Entahlah kenapa tiba-tiba saya membaca buku Seno Gumira Ajidarma yang ini. Tema-tema tentang jurnalistik agak menarik bagi saya akhir-akhir ini. Apa sih yang menarik? Entahlah... Mungkin saya sebatas nostalgia dengan kegiatan lama saya itu. Jadi wartawan di pondok. Mungkin terlihat gagah saat saya menyandang kamera DSLR jenis Canon D60 berharga puluhan juta itu.
Membaca buku sastra itu selalu menyenangkan. Bukan menyenangkan saat membaca inti kisahnya. Tapi menikmati bagaimana penulisnya bertutur cerita.
Seperti lagu, yang saya nikmati bukan liriknya. Tapi nada indah naik turun itu. Liriknya sih, kadang gak begitu penting. Bahkan dalam lagu-lagu Avril Lavigne yang demikian kasar itu sekalipun. Yang tak segan mencantumkan sumpah serapah.
Untung orang-orang di sekitar saya gak paham. Andaikan lagu itu berbahasa Indonesia, mungkin orang di sekitar saya akan bilang, "iku nyanyi ta misuh-misuh?"
***
Buku ini mengajak kita menelusuri kesejatian jurnalisme. Jurnalisme bukan hanya koran dan majalah. Seno Gumira Ajidarma membuktikan ini. Ternyata jurnalis juga bisa seorang sastrawan, cerpenis, atau apalah.
Saya terkekeh saat Seno menyebut bahwa Mpu Prapanca penulis buku Negarakertagama itu sebagai jurnalis. Mpu Prapanca adalah serupa "wartawan" bagi para sejarahwan. Yang menyelaraskan kebenaran dan kenyataan melalui bingkisan sastra.
Kitab Negarakertagama. Kenapa ya, saya gak terpikirkan tentang Negarakertagama? Itu sebenarnya bukan kitab sejarah. Tapi buku sastra. Makanya gak begitu bisa diandalkan untuk melacak kebenaran sejarah. Bukannya saya pernah membaca Negarakertagama. Jangankan membaca. Lihat isinya juga belum pernah.
Karena biasanya setiap kerajaan itu punya sastrawan, atau mungkin bahasanya penulis kisah suruhan raja. Maka mungkin dalam hal penulisan karya, mereka tidak bisa objektif. Kalau kata mereka yang memang berkecimpung dan mendalami dunia filologi, isi dari kitab-kitab sastra jaman dulu itu kadang berlebihan.
Mengisahkan kesaktian yang sundul langit. Hingga kekuatannya hanya mampu ditandingi oleh Thanos, Iron Man, dan Hulk.
Makanya, dalam merumuskan kenyataan, para sejarahwan lebih memilih membandingkan catatan masa lalu nusantara dengan tulisan "wartawan" luar negeri yang netral. Gak bekerja untuk siapapun. Seperti Tome Pires misalnya.