Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ahmad Tohari yang "Tak Sengaja" Jadi Sastrawan

21 Juni 2020   05:59 Diperbarui: 24 Juni 2020   13:56 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah Pak Ahmad Tohari pada zaman sekolah, adalah pengalaman traumatis tentang menulis. Saat beliau dituduh menjadi plagiat dengan puisi yang "sudah susah payah" beliau susun. Padahal kata beliau, "demi Tuhan saya tidak menyontek karya orang".

Setelah mengumpulkan keberanian dengan nulis di mading, namun seseorang menyampaikan kritik bahwa apa yang beliau tulis itu pernah ada di suatu tempat. Sebuah kebetulan yang memadamkan semangat beliau.

Sejak itulah, beliau sempat berpikir kalau "dunia kepengarangan adalah sesuatu yang tinggi. Jauh dan saya hanya bisa memandang dari luar. Rasanya tidak mungkin saya bisa ikut dalam barisan para sastrawan."

Namun pengalaman "pahit" menulis gak membuat minat membaca beliau surut. Beliau tetap bisa suka membaca, bahkan meskipun di jurusan ilmu alam dan ilmu pasti, yang dibaca juga adalah buku-buku sastra.

Juga dengan membaca koran, beliau mulai mengenal tulisan-tulisan Pramoedya, Asrul Sani, dan Sitor Situmorang. Sungguh lain dengan hari ini. Sekarang tak perlu sampai "bergerilya" ke pasar loak atau berlangganan koran pagi untuk sekedar ingin membaca. Yang paling dibutuhkan saat ini bukanlah lagi masalah bacaannya ada atau tidak. Tapi minat bacanya ada atau tidak...

Bahkan kita tetap bisa membaca meskipun tak pergi ke perpustakaan. Atau bahkan tak memiliki uang untuk membeli buku. Semua sudah serba praktis dan tersedia. Hanya tinggal mau atau tidak...

Pak Ahmad Tohari kelas dua SMA menulis semacam "catatan harian". Berisi tulisan random, seperti esai, cerpen, catatan perjalanan, hingga puisi, yang oleh beliau diksi puisinya masih disebut "mengerikan". Tapi bukan hanya beliau, semua orang juga mestinya pernah punya tulisan yang "mengerikan" untuk dibaca kembali. Serasa jadi Malin Kundang yang tak sudi mengakui bahwa itu adalah tulisan kita sendiri.

Dari proses sederhana itulah beliau belajar mengungkapkan gagasan dan ide ke dalam sebuah tulisan. Walaupun hanya dibaca oleh kawan sekelas. Atau bahkan dibaca oleh pujaan hati, dalam bentuk surat cinta. Nostalgia yang hanya ada di jenjang SMA.

"Dulu saya hanya bisa menikmati keindahan sastra karya pujangga, kemudian saya juga bisa merasakan pula kenikmatan ketika sebuah kalimat indah, anggun, dan menggetarkan bisa saya susun sendiri." Kata beliau.

Beberapa diantara guru-guru sastra beliau adalah Amir Hamzah, Ranggawarsita, dan Chairil Anwar. Sedangkan diantara guru prosanya adalah John Steinbeck, Mochtar Lubis, dan Hamka.

Lulus SMA dan keluar dari fakultas kedokteran, beliau makin sering menulis. Awalnya untuk mengisi waktu dan mengusir "frustasi". Kalau boleh saya katakan, mungkin sebagai media hiburan. Namun aktivitas tersebut merupakan kegiatan sastra pasif. Sebab tulisan-tulisan itu tidak dipublikasikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun