Mohon tunggu...
Kamil Mohammed
Kamil Mohammed Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Seorang Conten Creator dalam dunia Dakwah bil Hikmah

Menambah catatat kanan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ijtihad, Madzhab, Taqlid dan Talfiq

24 April 2019   00:33 Diperbarui: 30 Juni 2021   05:17 14995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

B.     MADZHAB

Dari segi bahasa Madzhab artinya adalah jalan. Sedangkan menurut istilah, madzhab adalah sekumpulan hukum permasalahan furu'iyah (cabang) yang ditetapkan dan dipilih oleh imam Madzhab dan berbeda dengan imam lainnya.[7]

Berdasarkan pengertian di atas, madzhab tidak terbentukdari hukum-hukum pasti (qath'iy) yang telah disepakati para ulama, misalnya wajibnya shalat 5 waktu, keharaman berzina dan lain sebagainya. Madzhab muncul dan terbentuk dari kasus-kasus dimana mengenainya para ulama berbeda pendapat, lalu dijadikan pegangan para pengikut masing-masing. Jadi, madzhab adalah hasil kajian komprehensif yang dilakukan oleh para ulama untuk mengetahui hukum Tuhan dalam Al Qur'an, hadits dan dalil lainnya.

Semula madzhab yang boleh diikuti tidak hanya terbatas pada empat madzhab saja. Beberapa ulama juga memiliki madzhab, misalnya Sufyan Ats Tsauri, Sufyan bin 'Uyainah, Ishaq bin Rahawaih, Dawud Adz Dzahiri dan Al Auza'i.[8] Lalu mengapa madzhab-madzhab yang diamalkan oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah terbatas hanya pada madzhab empat saja?

Sebenarnya hal itu lebih disebabkan oleh peranan murid-murid yang membukukan dengan baik madzhab yang ditetapkan oleh imam mereka, hingga faliditas dan ke-mutawatiran-nya terjamin. Disamping itu, kesahihan madzhab juga dinilai dari sisi metode pengalian hukumnya, apakah dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah ataukah tidak.

Imam Sayyid Alawi As Saqqaf menjelaskan bahwa murid-murid Imam Syafi'i menegaskan bahwa tidak boleh hukumnya bertaklid kepada selain 4 imam. Alasan mereka, karena tidak ada jaminan bahwa suatu pendapat memang benar-benar merupakan pendapat imam yang bersangkutan, akibat tiadanya sanad yang menjamin terhindarnya penyimpangan dan pemalsuan. Berbeda halnya dengan 4 madzhab tersebut, dimana para imamnya mengerahkan tenaga dalam menerbitkan pendapat dan  benar  atau tidaknya pendapat itu darinya. Karena itu para pengikutnya merasa aman dari adanya penyimpangan dan pemalsuan serta mengetahui mana pendapat yang Shahih dan mana yang Dha'if.[9]

Watu terus berjalan dan probematika kehidupan berkembang dengan pesat, hingga para ulama pesantren secara terus-menerus melakukan usaha-usaha mengembangkan cara bermadzhab. Perubahanpun menjadi hal yang tak terhindarkan agar fiqh dapat terus memberikan pemecahan masalah dan kesulitan dalam masyarakat. 

Baca juga: Ijtihad dalam Islam

Karena itu dibutuhkan pendekatan baru demi mewujudkan prinsip bahwa Islam selalu sesuai dengan perkembangan waktu dan tempat. Diantara usaha para ulama tersebut adalah menggunakan pendekatan Fiqh Sosial sebagai suatu usaha untuk mengembangkan cara bermadzhab. Dari yang semula bermadzhab secara Qouli (tekstual) kepada bermadzhab secara Manhaji (metodologis) dalam Fiqh, sebagaimana yang digagas oleh Dr. KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh.

Sesuai hasil halaqah yang diselenggarakan Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) terdapat beberapa karakteristik konkrit dalam Fiqh Sosial tersebut. Diantara karakteristik itu adalah:

  • --  menafsirkan teks-teks fiqh secara kotekstual,
  • -- meningkatkan cara bermadzab yang semula tekstual menjadi bemadzhab secara Manhaji (metodologis),
  • -- melakukan pemilahan ajaran agama secara mendasar dengan membedakan mana ajaran pokok (Ushuli) dan mana ajaran cabang (Furu'i)
  • -- dan mengenalkan metodologi filosofis terutama dalam permasalahan sosial-budaya.[10]

Usaha-usaha tersebut hanya terbatas untuk mengatasi masalah-masalah sosial (hablun min an Nas) dan tidak pada hubungan antara hamba dengan Tuhan (hablun min Allah), sebab  bidang yang terakhir ini menuntut totalitas ketundukan dan kepasrahan hamba. As Syathibi menyampaikan kaidah, "Bagi mukallaf, dalil pokok dalam ibadah adalah penghambaan dan tanpa mempertimbangkan maksud dan tujuan. Sedangkan dalil pokok dari  adat kebiasaan adalah mempertimbangkan maksud dan tujuan."[11]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun