Oleh : Ust. Umar Faruq Al Hafidz
A. IJTIHAD
Ijtihad telah dilakukan pada masa Rasululah SAW. Beliau pernah mengutus Mu'adz bin Jabal berangkat ke Yaman untuk mendakwahkan Islam. Saat itu -dengan maksud menguji- beliau bertanya kepada Mu'adz tentang bagaimana kelak dia menggali hukum untuk disampaikan kepada umat.
- - : Â Â . : . : Â Â . : - -. : Â Â . : . : : Â [1]
Diriwayatkan dari Mu'adz bin Jabal bahwa ketika Rasulullah SAW mengutusnya ke Yaman beliau bertanya, "Apabila muncul suatu perkara, bagaimana engkau memutuskan hukumnya?" Mu'adz menjawab, "Aku putuskan dengan berdasarkan Kitab Allah". Beliau bertanya, "Bagaimana jika engkau tidak mendapatkannya dari Kitab Allah?" Mu'adz menjawab, "Maka aku putuskan berdasarkan Sunnah Rasulullah." Beliau bertanya lagi, "Bagaimana jika engkau tidak mendapatkan keputusannya dalam Sunnah Rasulullah?" Mu'adz menjawab, "Aku berijtihad dengan menggunakan pendapatku dan aku tidak akan mundur." Mendengar itu Rasulullah menepuk dada Mua'dz seraya berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rusulullah sehingga membuat ridha Rasulullah."
Hadits ini menunjukkan disyariatkannya bahkan disunnatkannya berijtihad. Ada banyak ayat Al Qur'an dan hadits yang menunjukkan pentingnya ijtihad.
Baca juga: Perkembangan dan Revolusi Ijtihad Hakim dalam Yurisprudensi Hukum Keluarga Islam Indonesia
Ijtihad juga dipandang sebagai suatu tindakan terpuji, apapun hasilnya. Hal ini ditegaskan dalam  hadits :
[2]
Dari Amr bin Al Ash, bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Apabila saat hakim memutuskan hukum dia berijtihad, kemudian hasilnya benar, maka dia mendapat pahala dua. Dan apabila hasilnya salah maka dia mendapat pahala satu."
Hadits ini secara jelas menyatakan bahwa hasil ijtihad mempunyai dua kemungkinan, yaitu benar dan salah. Dan keduanya sama-sama  mendapatkan pahala dari Allah.
Selanjutnya perbedaan yang muncul dari ijtihad para mujtahidin adalah merupakan suatu rahmat dan bukan sebagai sebab munculnya pertentangan dan perpecahan umat Islam.
KH Saifuddin Zuhri menjelaskan bahwa hadits di atas menggunakan kata 'Hakim', yang artinya orang yang mengerti hukum, dan bukan menggunakan kata 'Rajul' yang artinya orang secara umum. Ini artinya adalah bahwa yang berhak melakukan ijtihad adalah orang yang mengerti hukum.[3]
Amat disayangkan apabila ada seseorang memahami Al Qur'an dan hadits dari terjemahan -karena tidak menguasai bahasa Arab dan ilmu pendukung lainnya dengan baik- kemudian mengklaim mampu melakukan ijtihad. Padahal sebenarnya dia  hanya melakukan taqlid buta terhadap penerjemah buku-buku yang dipedomaninya itu lantaran dia sendiri tidak mampu mengkritisi dan menilai benar-salahnya hasil terjemahan tersebut.
Pengertian ijtihad yang kami maksud di sini tidak lain adalah proses penggalian hukum syariat dari dalil-dalilnya yang rinci dalam Al Qur'an, hadits, Ijma', Qiyas dan dalil lainnya. Â Imam As Suyuthi menyatakan, "Ijtihad adalah mengerahkan kemampuan untuk menghasilkan hukum.[4]
Oleh karena itu tidak semua orang mampu melakukan ijtihad, karena harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
- Mempunyai kemampuan menggali hukum dari Al Qur'an, yaitu memahami ayat-ayat terkait hukum, diantaranya mengetahui sebab turunnya ayat (Asbabun Nuzul), Nasikh-Mansukh, Am-Khash, Mujmal-Mubayyan, Muhkan-Mutasyabih dan lain sebagainya.
- Mengetahui secara mendalam hadits-hadits, terutama yang berkaitan dengan hukum, latar belakang munculnya hadits (Sababul Wurud) dan pengetahuan tentang para perawi (Ilmu Rijal)
- Mengetahui mana hukum yang telah menjadi Ijma' dan mana yang diperselisihkan oleh para ulama
- Menguasai Qiyas dan mampu menerapkannya secara benar dalam menelurkan hukum
- Menguasai bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya secara detail, seperti Nahwu, Sharaf, Balaghah dan lain sebagainya, disamping kaiah-kaidah Ushul Fiqh
- Memahami tujuan dasar syari'at Islam secara hakiki
- Menguasai metodologi yang representative dalam menggali hukum
- Memiliki ketulusan hati dan akidah yang lurus dengan tidak berambisi mencari popularitas, kedudukan maupun materi dunia. Niatnya semata-mata demi Allah SWT dan mencari solusi hukum bagi kemaslahatan umat manusia.
- Melihat persyaratan-persyaratan di atas tentu sulit menemukan orang yang memenuhi seluruhnya. Masing-masing orang tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Ada yang hanya memenuhi sebagian, dan ada yang memenuhi lebih lengkap. Oleh karena itu para mujtahid terbagi dalam beberapa tingkatan sebagai berikut:
Mujtahid Mutlaq atau Mustaqil (Mandiri) yaitu ulama yang melakukan ijtihad dan merumuskan sendiri kaidah-kaidah penggalian hukumnya. Termasuk dalam tingkatan ini adalah  keempat Imam Madzhab, yaitu Abu Hanifah (80-150 H), Malik bin Anas (93-179 H), Imam Syafi'i (150-2104 H) dan Ahmad bin Hambal (164-241 H).
Mujtahid Muntasib (bernisbat pada Mujtahid Mutlaq), yaitu ulama yang mengikuti metode imam panutannya dalam menggali hukum berbagai bidang. Misalnya adalah Al Muzaniy dan Al Buwaithiy di lingkungan madzhab Syafi'i dan Muhammad bin Al Hasan dan Abu Yusuf di lingkungan madzhab Hanafi. Mereka juga disebut sebagai Mujtahid Mutlaq (Tidak Mandiri).
Mujtahid Muqayyad (Terbatas), yaitu para ulama yang menggali hukum pada kasus-kasus yang belum diuraikan oleh imam panutannya. Misalnya adalah Al Karkhiy, As Sarkhasiy, Al Bazdawiy, Abu Ishaq Asy Syiraziy dan lain sebagainya.
Mujtahid Madzhab atau Fatwa, yaitu ulama yang menerapkan metode penggalian hukum imam panutannya dan hanya memilah-milah mana yang Shahih dan mana yang Dha'if dari pendapat imam panutannya itu. Misalnya adalah Al Ghazali dan Al Juwainiy di lingkungan madzhab Syafi'i.
Mujtahid Murajjih, yaitu ulama yang memilah-milah pendapat-pendapat suatu madzhab dengan mengambil mana yang paling unggul dan sesuai dengan tuntutan kemashlahatan umat. Misalnya adalah Ar Rafi'i dan An Nawawi di lingkungan madzhab Syafi'i.[5]
Permasalahan lain adalah bahwa ada sementara orang yang berpendapat bahwa saat ini pintu ijtihad telah tertutup. Menanggapi pendapat itu kita perlu merujuk kembali bahwa ijtihad adalah proses penggalian hukum dari Al Qur'an, Hadits dan dalil lainnya. Karena itu tentu pintu ijtihad masih terus terbuka. Apalagi perkembangan jaman demikian pesat, sehingga para mujtahid membutuhkan ilmu-ilmu pendamping lainnya dalam memecahkan problematika kontemporer, hingga kita yakin bahwa pada setiap jaman terdapat seorang mujtahid yang mampu berijtihad memecahkan problematika hukum umat. Suatu jaman tidak pernah kosong dari adanya mujtahid, kecuali jika Kiamat telah tiba.[6]
B. Â Â MADZHAB
Dari segi bahasa Madzhab artinya adalah jalan. Sedangkan menurut istilah, madzhab adalah sekumpulan hukum permasalahan furu'iyah (cabang) yang ditetapkan dan dipilih oleh imam Madzhab dan berbeda dengan imam lainnya.[7]
Berdasarkan pengertian di atas, madzhab tidak terbentukdari hukum-hukum pasti (qath'iy) yang telah disepakati para ulama, misalnya wajibnya shalat 5 waktu, keharaman berzina dan lain sebagainya. Madzhab muncul dan terbentuk dari kasus-kasus dimana mengenainya para ulama berbeda pendapat, lalu dijadikan pegangan para pengikut masing-masing. Jadi, madzhab adalah hasil kajian komprehensif yang dilakukan oleh para ulama untuk mengetahui hukum Tuhan dalam Al Qur'an, hadits dan dalil lainnya.
Semula madzhab yang boleh diikuti tidak hanya terbatas pada empat madzhab saja. Beberapa ulama juga memiliki madzhab, misalnya Sufyan Ats Tsauri, Sufyan bin 'Uyainah, Ishaq bin Rahawaih, Dawud Adz Dzahiri dan Al Auza'i.[8] Lalu mengapa madzhab-madzhab yang diamalkan oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah terbatas hanya pada madzhab empat saja?
Sebenarnya hal itu lebih disebabkan oleh peranan murid-murid yang membukukan dengan baik madzhab yang ditetapkan oleh imam mereka, hingga faliditas dan ke-mutawatiran-nya terjamin. Disamping itu, kesahihan madzhab juga dinilai dari sisi metode pengalian hukumnya, apakah dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah ataukah tidak.
Imam Sayyid Alawi As Saqqaf menjelaskan bahwa murid-murid Imam Syafi'i menegaskan bahwa tidak boleh hukumnya bertaklid kepada selain 4 imam. Alasan mereka, karena tidak ada jaminan bahwa suatu pendapat memang benar-benar merupakan pendapat imam yang bersangkutan, akibat tiadanya sanad yang menjamin terhindarnya penyimpangan dan pemalsuan. Berbeda halnya dengan 4 madzhab tersebut, dimana para imamnya mengerahkan tenaga dalam menerbitkan pendapat dan  benar  atau tidaknya pendapat itu darinya. Karena itu para pengikutnya merasa aman dari adanya penyimpangan dan pemalsuan serta mengetahui mana pendapat yang Shahih dan mana yang Dha'if.[9]
Watu terus berjalan dan probematika kehidupan berkembang dengan pesat, hingga para ulama pesantren secara terus-menerus melakukan usaha-usaha mengembangkan cara bermadzhab. Perubahanpun menjadi hal yang tak terhindarkan agar fiqh dapat terus memberikan pemecahan masalah dan kesulitan dalam masyarakat.Â
Baca juga: Ijtihad dalam Islam
Karena itu dibutuhkan pendekatan baru demi mewujudkan prinsip bahwa Islam selalu sesuai dengan perkembangan waktu dan tempat. Diantara usaha para ulama tersebut adalah menggunakan pendekatan Fiqh Sosial sebagai suatu usaha untuk mengembangkan cara bermadzhab. Dari yang semula bermadzhab secara Qouli (tekstual) kepada bermadzhab secara Manhaji (metodologis) dalam Fiqh, sebagaimana yang digagas oleh Dr. KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh.
Sesuai hasil halaqah yang diselenggarakan Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) terdapat beberapa karakteristik konkrit dalam Fiqh Sosial tersebut. Diantara karakteristik itu adalah:
- -- Â menafsirkan teks-teks fiqh secara kotekstual,
- -- meningkatkan cara bermadzab yang semula tekstual menjadi bemadzhab secara Manhaji (metodologis),
- -- melakukan pemilahan ajaran agama secara mendasar dengan membedakan mana ajaran pokok (Ushuli) dan mana ajaran cabang (Furu'i)
- -- dan mengenalkan metodologi filosofis terutama dalam permasalahan sosial-budaya.[10]
Usaha-usaha tersebut hanya terbatas untuk mengatasi masalah-masalah sosial (hablun min an Nas) dan tidak pada hubungan antara hamba dengan Tuhan (hablun min Allah), sebab  bidang yang terakhir ini menuntut totalitas ketundukan dan kepasrahan hamba. As Syathibi menyampaikan kaidah, "Bagi mukallaf, dalil pokok dalam ibadah adalah penghambaan dan tanpa mempertimbangkan maksud dan tujuan. Sedangkan dalil pokok dari  adat kebiasaan adalah mempertimbangkan maksud dan tujuan."[11]
Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan beberapa hal:
- Madzhab adalah suatu jalan pemikiran yang ditempuh oleh para mujtahid karena adanya perbedaan pendapat antar mereka
- Umat Islam tidak terikat pada madzhab tertentu saja. Mereka memiliki kebebasan penuh dalam memilih madzhab yang dinilai cocok
- Madzhab-madzhab yang berhak diikuti terbatas hanya pada 4 madzhab, yaitu Hanafi, Maliki,Syafi'i dan Hambali
- Umat Islam harus mengembangkan cara bermadzhab yang dapat menjamin kemaslahatan masyarakat terutama dalam masalah sosial
C. Â Â TAQLID
Taqlid adalah mengikuti pendapat seseorang dengan tanpa bisa membuktikan  benar-salahnya pendapat itu, meskipun mengetahui sepenuhnya bahwa bertaklid padanya boleh.[12]
Hukum Taqlid adalah haram bagi mujtahid dan wajib bagi selain mujtahid. As Suyuthi mengatakan, "Manusia itu ada yang mujtahid dan ada yang tidak. Yang tidak mujtahid wajib baginya bertaqlid, baik dia orang awam maupun orang alim/pandai. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT
[13]
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui"
Jadi kewajiban bertaqlid tidak hanya berlaku bagi orang awam saja, tetapi juga bagi orang alim yang mengetahui dalil, selama dia belum mencapai tingkat mujtahid, karena kemampuannya masih sebatas mengetahui dalil dan tidak sampai mengaplikasikan metodologi dan segala sesuatu yang berhubungan dengan penggalian hukum. Jadi orang alimpun selama belum mencapai tingkat berijtihad sama saja dengan orang awam dalam kewajiban bertaqlid.[14]
Jadi, tidak semua taqlid itu tercela. Yang tercela hanyalah taqlid buta dimana seseorang menerima pendapat begitu saja tanpa memahami dan berusaha mengetahui dalilnya. Â Sedangkan mengenai taqlidnya orang alim yang belum mencapai tingkat ijtihad, maka hal itu adalah terpuji, bahkan wajib. Dan itu lebih baik daripada terus berijtihad padahal dirinya sendiri tidak mampu.
Taqlid adalah hal pasti dan tak terhindarkan dilakukan  oleh setiap umat Islam, setidaknya ketika mulai mengamalkan ajaran-ajaran Islam, misalnya meletakkan kedua tangan di dada pada waktu shalat dan mengangkat kedua tangan ketika Takbiratul Ihram. Dia tetap melakukan hal itu meskipun belum mengetahui benar-salah dalil yang mendasarinya. Lalu ketika dia  mengetahui argumentasi dan dalil pada waktu kemudian maka saat itu berarti dia telah keluar dari lingkaran taqlid buta. Meskipun demikian tetap saja dia seorang yang bertaqlid karena masih belum mengetahui dalil secara rinci, paling tidak bagaimana cara menggali hukum. Masih saja dia mengikuti metode dari seorang imam mujtahid.
Pada kenyataannya bertaqlid banyak terjadi dalam berbagai bidang kehidupan. Misalnya ketika seorang dokter menuliskan resep bagi pasien, maka selanjutnya pasien itu merujuk ke apotek, bukannya meracik sendiri obat-obatan itu. Cukup baginya membeli produk dari suatu pabrik obat yang ia anggap terjamin. Demikian juga guru mata pelajaran Geografi ketika menjelaskan kepada murid-muridnya bahwa bumi itu bulat. Dia hanya mengikuti pandangan Galileo Galilei dan Thomas Copernicus, bukannya mengkaji dan menelitinya sendiri secara langsung.
Mungkin muncul pertanyaan, bagaimana dengan pernyataan Imam Abu Dawud yang meriwayatkan ucapan Imam Ahmad bin Hambal, "Janganlah engkau bertaqlid kepadaku, juga kepada Malik, Asy Syafi'i, Al Auza'i maupun Ats Tsauri. Ambillah dari mana mereka mengambil."[15]
Mari kita cermati sungguh-sungguh pernyataan di atas. Kepada siapakah Imam Ahmad berkata. Dia berkata kepada Imam Abu Dawud, penyusun kitab Sunan Abi Dawud yang menghimpun 5.284 hadits berikut sanadnya, bukan kepada orang awam. Maka tidak aneh jika Imam Ahmad mengatakan demikian kepada Abu Dawud, yang memiliki kemampuan berijtihad.
Mengharuskan orang awam --yang merupakan mayoritas umat Islam- untuk berijtihad sendiri-sendiri sama dengan menuntut hal di luar kemampuan mereka. Dan itu mustahil, sebab minat masing-masing mereka pada satu bidang ilmu berbeda satu sama lain. Sedangkan yang menekuni ilmu-ilmu agama jumlahnya relatif sedikit. Jadi bagi yang tidak berkesempatan mengkaji ilmu-ilmu agama wajib baginya bertanya dan bertaqlid kepada yang menekuninya.
Al Qur'an memerintahkan agar ada sekelompok orang dari umat Islam yang berangkat memperdalam agama dan ilmu syariat agar kelak mereka dapat memberi peringatan dan menyampaikan fatwa yang benar. Dan itu tidak ditujukan kepada semua umat Islam.
[16]
"Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya"
Bahkan sekalipun para Sahabat Rasulullah dianugerahi kecerdasan dan daya ingat yang kuat serta tabiat yang baik, hasilnya mereka berbeda-beda dalam menerima ilmu-ilmu syariat. Ada yang menjadi mujtahid dan menyampaikan fatwa dan ada yang bertaqlid. Rasulullah SAW mengutus beberapa orang Sahabat berangkat ke beberapa daerah untuk menyebarkan Islam dan menangani berbagai masalah, baik dalam bidang peibadatan, muamalah maupun masalah sosial lainnya. Merekapun kemudian menerangkan keharaman dan kehalalan suatu perkara, dan kemudian fatwa mereka itu dikuti oleh umat.
Sedangkan mengenai istilah Ittiba' ada sementara ulama yang membedakannya dengan Taqlid. Namun sebenarnya tidak ada perbedaan antara keduanya. Keduanya memiliki arti dan maksud yang sama.[17]
D. Â Â TALFIQ
Menurut bahasa Talfiq artinya melipat atau merangkap. Sedangkan menurut syari'at, Talfiq adalah melakukan suatu ibadah atau muamalah secara rangkap yaitu dengan menyomot pendapat-pendapat dari  madzhab yang berlainan sehingga muncul suatu praktik yang  keluar dari madzhab-madzhab itu.[18]
Contoh:
Seseorang melakukan wudlu dengan mengikuti madzhabSyafi'i, yaitu dengan mengusap sebagian kepala (kurang dari ), kemudian menyentuh wanita lain (ajnabiyah). Kemudian dia melaksanakan shalat dengan mengikuti madzhab Abu Hanifah yang berpendapat bahwa bersentuhan dengan wanita ajnabiyah tidak membatalkan wudlu. Maka praktek demikian disebut Talfiq, sebab dia menggabungkan pendapat Syafi'i dan pendapat Abu Hanifah dalam masalah wudlu, dimana akhirnya yang dilakukannya itu keluar dari kedua madzhab itu. Di satu sisi bersentuhan kulit dengan ajnabiyah menurut Syafi'i membatalkan wudhu dan di sisi lain menurut Abu Hanifah berwudlu tidak sah hanya dengan mengusap sebagian kepala.
Baca juga: Ijtihad Meraih Mimpi
Seseorang berwudlu dengan mengusap sebagian kepala atau dengan tanpa menggosok-gosok anggota wudlu karena mengikuti madzhab Syafi'i. kemudian dia menyentuh anjing dengan mengikuti madzhab Maliki yang berpendapat bahwa anjing adalah binatang suci. Maka shalat yang dilakukannya tidak sah dalam pandangan kedua madzhab tersebut, sebab di satu sisi menurut Maliki berwudlu tidak sah tanpa mengusap seluruh kepala serta menggosok-gosok anggota wudlu, dan di sisi lain menurut Syafi'i anjing adalah termasuk najis Mughalladhah (berat). Jadi apabila dia melaksanakan shalat maka shalatnya tidak sah dalam pandangan  madzhab-madzhab tersebut.
Talfiq sebagaimana kami sebutkan haram dilakukan. Dan tujuan pelarangan ini adalah agar seseorang tidak mencari yang serba mudah dan mempermainkan hukum.
Demi menghindarkan talfiq yang terlarang itu dalam mencari solusi hukum perlu dilakukan pemilihan hukum-hukum dari madzhab tertentu dari keempat madzhab, dimana madzhab tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi keindonesiaan. Misalnya dengan memilih madzhab Syafi'i dalam bidang shalat --mulai dari syarat, rukun hingga yang membatalkan- dan memilih madzhab Abu Hanifah dalam masalah-masalah sosial kemayarakatan. Dengan demikian --disamping Talfiq  dapat dihindarkan-  hukum-hukum yang telah dirumuskan para ulama madzhab itu dapat diterapkan dan tidak hanya tertulis dalam lembar-lembar kitab saja.
[1] Ad Darimi, nomor 168
[2] Musnad Ahmad bin Hambal, nomor 17148
[3] Sejarah dan Perkembangan Syari'at Islam di Indonesia, hal. 162
[4] Al Kaukab as Sathi' fi Nadzm Jam' al Jawami', juz 2, hal. 479
[5] Ushul Fiqh, karya Abu Zahrah, hal. 30 dan Al Fiqh al Islamiy wa Adillatuh, juz 1 ha. 47-48
[6] Majmu'ah Sab'ah Kutub Mufidah, hal 67
[7] Al Idza'ah al Muhimmah fi Bayan Madzhab Ahl as Sunnah wa al Jama'ah, hal. 18
[8] Majmu'ah Sab'ah Kutub Mufidah, hal. 59
[9] Majmu'ah Sab'ah Kutub Mufidah, hal 59
[10] Dr. KH MA Sahal Mahfudh, dalam Duta Masyarakat, edisi 18 Juni 2003.
[11] Al Muwafaqat fi Ushul al Ahkam, juz 2, hal. 300.
[12] Al Lamadzhabiyah Akhthar Bid'ah Tuhaddid Asy Syari'ah Al Islamiyah, hal. 69
[13] Al Kaukab as Sathi' fi Nadzm Jam' al Jawami', juz 2 hal. 492
[14] Mathlab al Iqadh fi Al Kalam 'Ala Syai' min Gharar Al Alfadh, hal. 87
[15] Al Qaul al Mufid, karya Imam Muhammad bin Ali Asy Syaukani, hal. 61
[16] QS At Taubah; 122
[17] Al Lamadzhabiyah Akhthar Bid'ah Tuhaddid Asy Syari'ah Al Islamiyah, hal. 69
[18] Khulasah At Tahqiq, hal. 18 dan Tanwir al Qulub, hal. 397
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H