"Gak menyangka kamu bisa sehebat itu." Saya seperti kehabisan kalimat untuk hari ini. Lebih dari apapun, dia sudah meraih mimpi-mimpi yang selalu dia utarakan di depan kawan-kawan seperjuangan. Saat dia dulu jadi ketua kelas saya.
"Dan semua adalah berkat keyakinan kuat saya kepada guru saya." Seharusnya saya membawa catatan. Dan menggarisbawahi kalimat dia yang satu ini.
"Itukah rahasia suksesmu?"
"Kita gak tahu yang mana rahasia sukses kita. Tapi hati saya selalu bilang begitu. Saat di Singapura, dan lama gak dengar adzan, hati saya jadi rindu."
"Lalu kamu pulang?"
"Yah... Yang pertama kali aku kunjungi bukan rumah kelahiranku. Tapi guruku..."
"Kamu ziarah kok gak bilang-bilang. Seharusnya ajak diriku." Mungkin kata-kata saya gak tulus. Andaikan dia benar-benar mengajak saya, apakah reaksi saya?
"Maaf. Aku tak ingat apapun selain ingin segera sampai kesana. Itu saja..."
Saya terhenyak.
Banyak alasan tidak rasional tentang keinginan untuk bertemu. Tapi jauh dalam hati dia tulus mengatakan itu. Meskipun saya bukan mahasiswa psikologi, tapi kejujurannya bisa saya baca dari raut wajah itu.
Faktor eksternal yang dimiliki oleh dia, membuat dia ingin pulang. Tapi bukan rumah yang dia tuju. Segala kemewahan tak berarti. Hanya retorika. Selebihnya yang penting cukup buat makan dan minum sehari-hari.