Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan beberapa hal:
- Madzhab adalah suatu jalan pemikiran yang ditempuh oleh para mujtahid karena adanya perbedaan pendapat antar mereka
- Umat Islam tidak terikat pada madzhab tertentu saja. Mereka memiliki kebebasan penuh dalam memilih madzhab yang dinilai cocok
- Madzhab-madzhab yang berhak diikuti terbatas hanya pada 4 madzhab, yaitu Hanafi, Maliki,Syafi'i dan Hambali
- Umat Islam harus mengembangkan cara bermadzhab yang dapat menjamin kemaslahatan masyarakat terutama dalam masalah sosial
C. Â Â TAQLID
Taqlid adalah mengikuti pendapat seseorang dengan tanpa bisa membuktikan  benar-salahnya pendapat itu, meskipun mengetahui sepenuhnya bahwa bertaklid padanya boleh.[12]
Hukum Taqlid adalah haram bagi mujtahid dan wajib bagi selain mujtahid. As Suyuthi mengatakan, "Manusia itu ada yang mujtahid dan ada yang tidak. Yang tidak mujtahid wajib baginya bertaqlid, baik dia orang awam maupun orang alim/pandai. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT
[13]
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui"
Jadi kewajiban bertaqlid tidak hanya berlaku bagi orang awam saja, tetapi juga bagi orang alim yang mengetahui dalil, selama dia belum mencapai tingkat mujtahid, karena kemampuannya masih sebatas mengetahui dalil dan tidak sampai mengaplikasikan metodologi dan segala sesuatu yang berhubungan dengan penggalian hukum. Jadi orang alimpun selama belum mencapai tingkat berijtihad sama saja dengan orang awam dalam kewajiban bertaqlid.[14]
Jadi, tidak semua taqlid itu tercela. Yang tercela hanyalah taqlid buta dimana seseorang menerima pendapat begitu saja tanpa memahami dan berusaha mengetahui dalilnya. Â Sedangkan mengenai taqlidnya orang alim yang belum mencapai tingkat ijtihad, maka hal itu adalah terpuji, bahkan wajib. Dan itu lebih baik daripada terus berijtihad padahal dirinya sendiri tidak mampu.
Taqlid adalah hal pasti dan tak terhindarkan dilakukan  oleh setiap umat Islam, setidaknya ketika mulai mengamalkan ajaran-ajaran Islam, misalnya meletakkan kedua tangan di dada pada waktu shalat dan mengangkat kedua tangan ketika Takbiratul Ihram. Dia tetap melakukan hal itu meskipun belum mengetahui benar-salah dalil yang mendasarinya. Lalu ketika dia  mengetahui argumentasi dan dalil pada waktu kemudian maka saat itu berarti dia telah keluar dari lingkaran taqlid buta. Meskipun demikian tetap saja dia seorang yang bertaqlid karena masih belum mengetahui dalil secara rinci, paling tidak bagaimana cara menggali hukum. Masih saja dia mengikuti metode dari seorang imam mujtahid.
Pada kenyataannya bertaqlid banyak terjadi dalam berbagai bidang kehidupan. Misalnya ketika seorang dokter menuliskan resep bagi pasien, maka selanjutnya pasien itu merujuk ke apotek, bukannya meracik sendiri obat-obatan itu. Cukup baginya membeli produk dari suatu pabrik obat yang ia anggap terjamin. Demikian juga guru mata pelajaran Geografi ketika menjelaskan kepada murid-muridnya bahwa bumi itu bulat. Dia hanya mengikuti pandangan Galileo Galilei dan Thomas Copernicus, bukannya mengkaji dan menelitinya sendiri secara langsung.
Mungkin muncul pertanyaan, bagaimana dengan pernyataan Imam Abu Dawud yang meriwayatkan ucapan Imam Ahmad bin Hambal, "Janganlah engkau bertaqlid kepadaku, juga kepada Malik, Asy Syafi'i, Al Auza'i maupun Ats Tsauri. Ambillah dari mana mereka mengambil."[15]