Selaras dengan semangat otonomi daerah, pengelolaan pendidikan inklusif didasarkan atas Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Penyelenggaraan pendidikan inklusif di tingkat daerah juga telah memiliki payung hukum tingkat daerah. Sebagai ibukota Indonesia dan memiliki otonomi, Daerah Khusus Ibukota Jakarta memiliki aturan penyelenggaraan pendidikan inklusif lewat Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi.[13]
Sampai saat ini, Provinsi DKI Jakarta telah memiliki 164 Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dari mulai tingkat TK, SD, SMP, dan SMA/SMK. Secara terperinci jumlah tersebut terdiri dari TK sebanyak 3, SD sebanyak 120, SMP sebanyak 31, dan SMA/SMK sebanyak 10.[14] Jumlah ini bukanlah jumlah yang sesuai dengan aturan dalam Pergub Nomor 116 Tahun 2007. Dalam pasal 4 disebutkan bahwa setiap kecamatan sekurang-kurangnya memiliki 3 (tiga) TK/RA, SD/MI dan 1 (satu) SMP/MTs yang menyelenggarakan pendidikan inklusi. Setiap kotamadya sekurang-kurangnya memiliki 3 (tiga) SMA/SMK atau MA/MAK yang menyelenggarakan pendidikan inklusi.
Provinsi DKI Jakarta memiliki 5 kotamadya dan 1 kabupaten dengan 44 kecamatan. Dengan 5 kotamadya dan kabupaten serta kecamatan sebanyak itu, seharusnya jumlah sekolah penyelenggara pendidikan inklusi, sesuai dengan Pergub Nomor 116 Tahun 2007, di tingkat TK/RA dan SD/MI adalah sebanyak 132 sekolah, jumlah SMP/MTs sebanyak 44 sekolah, dan jumlah SMA/SMK dan MA/MAK sebanyak 15 Sekolah.
Tidak semua kecamatan memiliki TK penyelenggara program pendidikan inklusif. Jumlah TK yang ditunjuk Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta hanya berjumlah 3 TK yang terdapat di Kecamatan Pesanggrahan dan Kecamatan Cilandak. Kedua Kecamatan tersebut terdapat di Kotamadya Jakarta Selatan. Satu TK lagi terdapat di Kecamatan Duren Sawit Kotamadya Jakarta Timur.
Jumlah SD penyelenggara program pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta sebanyak 120 sekolah. Jumlah tersebut tersebar di 41 Kecamatan dari jumlah total 44 Kecamatan yang terdapat di Provinsi DKI Jakarta. 3 Kecamatan yang tidak memiliki SD yaitu Kecamatan Tebet Kotamadya Jakarta Selatan, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara Kabupaten Kepulauan Seribu, dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan.
Di tingkat SMP, sebaran sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif hampir merata di setiap Kecamatan karena tidak setiap Kecamatan memiliki sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif di tingkat SMP. Di Kotamadya Jakarta Pusat yang memiliki 8 Kecamatan, terdapat 5 SMP penyelenggara program pendidikan inklusif yang tersebar di 4 Kecamatan. Kotamadya Jakarta Barat yang memiliki 8 Kecamatan, terdapat 6 SMP penyelenggara program pendidikan inklusif yang tersebar di 4 Kecamatan. Kotamadya Jakarta Selatan yang memiliki 10 Kecamatan, terdapat 6 SMP penyelenggara program pendidikan inklusif yang tersebar di 6 Kecamatan. Di Kotamadya Jakarta Timur, SMP penyelenggara program pendidikan inklusif berjumlah 7 sekolah yang tersebar di 6 Kecamatan dari 10 Kecamatan yang terdapat di Kotamadya Jakarta Timur. Adapun di Kotamadya Jakarta Utara yang memiliki 6 Kecamatan terdapat 6 SMP penyelenggara program pendidikan inklusif yang tersebar di 5 Kecamatan.
Dengan demikian, 120 SMP penyelenggara program pendidikan inklusif tersebut tersebar di 25 Kecamatan dari total 44 Kecamatan yang terdapat di Provinsi DKI Jakarta. Sehingga terdapat 19 Kecamatan di Provinsi DKI Jakarta yang tidak memiliki SMP penyelenggara program pendidikan inklusif.
Di tingkat SMA/SMK terdapat 10 sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif. 10 SMA/SMK tersebut tersebar di 10 Kecamatan di 5 Kotamadya. Masing-masing Kotamadya memiliki 2 SMA/SMK penyelenggara program pendidikan inklusif. Dengan demikian, terdapat 34 Kecamatan yang tidak memiliki SMA/SMK penyelenggara program pendidikan inklusif.
Selain jumlah yang belum memenuhi kondisi yang seharusnya, penyelenggaraan pendidikan inklusi juga masih menemui berbagai kendala. Dalam salah satu laporan penelitian berjudul Pengkajian Pendidikan Inklusif bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, disebutkan bahwa efektifitas pendidikan inklusif masih dapat dilihat dinamikanya hanya di tingkat SD, karena di tingkat lanjutan dapat dikatakan tidak ada model pendidikan inklusif, yang ada adalah model pendidikan integrasi (ABK mengikuti semua kegiatan dan aktivitas di sekolah reguler tanpa ada bantuan dan penanganan khusus).[15]
Pemerintah sendiri mengakui bahwa sampai saat ini tidak semua sekolah umum mau menerima anak-anak dengan disabilitas. Alasan yang dikemukakan karena tidak ada guru khusus yang menangani mereka dan tidak ada fasilitas yang memadai. Kengganan untuk mengakomodasi anak penyandang disabilitas disebabkan tidak adanya kesadaran dan minimnya pemahaman tentang pendidikan inklusif. Kengganan tersebut juga lebih banyak terjadi di sekolah-sekolah di kota besar.[16]
Sebagai model pendidikan yang baru memang wajar bila masih terdapat beberapa permasalahan terkait pendidikan inklusif. Namun sangat disayangkan bila pemerintah tidak secara serius menggarap penyelenggaraan pendidikan inklusif. Pendidikan inklusi diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak penyandang disabilitas selama ini. Pemerintah menyatakan ketidakmungkinan membangun SLB di tiap Kecamatan/Desa karena akan memakan biaya yang sangat mahal dan waktu yang cukup lama. Selain itu, penyelenggaraan pendidikan inklusif juga akan membantu percepatan pencapaian target program wajib belajar 9 tahun yang telah dicanangkan pemerintah.