Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Tentang Buku Seno Gumira Ajidarma, "Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara"

17 Mei 2020   06:13 Diperbarui: 17 Mei 2020   08:22 1580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Perkenankanlah saya mengajukan pendapat
bahwa fakta maupun fiksi hanyalah cara manusia memberi makna kepada dunia dan kehidupannya.

Di dalam makna itulah terkandung tanggapan dan tafsiran manusia. Fakta bisa merentang dari sekadar sebuah laporan jurnalistik sampai kepada hasil penelitian yang paling ilmiah. Fiksi dalam peradaban manusia telah memperkenalkan seribu satu macam bentuk.

Fakta diterima berdasarkan suatu konsensus yang telah disetujui bersama, itulah konsensus tentang bagaimana caranya segala hal yang masuk akal diterima sebagai kenyataan.

Fiksi tidak mempunyai konsensus, karena tidak ada kategori dan kriteria apa pun yang bisa berlaku bagi imajinasi, namun tetap ada suatu konsensus bahwa dengan suatu cara tafsir-menafsir dalam persetujuan tertentu, maka fiksi dianggap mencerminkan kembali kenyataan." (Halaman 153)

Meskipun kita tahu, sastra tetap saja sastra. Yang merupakan media remang-remang dan rawan salah tafsir untuk menjelaskan keadaan yang sejati.

"Tetapi fakta maupun fiksi tetaplah konstruksi manusia, bukan kenyataan itu sendiri.

Menarik untuk diikuti bahwa ternyata fakta maupun fiksi tidak bisa mengklaim kenyataan secara mutlak. Kenyataan itu menghadirkan dirinya, mengada ke dalam sejarah, lewat suatu proses komunikasi yang tidak pernah terputus. Fakta apa pun, fiksi mana pun, hanyalah bagian dari mata rantai komunikasi itu.

Menjadi jelas di sini, bahwa apa pun yang diandaikan sebagai kenyataan memang terletak di dalam kurung-dalam arti menjadi sangat relatif.

Dengan begitu, jika konstruksi kenyataan hanyalah boleh dipercayai sebagai salah satu simbol dalam hiruk pikuk proses penanggapan dan penafsiran, apakah yang masih bisa dipegang dalam sebuah teks?

Tepatnya, apakah moralitas dari pembuatan suatu teks? Jawabannya ternyata masih klise: kebebasan dan kejujuran. Apakah saya bebas, barangkali masih bisa dilacak. Apakah saya jujur, hanya saya sendiri yang tahu telah mencoba mengaku. - namun saya mencoba untuk mengaku." (Halaman 155-156)

"Kesimpulan: Ketika jurnalisme dibungkam,
sastra harus bicara, karena bila jurnalisme bersumber dari fakta, maka sastra bersumber dari kebenaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun