Itu adalah kisah tentang Seno yang berencana "memindahkan" keindahan senja ke dalam sebuah puisi. Namun gagal, dan justru jadinya malah sebuah cerpen.
Benar kata Seno. "Karena bagi saya pun, segala tetek bengek dibalik lahirnya cerpen-cerpen itu, sebenarnya merupakan masalah yang paling pribadi. Ketika catatan ini dibaca orang banyak, dan go public, maka semua itu menjadi pernyataan. Apa boleh buat. Bisa dihubungkan, bisa pula tidak usah dihubungkan, dengan cerpen-cerpen tersebut."
Saya juga menggarisbawahi kalimat Seno dibawah ini.
"Rasanya saya sudah bicara terlalu panjang, apa lagi jika itu menyangkut tentang cerpen-cerpen saya sendiri. Sekali lagi harus saya nyatakan, kisah-kisah di balik lahirnya sebuah cerpen barangkali bisa seru, tapi adalah cerpen itu sendiri yang dipertaruhkan untuk bicara.
Barangkali catatan semacam 'obsesi dan prosesi di balik penulisan cerpen' hanya bagus sebagai artikel lepas saja, sebagai bacaan di kala senggang, tidak harus dihubungkan langsung dengan - dan tidak menyumbang - kepada --- itu sendiri.
Meski begitu, dari semacam perenungan
kembali ini, saya mencatat satu hal: imajinasi tidak mampu melepaskan fakta dari kebenaran, barangkali ia menjadi fiksi, tapi tetap kebenaran. Mudah-mudahan."
***
Dan Seno membagi seni dalam dua hal. Ada yang sebaiknya dijelaskan maksudnya. Dan ada yang sebaiknya tidak. Tapi saya kurang bisa menangkap kejelasan poin pertama.
***
Kerja jurnalistik sebenarnya bukan terkait estetika. Bukan memperhatikan keindahan bahasa. Tapi terkait fakta. Bagaimana sebuah informasi bisa disampaikan. Wartawan patut diapresiasi saat mereka berani membeberkan fakta dengan akurat, terutama dalam hal yang sensitif. Dan jika mereka mampu memberikan pemberitaan yang super ekslusif. Mungkin itulah nilai kepuasan tersendiri seorang wartawan.
Tapi tak semata-mata nulis karena nekat. Tentunya harus memperhatikan maslahat dan kepentingan publik juga. Jangan sampai media massa kok menghancurkan negara sendiri dengan tulisannya.