Yang jadi prioritas baginya adalah nama seorang guru. Dan bagaimana namanya juga bisa ada di hati sang guru.
Pelajaran berharga yang indah buat saya.
Kemudian percakapan kami berlanjut dengan menyinggung banyak cerita masa lalu.
Dan tawa khas yang dimilikinya tak pernah berubah. Bahkan sejak pertama kali saya berjabat tangan dengan dia di emperan gedung al-Ikhlas. Salah satu nama tempat dimana dulu saya belajar mengeja huruf dalam kelas. Saya berkenalan, dan langsung memaksa dia untuk membelikan saya satu plastik penuh gorengan.
Dan rasa itu tak kunjung hilang. Bahkan setelah melewati waktu yang demikian panjang. Seharusnya dulu sekalian saya juga minta traktir makan siang.
***
Tiba-tiba segala gegap gempita itu menjadi terang yang nyata. Tiba-tiba saya sudah terduduk di sisi lain dunia. Mata sayup-sayup terbuka. Dan jam dinding itu masih pada tempatnya.
Semua kenangan tadi itu membawa saya kembali kepada kehidupan yang sebenarnya. Saya masih terjaga. Antara alam sadar dan alam tidak sadar yang saling berebut.
Saya tengok kanan dan kiri, ternyata saya sendirian. Lagi-lagi ini sudah pagi. Apa yang tadi itu adalah hal tak terencana, namun sungguh membangkitkan kenangan.
Karena masih ada waktu, saya cari dimana ponsel saya. Nama pertama yang saya cari adalah orang yang saya temui tadi. Saya beranikan untuk kirim pesan. Nekat mengganggu dan menerjang segala ruang dan waktu. Sesibuk apapun dia, semoga dia baca pesan saya.
Kalimat singkat "selamat pagi" itu mengawali kembali segala kalimat lepas. Canda tawa atau apapun yang sebenarnya gak penting. Sebab intinya adalah sebuah kesimpulan, "syukurlah dia masih ingat padaku..."