Suatu hari saat saya membaca antalogi Tak Ada New York Hari Ini. Saya sampai pada barisan sebuah sajak,
"Puisi adalah museum yang lengang. Masa remaja dan negeri jauh. Jatuh dan patah. Foto-foto hitam putih. Aroma kemeja ayah dan senyum perempuan yang tidak membiarkanku merindukan senyum lain.
Tidak ada pengunjung. Tidak ada pengunjung. Dibalik jendela, langit sedang mendung."
Kemudian saya berhenti sejenak. Memandang kopi yang sudah surut itu. Yang tinggal ampasnya itu. Rasa yang mengendap dalam manis yang tidak terasa lagi itu.
Lagu-lagu yang lembut itu, mengalir dalam semilir. Menciptakan harmoni atas semerbak wangi. Dan teduh awan yang berarak itu...
"I'll spread my wings, and I'll learn how to fly,
I'll do what it takes till I touch the sky,
And I'll make a wish,
Take a chance,
Make a change,
And breakaway..."
Lagunya menimbulkan semangat.
***
Sampai lupa kalau sedang sedih. Saking banyaknya orang lalu lalang dan tertawa-tawa. Jiwa jadi terpengaruh. Tapi tak perlu sedu sedan itu. Sebab dengan kebahagiaan orang bisa hidup seribu tahun lagi. Bisa tetap berlari hingga hilang pedih peri.
Bersama puisi-puisi Sapardi tentang bulan Juni. Yang setiap tahun dipentaskan, bahkan dipadu dengan lakon Donquixote. Hingga jadi novel juga. Tapi tak ada hubungannya dengan tokoh rekaan Miguel de Cervantes itu. Lalu saat bulan berganti, ada lirik Gun's and Roses yang November itu. Maka setiap hari dalam sepanjang tahun, ada saja lagu dan puisi yang mengikuti...
Mengapa lagi harus sedih, atau merasa sendiri?
***
Ponsel yang berdering menyadarkan gejolak dalam hati. Sudah terlalu lama terpekur dan terdiam di warung kopi. Sahabat saya memanggil dan bergegas saya harus pergi.
Maka kemana kalimatnya menuntun pertemuan kami? Saya cuma bisa menduga-duga. Mungkin di sebuah taman seperti dalam kisah romansa Pidi Baiq. Atau justru dibawah kolong jembatan, seperti dalam fiksi bergenre thriller garapan James Wan.
Sungguh kegelisahan ini membawa kepada imajinasi yang berlebihan.
***
Kami bertemu muka dan dia nampak bahagia. Sirna dan luruh segala keluh kesah. Terwakilkan oleh senyumannya yang bercahaya. Kawan lama ini saya rindukan segala canda tawanya.
"Aku baru pulang keliling dunia..." Sungguh tak percaya. Dia memilih dari sejuta bahasa, kalimat itu.
"Kemana saja kamu..." Saya tak bisa merespon kecuali dengan kata-kata yang wajar.
"Aku sudah melihat menara Eiffel langsung dari tanah Perancis. Juga bandara Heathrow langsung dari Inggris." Tentunya bukan untuk pamer. Dia jujur baru saja keliling dunia.
"Tak aku sangka kamu bisa jadi orang sesukses ini..." Saya takjub. Betapa dia yang dulu bersama saya, sama-sama berbaju lusuh dan tak disetrika. Sekarang berdasi kupu-kupu rapih. Lengkap dengan satu set baju tuxedo.
"Ini hanya formalitas. Kalau pulang ke rumah aku juga pakai baju seperti kamu..." Dia memandang outfit saya. Hanya pakaian sederhana.
"Yuk, kita sambil jalan. Aku mau bikinkan kopi susu kesukaan kamu langsung dari dapurku sendiri." Dia menuntun saya ke mobilnya. Paling mewah diantara deretan kuda besi lain yang bikinan Jerman. Pajak mobilnya saja mungkin cukup untuk beli sebuah Harley Davidson.
***
Rumahnya mewah. Dan tak layak jika itu disebut gedung pencakar langit. Saya membayangkan lobi rumahnya adalah replika lantai pertama menara Burj Khalifa.
Dan kurang lebih dugaan saya gak meleset. Sebab kamar-kamar disini lebih dari sekedar hotel berbintang. Tapi inilah tiruan dari istana Buckingham. Saya terkesima...
Mau berburuk sangka, "dari mana kamu mendapatkan semua uang ini?" Tapi kata-kata itu telanjur tertelan ludah. Karena lidah saya juga jadi kelu.
***
Sepertinya itu sih hanya kopi biasa. Tapi bentuknya mencurigakan. Setiap tetes minuman itu mungkin akan lebih mahal harganya daripada uang untuk makan sebulan.
Sampai saya dipersilahkan untuk menikmati suguhan itu, saya jadi ragu-ragu. Inginnya saya bawa pulang saja. Dilaminating dan saya jadikan pajangan.
Tapi rasanya gak jauh beda dengan kopi ala kafe mewah. Ditambah sedikit gula. Karena kopi Starbucks katanya gak begitu manis.
"Hal yang paling menyenangkan adalah bisa pulang." Dia memecah kesunyian. Kata-katanya membuat pikiran saya berpaling dari mengagumi gelas kopi bikinan Eropa itu.
"Kenapa kok memilih pulang?" Tanya saya.
"Semua orang punya rumah. Dan kenangan indah adalah kenangan masa kecil bukan?" Dia benar. Dan alasannya sungguh tak bisa ditolak.
"Gak menyangka kamu bisa sehebat itu." Saya seperti kehabisan kalimat untuk hari ini. Lebih dari apapun, dia sudah meraih mimpi-mimpi yang selalu dia utarakan di depan kawan-kawan seperjuangan. Saat dia dulu jadi ketua kelas saya.
"Dan semua adalah berkat keyakinan kuat saya kepada guru saya." Seharusnya saya membawa catatan. Dan menggarisbawahi kalimat dia yang satu ini.
"Itukah rahasia suksesmu?"
"Kita gak tahu yang mana rahasia sukses kita. Tapi hati saya selalu bilang begitu. Saat di Singapura, dan lama gak dengar adzan, hati saya jadi rindu."
"Lalu kamu pulang?"
"Yah... Yang pertama kali aku kunjungi bukan rumah kelahiranku. Tapi guruku..."
"Kamu ziarah kok gak bilang-bilang. Seharusnya ajak diriku." Mungkin kata-kata saya gak tulus. Andaikan dia benar-benar mengajak saya, apakah reaksi saya?
"Maaf. Aku tak ingat apapun selain ingin segera sampai kesana. Itu saja..."
Saya terhenyak.
Banyak alasan tidak rasional tentang keinginan untuk bertemu. Tapi jauh dalam hati dia tulus mengatakan itu. Meskipun saya bukan mahasiswa psikologi, tapi kejujurannya bisa saya baca dari raut wajah itu.
Faktor eksternal yang dimiliki oleh dia, membuat dia ingin pulang. Tapi bukan rumah yang dia tuju. Segala kemewahan tak berarti. Hanya retorika. Selebihnya yang penting cukup buat makan dan minum sehari-hari.
Yang jadi prioritas baginya adalah nama seorang guru. Dan bagaimana namanya juga bisa ada di hati sang guru.
Pelajaran berharga yang indah buat saya.
Kemudian percakapan kami berlanjut dengan menyinggung banyak cerita masa lalu.
Dan tawa khas yang dimilikinya tak pernah berubah. Bahkan sejak pertama kali saya berjabat tangan dengan dia di emperan gedung al-Ikhlas. Salah satu nama tempat dimana dulu saya belajar mengeja huruf dalam kelas. Saya berkenalan, dan langsung memaksa dia untuk membelikan saya satu plastik penuh gorengan.
Dan rasa itu tak kunjung hilang. Bahkan setelah melewati waktu yang demikian panjang. Seharusnya dulu sekalian saya juga minta traktir makan siang.
***
Tiba-tiba segala gegap gempita itu menjadi terang yang nyata. Tiba-tiba saya sudah terduduk di sisi lain dunia. Mata sayup-sayup terbuka. Dan jam dinding itu masih pada tempatnya.
Semua kenangan tadi itu membawa saya kembali kepada kehidupan yang sebenarnya. Saya masih terjaga. Antara alam sadar dan alam tidak sadar yang saling berebut.
Saya tengok kanan dan kiri, ternyata saya sendirian. Lagi-lagi ini sudah pagi. Apa yang tadi itu adalah hal tak terencana, namun sungguh membangkitkan kenangan.
Karena masih ada waktu, saya cari dimana ponsel saya. Nama pertama yang saya cari adalah orang yang saya temui tadi. Saya beranikan untuk kirim pesan. Nekat mengganggu dan menerjang segala ruang dan waktu. Sesibuk apapun dia, semoga dia baca pesan saya.
Kalimat singkat "selamat pagi" itu mengawali kembali segala kalimat lepas. Canda tawa atau apapun yang sebenarnya gak penting. Sebab intinya adalah sebuah kesimpulan, "syukurlah dia masih ingat padaku..."
***
Sekian...
***
18 Juni 2020 M.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H