***
Rumahnya mewah. Dan tak layak jika itu disebut gedung pencakar langit. Saya membayangkan lobi rumahnya adalah replika lantai pertama menara Burj Khalifa.
Dan kurang lebih dugaan saya gak meleset. Sebab kamar-kamar disini lebih dari sekedar hotel berbintang. Tapi inilah tiruan dari istana Buckingham. Saya terkesima...
Mau berburuk sangka, "dari mana kamu mendapatkan semua uang ini?" Tapi kata-kata itu telanjur tertelan ludah. Karena lidah saya juga jadi kelu.
***
Sepertinya itu sih hanya kopi biasa. Tapi bentuknya mencurigakan. Setiap tetes minuman itu mungkin akan lebih mahal harganya daripada uang untuk makan sebulan.
Sampai saya dipersilahkan untuk menikmati suguhan itu, saya jadi ragu-ragu. Inginnya saya bawa pulang saja. Dilaminating dan saya jadikan pajangan.
Tapi rasanya gak jauh beda dengan kopi ala kafe mewah. Ditambah sedikit gula. Karena kopi Starbucks katanya gak begitu manis.
"Hal yang paling menyenangkan adalah bisa pulang." Dia memecah kesunyian. Kata-katanya membuat pikiran saya berpaling dari mengagumi gelas kopi bikinan Eropa itu.
"Kenapa kok memilih pulang?" Tanya saya.
"Semua orang punya rumah. Dan kenangan indah adalah kenangan masa kecil bukan?" Dia benar. Dan alasannya sungguh tak bisa ditolak.