Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Tentang Film "The Post" Garapan Stephen Spielberg yang Menyingkap Peran Sejati Jurnalistik

12 Mei 2020   04:41 Diperbarui: 12 Mei 2020   05:02 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

CATATAN TENTANG FILM THE POST DAN KERJA JURNALISTIK

The Post (The Washington Post)

***

"Someone said this at some point about why we stayed when we knew we were losing.

Ten percent was to help the South Vietnamese. Twenty percent was to hold back the Commies. Seventy percent was to avoid the humiliation of an American defeat.

Seventy percent of those boys just to avoid being humiliated? That stuck with me."

"Ada yang bilang ini alasan mengapa kita tetap berperang (untuk Vietnam) meskipun kita sudah tahu kalau kita akan tetap kalah.

Sepuluh persen tentara beneran mengorbankan hidup untuk membantu Vietnam Selatan. Dua puluh persen tentara lain untuk menahan komunis. Sementara tujuh puluh persen sisanya cuma sekedar untuk menghindari penghinaan atas kekalahan Amerika.

Tujuh puluh persen dari anak-anak itu berperang hanya biar Amerika gak malu? Itu beneran nggaggu pikiranku."

***

Film ini disutradarai oleh Stephen Spielberg. Dibintangi oleh artis senior Tom Hanks dan Meryl Streep. Artis papan atas langganan Oscar. Jadi, film ini dalam keseriusan penggarapan bagi saya adalah jaminan mutu. Sangat realistis. Seperti khas film-film Spielberg lain, setahu saya. Itu penilaian saya.

Kadang saya nonton film karena ingin melihat dunia. Saya ingin tahu jika hidup di zaman dulu seperti apa. Hidup di era perang dunia rasanya gimana. Bagaimana suasana jika jadi generasi tahun enam puluhan. Apakah enak hidup di luar negeri?

Karena saya gak pernah kemana-mana, saya butuh penggambaran yang realistis. Setidaknya nonton film bisa membuat saya lebih bersyukur, hidup sederhana di desa terpencil seperti ini. Di zaman damai sejahtera seperti sekarang, dimana gak ada peperangan.

Nonton film ini, saya membayangkan gimana rasanya andaikan jadi wartawan di The Washington Post tahun enam puluhan. Hehehe. Gak salah kan?

Tentu selera orang berbeda-beda. Sebab ada juga orang yang lebih suka melihat film dengan penuh adegan yang didramatisir. Karena memang lebih menghibur. Gak salah kok. Sebab itu kembali kepada selera masing-masing. Film itu kan memang sebenarnya dibuat sebagai hiburan.

Saya gak coba memberikan review. Ini cuma kesan pribadi saat nonton film ini.

Untuk paham alur ceritanya, silahkan baca tulisan mas Rully Pratama berikut:

https://id.quora.com/Film-dengan-tema-jurnalistik-kewartawanan-apa-yang-menarik-untuk-diketahui/answer/Rully-Pratama?ch=10&share=1721476c&srid=unD7GU

***

Siapa tak kenal nama The Washington Post dan New York Times? Iya, film ini menceritakan tentang sedikit kisah masa lalu dua nama besar media massa itu. Saya tertarik karena dua nama itu dihuni banyak jurnalis senior. Orang-orang yang profesional. Kita bisa banyak belajar dari kisah dua surat kabar raksasa itu.

Ini adalah film biografi yang bersetting waktu antara tahun enam puluhan. Saat itu Amerika sedang terlibat dalam perang Vietnam. Perang yang sungguh berlarut-larut. Saya gak ingin cerita sejarahnya. Terlalu panjang.

Intinya, Amerika serikat sebenarnya gak mungkin memenangkan perang yang melelahkan tersebut. Tapi pemerintah terlalu memaksakan diri. Pemerintah tidak jujur kepada masyarakat tentang keadaan perang yang sesungguhnya. Mungkin malu, negara yang memenangkan perang dunia kedua, harus kalah saat perang di negeri seperti Vietnam?

Jadi, disinilah menurut saya peran dunia jurnalistik profesional. Hadir untuk membuka mata masyarakat akan kejadian sesungguhnya yang ditutup-tutupi pemerintah. Meskipun itu artinya harus "berperang" dengan pemerintah.

Negara memiliki protokol keamanan sendiri untuk melindungi arsip dan data yang bersifat sensitif. Dan peristiwa terkait perang Vietnam menyangkut hal yang sangat penting bagi reputasi Amerika.

Menjadi masalah saat ada media yang membocorkan data itu ke masyarakat. Tapi bukankah masyarakat harus tahu kenyataan apa yang sebenarnya?

Disitulah ada orang yang naluri jurnalistik investigasinya tergerak. Melacak kebenaran. Dan berani mempertaruhkan nyawa, demi meluruskan kenyataan. Risiko apapun ditempuh. Dan saya gak berpikir kalau mereka bekerja sekedar untuk uang atau popularitas. Mereka mungkin bekerja karena naluri. Mereka menunaikan tugasnya sebagai abdi masyarakat.

Menurut saya film ini menghentak kesadaran kita. Membuka mata akan dunia jurnalistik yang seharusnya. Bagaimana wartawan menyampaikan berita. Bagaimana sedikit banyak kerja dapur mereka.

Luar biasa The Washington Post. Wartawan mereka berbakat. Itu kata saya. Deadline semepet itu, berhasil mereka selesaikan juga.

Kita bisa melihat bagaimana The Washington Post bersaing dengan New York Times. Sebagai rival, tentunya ada intrik bisnis juga. Biasa toh, yang namanya sisi lain kompetisi pasar. Pasti banyak hal menarik.

Tapi The Washington Post benar-benar nekat. Tetap menjalankan naluri jurnalistik mereka. Meskipun nyata-nyata New York Times berada dalam bahaya karena menyinggung rahasia perang Vietnam. The Washington Post tetap mengikuti jejak New York Times.

Orang-orang seperti inilah yang sepatutnya mungkin ditiru oleh banyak media di Indonesia.

Saya seperti bisa ikut merasakan kegundahan dan dilema yang dirasakan Kay Graham, pemilik The Washington Post. Entah bagaimana harus bersikap menuruti insting jurnalistik bawahannya seperti Ben Bradlee. Sebab Kay Graham punya pertimbangan lain juga agar The Washington Post tidak sampai dicekal pemerintah. Ia juga punya tanggung jawab atas nasib para karyawan kalau sampai The Washington Post dibreidel.

Tapi Kay Graham tetap pada pendiriannya. Meskipun itu berarti juga siap merisikokan diri untuk masuk penjara. Dan menutup perusahaan miliknya.

Tugas surat kabar bukan semata cari uang. Tapi adalah mengedukasi dan menyampaikan kebenaran. Apapun risikonya.

Lagi pula ini juga terkait tanggung jawab nyawa. Kasihan jika tentara Amerika di Vietnam tetap dipaksa untuk berperang meskipun sudah tahu akan kalah. Hanya agar negara mereka tidak malu. The Washington Post, sedang berusaha "menghentikan perang" dengan caranya sendiri.

"Pers adalah untuk melayani yang diperintah  (masyarakat). Bukan melayani pemerintah." Kalimat itu berkesan sekali untuk saya.

Kalimat ini juga bagus,

"You know what my husband said about the news? He called it the first rough draft of history." - Kay Graham.

"Kau tahu apa yang suamiku bilang tentang berita? Konsep mentah pertama dalam sejarah."

Saya ingat kasus skandal 1MDB. Juga tentang bagaimana wartawan membuka mata masyarakat akan keadaan sesungguhnya.

Sayangnya gak semua media seberani New York Times, dan The Washington Post dalam kasus rahasia perang Vietnam. Atau Serawak Report dalam kasus 1MDB.

Ada media yang takut berbicara jujur. Ada juga yang memiliki pandangan subjektif. Kalau di Indonesia, dulu ada majalah Tempo. Yang berani bersuara lantang. Meskipun juga berarti melawan Soeharto. Kita tahu, akhirnya majalah Tempo pernah dicekal pemerintah.

Saya gak tahu apa kabar jurnalistik Indonesia hari ini. Saya bukan orang jurnalistik. Saya gak berhak memberikan penilaian apapun.

Di dunia ini, banyak kok wartawan yang objektif. Banyak yang profesional. Jadi, kembali kepada diri masing-masing. Kita sebagai pembaca hanya bisa berharap apa yang terbaik untuk mereka.

Apa yang disampaikan wartawan tentang kebenaran adalah nyata. Iya, itulah yang terjadi. Apa yang anda baca. Tapi mungkin anda gak akan mendapatkan kenyataan utuh. Sebab gak semua hal disampaikan kepada publik.

Ada yang diekspos, dan ada yang sengaja ditutup-tutupi. Dan menurut saya, kita sebagai masyarakat gak mungkin mendapatkan kenyataan secara utuh jika hanya mengandalkan bacaan berita.

Media masa harusnya selalu bersikap netral. Tidak memihak. Tidak sekedar memburu popularitas. Tapi benar-benar niat menyampaikan kebenaran. Tidak memburu berita yang memancing kontroversi. Tidak memelintir kata-kata.

Sebab mereka juga punya tanggung jawab akhirat. Apa yang disampaikan, jika menimbulkan salah paham dan salah persepsi, akan gak baik juga. Apalagi jika yang ditampilkan adalah fakta yang salah.

Gak gampang hidup di dunia jurnalistik. Karena mempertimbangkan banyak hal. Siapa sasaran pembaca, apakah ada imbas negatif dari berita yang dimuat, persaingan yang ketat dengan surat kabar lain, dan banyak intrik lain yang hanya diketahui oleh mereka yang memang hidup di dunia jurnalistik.

Apalagi sekarang sudah masuk era industri 4.0 dan banyak media cetak yang gagal bersaing. Banyak yang tutup seperti Newsweek, Glamour, The Forward, bahkan The Independent.

Kalau di Indonesia, seperti Jakarta Globe, koran Tempo minggu, dan yang paling menghentak saya adalah Tabloid Soccer dan harian Bola. Padahal saya dulu suka membaca karikatur si Gundul di harian Bola. 

Kabar lain yang juga saya sayangkan adalah tidak berjalannya lagi Majalah Misykat Lirboyo. Majalah pondok pesantren saya. Terkikis oleh kecanggihan teknologi informasi.

Sekarang ini, media cetak tantangannya berat luar biasa. Kalau gak pandai berinovasi, mungkin harus siap-siap gulung tikar.

***

Dalam mencari referensi bacaan di internet, saya pribadi lebih percaya dengan bacaan bukan dari media online. Lebih baik merujuk ke beberapa platform seperti Kompasiana, Medium, atau forum diskusi. Yang bisa dilacak siapa penulisnya. Meskipun sebenarnya media online juga bisa dilacak, tapi kurang memuaskan bagi saya pribadi.

Bagi saya lebih jelas. Kalau di platform umum, lebih bisa dilacak riwayat penulisnya. Yang nulis siapa, kredibilitasnya bagaimana. Apakah membidangi dalam bidang tersebut atau tidak. Jika selalu merujuk pada media online, meskipun menyandang nama besar, tapi kita gak tahu riwayat penulisnya dengan detil.

Bukannya suudhon, takut saja kalau ada yang nulis diluar kompetisi dan bidangnya. Misalnya basis dan kompetensi di bidang berita investigasi, kok tumben nulis artikel agama, yang saya takutkan nanti isinya akan lebih banyak salah daripada benarnya.

Ibarat saya yang gak punya basic bisnis, basis saya pendidikan pesantren, kok tiba-tiba saya nulis atau bicara tentang konsep saham dan pasar modal. Paling juga dalam tulisan saya akan lebih banyak salahnya daripada benarnya.

Wallahu a'lam.

10 Mei 2020 M. 11 Mei 2020 M.

***

Terimakasih untuk tulisan dibawah ini:

https://id.quora.com/Bagaimana-nasib-koran-di-era-Revolusi-Industri-4-0/answer/Muhammad-Hadi-4?ch=10&share=603ffd01&srid=unD7GU

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun