa selalu melihat ide, saat dia memandang gedung bertingkat. Dan seterusnya...

Saat seseorang berada di ekosistem miliknya, biasanya akan lebih merasa nyaman. Ide-ide bisa lebih mudah datang. Dan setiap huruf yang lahir dari pena akan lebih bisa dinikmati...

"Sepanjang pengalaman menjadi pengarang, ide atau ilham bisa datang kapan saja dan di mana saja. Dia muncul dalam momentum yang tak bisa diramalkan. Mutunya pun berbeda-beda.

Maka tidak semua ilham berhasil dikembangkan dan dilahirkan sebagai karya sastra. Banyak di antara ilham yang rapuh dan karenanya gugur sebelum lahir sebagai karya. Ilham yang kuat akan tinggal dan mengusik jiwa. Dia minta perhatian, menuntut dikembangkan dan diperkaya dan pada saatnya akan mendesak-desak menuntut dilahirkan."

Setelah muncul ide, kemudian ide tersebut sudah disaring hingga layak dilahirkan, maka selanjutnya adalah menunggu waktu yang tepat.

Saya menerjemahkan sebagai menunggu suasana hati. Mood. Maka saya sepakat dengan pak Ahmad Tohari. "Mungkin mood tidak lebih daripada momentum di mana hasrat yang kuat untuk menulis bertemu dengan kondisi jiwa dan suasana lingkungan yang datang bersama dan menciptakan keadaan yang kondusif bagi seorang pengarang untuk mulai menulis."

Cukup sulit kadang adalah memilih kalimat pertama. Paragraf awal yang memikat. Istilahnya sekarang mungkin istilah sejenis lead. Lead harus menarik. Karena lead akan memancing rasa penasaran pembaca, untuk melahap tulisan hingga paragraf terakhir.

Setelah menemukan awal yang tepat, kadang paragraf selanjutnya akan "muncul dengan sendirinya". Kalimat yang bahkan kadang gak pernah terpikirkan sebelumnya. Tiba-tiba ada begitu saja. Muncul begitu saja. "Namun, setelah alinea pertama dibuat dan terasa cukup mewakili maka pekerjaan selanjutnya menjadi lebih mudah."

Kadang memang sudah ada gambaran sebelumnya, dalam bentuk kerangka, kadang memang murni hasil improvisasi yang mengejutkan. Karena sudah bisa menikmati prosesnya mungkin...

"Saran" dari pak Ahmad Tohari adalah, jangan pernah bosan untuk telaten mengoreksi tulisan sendiri. Kita yang menulis, seharusnya adalah orang yang paling paham akan setiap kalimat dan makna yang terselubung dibalik huruf dan diksi yang kita pilih. Bukan orang lain.

Maka membaca ulang tulisan hingga berkali-kali itu akan memberikan hasil akhir yang tak mengecewakan. "Dalam penulisan cerpen maupun novel, saya hampir selalu melakukan koreksi bahkan tulis ulang. Buku pertama trilogi Ronggeng Dukuh Paruk misalnya, saya tulis ulang sampai tiga kali (masih dengan mesin tik biasa).

Hal tersebut saya lakukan untuk mencapai tingkat keterwakilan setinggi mungkin. Dan saya senang melakukannya karena setiap melakukan tulis ulang saya menikmati kepuasan baru, yakni bila saya berhasil menemukan suatu kata yang lebih tepat dan menyusunnya menjadi kalimat yang lebih bagus (memenuhi logika, rasa, dan keanggunan bahasa)."

Setelah lama-lama beliau memiliki nama besar, tentu respon dari masyarakat semakin luas. Ada yang suka, ada yang tak suka. Ada yang antara suka dan tak suka. Jadi begitu juga kritik, pujian pasti ada.

Lantas bagaimana beliau menyikapi pujian yang niscaya itu? Belajarlah dari kalimat beliau ini...

"Terhadap tanggapan yang bernada pujian, tentu, menyenangkan hati. Saya merasa kehadiran saya mendapat pengakuan dan hal ini memberikan semangat untuk berkarya dan berkarya lagi.

Namun, lama-lama saya berpikir, terlena dalam pujian adalah sesuatu yang tidak baik buat seorang pengarang. Dengan pujian, seorang pengarang pemula pun bisa merasa puas dan hal ini bisa menumpulkan kreativitas dan daya juang. Salah-salah pujian bahkan bisa membuat seorang merasa seniman besar.

Dan ini berbahaya, karena perasaan telah menjadi seniman besar bisa mencerabut si pengarang dari wilayah keontentikannya atau kepribadiannya. Maka seharusnya seorang pengarang lebih banyak memperhatikan tanggapan yang berupa kritik, dan itulah yang saya lakukan."

Yang perlu digarisbawahi adalah memperhatikan tanggapan yang bernada kritik. Bukan justru buaian akan sanjungan. Masukan dari pembaca itulah yang sebaiknya digali sebanyak mungkin. Apa yang bisa digunakan untuk membangun diri kita?

Sebab saat terlalu memperhatikan pujian, justru yang ada akan terlena. Dan merasa diatas angin. Sudah seolah jadi sastrawan besar. Padahal belum apa-apa. Akhirnya akan berhenti, dan tidak berkembang...

Maka seperti kata mas Goenawan Mohamad, "Kritik itu 'membangun' atau 'menghancurkan', 'memicu perbaikan' atau 'menghina' ---itu tergantung bagaimana ia digunakan orang yang dikritik."

Pada awalnya seseorang memang kadang gak terbiasa dengan "mulut tetangga". Apapun kalimat kecil dari mereka bisa membuat goyah dan bimbang. Tapi, biasakanlah. Sebab hal semacam itu adalah realitas yang seolah gak bisa dihindari. Nikmati saja prosesnya...

"Pada awalnya, kuping saya panas mendengar kritik langsung ini. Namun, di kemudian hari saya sangat bisa menerima, bahkan menjadikan kritik itu sebagai pedoman untuk bisa melahirkan karya yang lebih baik." Kata pak Ahmad Tohari.

Dan setelah bisa menikmati beragam masukkan dari luar, kadang sikap seseorang adalah gak lagi peduli. Kecuali yang benar-benar bisa membangun. Kritikan yang dulu terasa pedas itu, sanjungan yang dulu seolah bisa membuat diri terbang itu, jika sudah bisa terbiasa, sudah kebal, akan dihadapi juga dengan guyonan...

"Namun, di antara hal-hal yang menjadi suka dan duka seorang pengarang, sering muncul perkara kecil yang lucu.

Misalnya, ketika masih SMA, anak bungsu saya bercerita bahwa dalam soal ulangan Bahasa Indonesia ada pertanyaan: 'Siapa pengarang novel Ronggeng Dukuh Paruk?'

'Nah, kamu jawab bagaimana?' tanya saya kepada si bungsu.
'Saya kosongkan, Pak.'
'Kok begitu?'
'Soalnya saya khawatir Bapak akan jadi besar kepala.'
'Wah, terima kasih, Nak. Kamu sungguh bijak bestari..'

Dan kami pun tertawa bersama."

***

Maka apa yang bisa dipetik dari kisah hidup seseorang Ahmad Tohari ada banyak.

Beliau lahir dengan semangat yang gigih dan pantang menyerah. Meskipun pada awalnya gak bisa menghasilkan uang. Hingga beli kertas dan perangko saja gak mampu.

Meskipun awalnya ditolak berkali-kali. Meskipun geram karena dihujat dengan kritik di sana-sini. Itu adalah awal dari seleksi alam. Siapa yang mampu konsisten dan bertahan melewati ujian hidup itu? Maka mungkin dia berkesempatan untuk jadi orang sukses.

Milikilah mental nekat Kolonel Harland Sanders, sang pendiri KFC (Kentucky Fried Chicken), Vincent Van Gogh yang gak berhenti melukis, atau Thomas Alva Edison yg katanya harus gagal dalam ratusan kali eksperimen, sebelum akhirnya menemukan lampu pijar.

Hikmah lain yg bisa dijadikan pelajaran...

Hampir gak ada penulis manapun yg lahir tanpa minat membaca. Kehausan akan bacaan itulah melahirkan gagasan akan sebuah tulisan. Jika ide itu tak dituangkan, kadang akan "menjadi-jadi" mengganggu pikiran. Seperti saat seseorang menahan bersin. Atau sejenisnya.

Meskipun pada awalnya dia "menolak" nasib dengan enggan masuk ke dunia "gemerlap" tulis menulis, tapi lama kelamaan dia gak bisa menahan keinginan, walaupun sekedar menulis untuk diri sendiri.

Maka seperti itulah jawaban pak Ahmad Tohari ketika ditanya, mengapa menulis novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk? "Saya melahirkan karya sastra, karena jiwa saya hamil sastra..."

Bagaimana tidak? "Benih" atas novel tersebut sudah lama sekali mengganggu pikiran beliau. Hingga lima belas tahun. Sudah ada keinginan untuk menulis kisah semacam itu bahkan sejak zaman beliau masih sekolah SMA.

Dan proses menulis Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk benar-benar adalah totalitas beliau. Hingga saat trilogi itu selesai, mungkin rasanya seperti habis lari maraton dan sampai di garis finish. Hingga, beliau bisa menyelesaikan karya baru lagi dalam waktu sekitar lima tahun berikutnya.

"Penggarapan Ronggeng Dukuh Paruk boleh jadi terlalu banyak menguras kekuatan lahir dan batin saya sehingga sesudahnya saya mengalami semacam kelelahan kreatif."

Alasan lain, seperti tanggung jawab moral atas peristiwa 1965, atau jawaban lain sepaham saya merupakan alasan yang bersifat "kondisional" dan teoritis.

Kadang kita gak tahu ketika ditanya alasan tertentu mengapa memilih makan makanan A. Kita jawab saja, karena mengandung gizi yang dibutuhkan tubuh. Tapi aslinya alasan tersebut agak "palsu". Gak begitu terpikirkan sebelumnya. Alasan yang lebih logis adalah karena pokoknya kita sedang ingin makan itu. Itu saja... Tanpa alasan yang cukup jelas. Dan tetap menjadi misteri.

***

Tapi kadang orang merasa sudah banyak membaca. Dan saat perasaan "merasa" itu menimbulkan pertanyaan "mengapa aku tak kunjung bisa menulis", maka sebenarnya kesimpulannya salah. Memang sudah seberapa banyak yang kau baca?

Jangan-jangan baru seratus buku. Atau baru satu buku seminggu. Yah, itu sih belum "banyak"...

***

Kesimpulan akhir saya kira ada di kalimat ini...

"Dengan menjadi pengarang, kenikmatan pertama yang saya rasakan adalah kehadiran yang jelas dan diterima dengan baik oleh masyarakat.

Saya merasa diberi peluang untuk mengambil sebuah peran. Dan betapapun sederhana peran itu, namun nyata ada. Kepengarangan juga mengantar saya ke wilayah pergaulan yang sangat luas. Para pengamat, sesama pengarang, mahasiswa, dosen, serta masyarakat pembaca lainnya secara langsung atau tidak menjadi sahabat-sahabat yang menyenangkan.

Bahkan pergaulan itu meluas sampai ke luar negeri. Beberapa kali saya mendapat undangan dari universitas luar negeri di Amerika Serikat, Jerman, Belanda, Thailand, Jepang, Malaysia; hal yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan bisa terjadi."

***

Wallahu a'lam...

***

8 Juni 2020 M. 10 Juni 2020 M. 12 Juni 2020 M. 13 Juni 2020 M.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun