Mohon tunggu...
De Kalimana
De Kalimana Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kisah Perburuan hingga Eksekusi Gembong PKI, DN Aidit

30 September 2018   16:48 Diperbarui: 30 September 2018   23:02 9120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Mbah Roedito bersama istri dan cucu-cucunya|Dokumentasi pribadi

(Wawancara eksklusif dengan salah seorang anggota tim eksekutor)

Tim ini memang luar biasa.  Hanya terdiri dari 5 personel pasukan dari Brigade Infanteri (Brigif) IV Diponegoro, yang dipimpin langsung oleh Komandan Brigif, Kolonel Infanteri Yasir Hadibroto, mereka bergerak dengan sangat tertutup untuk memburu gembong PKI, DN. Aidit.

Setelah mendapat perintah langsung dari Pangkostrad, Mayjen Soeharto di kantor Markas Kostrad di Gambir, Kolonel Yasir bersama empat orang anggotanya bergerak secara rahasia dan akhirnya berhasil mengendus persembunyian DN. Aidit yang melarikan diri setelah meletusnya peristiwa G30/PKI. Mereka menemukan keberadaan DN. Aidit di sebuah rumah di desa Sambeng, Solo. Dan kemudian mengeksekusinya, setelah terlebih dahulu melakukan interogasi selama dua malam.

"Pak Yasir memang sengaja tidak melibatkan banyak orang dalam tim ini", begitu penuturan Roedito, ajudan Kolonel Yasir Hadibroto kala itu, yang kini telah berusia 78 tahun dan telah memiliki 11 cucu yang sudah pada remaja. "Sebab kalau terlalu banyak personel dikhawatirkan akan bocor pergerakannya dan misi akan gagal", lanjutnya. Seperti yang telah banyak diketahui orang, bahwa di kalangan pasukan TNI Jawa Tengah sendiri tidak sedikit yang terindikasi PKI.

Roedito mengawali kisahnya, bermula dari saat ia melaksanakan tugas Dwikora di perbatasan Sumatera Utara, dalam rangka operasi Ganyang Malaysia tahun 1965. Ketika itu ia berpangkat Prajurit Satu (Pratu) sebagai ajudan Komandan Brigif IV Diponegoro, Kolonel Yasir Hadibroto.  Roedito, yang di karir militernya terakhir berpangkat Pembantu Letnan Satu (Peltu), dengan jabatan Komandan Koramil (Danramil) di desa Gandrung Mangu Cilacap itu kini masih hidup sehat dan tinggal di sebuah rumah sederhana di Kabupaten Demak Jawa Tengah. 

Dipanggil menghadap pak Harto ke Mako Kostrad.

Baru bertugas dua tiga bulan operasi Dwikora di daerah Kisaran Sumatera Utara, meletuslah peristiwa G30S/PKI di Jakarta, sehingga seluruh pasukan Brigif IV Diponegoro yang terdiri dari 3 batalyon ditarik pulang ke home base-nya di Jawa Tengah.  Dalam perjalanan menuju Jawa Tengah, kapal yang mengangkut seluruh pasukan Brigif IV itu merapat dan singgah di Teluk Jakarta.  Rupanya Pak Yasir dipanggil menghadap Panglima Kostrad, Mayjen Soeharto ke Markas Komando di Gambir Jakarta Pusat.  

Sebagai ajudan Komandan Brigif, Pratu Roedito selalu mendampingi dan mengawal kemanapun komandannya berada, termasuk saat Kolonel Yasir Hadibroto menghadap Pangkostrad.

"Menuju markas komando Kostrad pak Yasir naik Jeep yang telah menunggunya di pelabuhan dengan seorang sopir yang berpakaian preman", begitu Rudito menuturkan.  Ketika memasuki Markas Komando Kostrad, pak Yasir melihat pak Harto sedang berada di depan pintu ruangan kerja Pangkostrad. Segera pak Yasir menghampiri untuk melapor kehadirannya dengan terlebih dahulu menyampaikan penghormatan.  Selanjutnya pak Yasir berdiri dengan sikap sempurna di hadapan pak Harto.

Pak Harto bertanya kepada pak Yasir, "Saat peristiwa Madiun tahun 48, kamu ada dimana?". "Siap jenderal. Pada saat itu kompi saya menghancurkan satu batalyon riil komunis di Kledung (Wonosobo)", jawab pak Yasir.  Kemudian pak Harto memberi penjelasan, "Nah, yang memberontak sekarang ini adalah anak-anak PKI Madiun dulu. Mereka dan pimpinannya, DN Aidit saat ini berada di Jawa Tengah".  Selanjutnya pak Harto memberi perintah, "Bawa pasukanmu ke sana. Bereskan! - Selesaikan!".

Percakapan antara Kolonel Yasir Hadibroto dan Mayor Jenderal Soeharto di Markas Kostrad Jakarta itu berlangsung sangat singkat.  Pertemuan itu terjadi di awal Oktober 1965, Roedito tidak ingat persis tanggal waktu pertemuan itu. Setelah menyampaikan penghormatan pamit, pak Yasir langsung kembali menuju Teluk Jakarta untuk melanjutkan perjalanan bersama pasukannya menuju Jawa Tengah.

Kelihatannya pak Yasir menerima tugas dari Pangkostrad itu penuh optimisme.   Jawa Tengah bukan daerah asing bagi pak Yasir. Karena di masa lalu, ia pernah jadi komandan kompi dan batalyon Banteng Raider, pasukan pemukul milik Diponegoro.

 

Memburu Aidit.

Setelah kapal mendarat di pelabuhan Tanjung Emas Semarang.  Pasukan yang terdiri dari 3 batalyon itu kembali ke home basenya masing-masing.  Batalyon E (405) kembali ke markasnya di Semarang, Batalyon F (406) ke markasnya di Klaten, dan Batalyon G (407) ke Solo.

Saat kapal mendarat di palabuhan Tanjung Emas, pasukan disambut dengan pemeriksaan dari pasukan Polisi Militer.  Mereka melakukan pemeriksaan terhadap seluruh pasukan yang baru saja mendarat.  Berdasarkan data intelijen, prajurit yang terindikasi terlibat PKI langsung di tahan. Banyak para prajurit yang ditahan saat itu, salah satu diantaranya adalah Mayor Paijo, yang saat itu menjabat sebagai komandan Batalyon Brigif IV.

Sesampainya di Markas Brigif Solo, pak Yasir langsung merencanakan operasi pencarian terhadap gembong PKI, DN Aidit.  Keberadaan Ketua Central Committee PKI itu telah hilang dari pantauan aparat intelijen.

Pada suatu malam, seseorang datang menjumpai pak Yasir di kantornya.  Ia datang membawa oret-oretan dari Jendral Nasution.  Diketahui kemudian bahwa ia adalah pengawal pribadi DN. Aidit, namanya Sri Harto.   Ia menyampaikan informasi bahwa Aidit bersembunyi di daerah Purwosari, di perbatasan antara Jogja dan Solo.  Selain itu Aidit juga mempunyai tempat persembunyian di Sambeng Solo.  Berikutnya, Sri Harto beberapa kali datang menghadap pak Yasir di malam hari.

Ketika pada suatu malam pak Yasir merencanakan penangkapan terhadap Aidit di Purwosari, Sri Hasto menyarankan supaya rencana itu ditunda. Karena ia mengetahui Aidit punya rencana mau pindah ke tempat persembunyian yang lebih aman. Aidit mau pindah ke Sambeng, yaitu di sebuah rumah yang terletak di sebelah utara stasiun Balapan Solo. 

Sri Hasto menambahkan bahwa besok pagi sekitar jam 10 rencananya ia akan membonceng DN Aidit naik vespa Top Blanc menuju ke Sambeng. "Kalau mau lihat silakan tunggu di perempatan besok",  kata Sri Hasto kepada tim pak Yasir.  Dan benar, keesokan hari sekitar jam sebelas siang Sri Hasto terlihat naik vespa membonceng seseorang yang diidentifikasi sebagai Aidit melintas di perempatan yang dimaksud menuju ke daerah Sambeng.  Hingga akhirnya anggota tim mengetahui tempat persembunyian Aidit di sebuah rumah milik anggota Serikat Buruh Kereta Api di desa Sambeng.

Rencana pun disusun oleh pak Yasir.  Penangkapan Aidit akan dilaksanakan malam hari di Sambeng. Agar Aidit tidak curiga, maka Sri Hasto bergabung bersama gembong PKI itu. "Wah kalau gitu saya ikut di tangkap dong?", sergah Sri Hasto. "Ya udah yang penting saya jangan disakiti ya", pintanya.

Penangkapan.

Tiba saatnya operasi penyergapan pada suatu malam, tim yang hanya terdiri dari 5 orang, yaitu Kolonel Yasir, Letda Ning Prayitno, Sertu Idit Sukardi, Pratu Karta Jaya, dan Pratu Roedito, plus 1 orang sopir militer  berpangkat kopral naik jeep tempur menuju persembunyian Aidit di desa Sambeng.

Pak Yasir memberi arahan, nanti sampai di depan rumah sasaran lampu mobil akan dinyalakan terang dan mesin mobil di gas keras, maka pasukan mulai mendobrak pintu. Hal itu dimaksudkan sebagai efek kejut.

Sesampainya di lokasi, 4 orang pasukan yang dipimpin oleh Letnan Ning turun dari mobil menuju rumah yang diidentifikasi sebagai tempat persembunyian DN. Aidit.  Sementara pak Yasir menunggu di mobil bersama seorang sopir bersiap memberi tanda waktu beraksi.   

Namun sesampainya di depan pintu, mungkin karena terlalu emosional sehingga tanpa menunggu tanda-tanda perintah dari pak Yasir pasukan langsung mendobrak pintu.  Setelah pintu terbuka pasukan langsung masuk, sambil berteriak "angkat tangan -- angkat tangan".

Di dalam rumah nampak ada 4 orang, yang satu diantaranya adalah Sri Hasto. Ketiga orang lainnya bersenjata.  Namun Aidit tidak tampak ada di dalam rumah itu. Keempat orang pengawal Aidit yang berada di dalam rumah itupun mengangkat tangannya.  Kemudian mereka diborgol dan dibawa ke mobil yang berada di depan rumah.  Selanjutnya Letnan Ning memerintahkan pasukan untuk mencari Aidit sampai ke kolong-kolong meja. "Masak ga ada. Ayo cari di kolong-kolong."

Ada sebuah lemari di sudut ruangan. Di bawah lemari terlihat ada sepasang kaki, berarti di belakang lemari ada orang.  Pak Ning berteriak " Siapa itu?!. Tangkap, kalau melawan tembak saja."  Orang dibalik lemari itupun keluar sambal bicara, "sabar... sabar... jangan ditembak." Ternyata dia adalah DN. Aidit, orang yang sedang dicari.

Kemudian Aidit berjalan menuju pak Ning dan berdiri di depannya.  Sambil bertolak pinggang Aidit berkata setenggah membentak kepada Letnan Ning, "Kamu siapa?" Dengan agak gugup pak Ning menjawab, " Saya petugas pak".  "Siapa yang menugaskan!!" tanya Aidit lagi. Pak Ning diam terpaku tidak menjawab.

"Kamu tau engga saya ini Menko. Sebentar lagi saya harus ikut rapat di Jakarta dengan Yang Mulia Presiden". Aidit melanjutkan, "Saya lagi nunggu kereta yang dari timur menuju Jakarta".  Sesaat kemudian, setelah dapat mengendalikan emosi pak Ning menghormat. "Bapak naik jeep di depan (rumah) pak", pinta pak Ning.  Kemudian mereka menuju Jeep.

Saat berada di dekat mobil, pak Yasir menghormat kepada DN Aidit. "Bapak akan saya bawa ke kantor saya di Loji Gandrung Solo", sambut pak Yasir.  Selanjutnya DN Aidit naik mobil bersama ke-empat pengawalnya yang sudah diborgol.

Mobil penuh sesak ditumpangi oleh 10 orang. DN Aidit dan 4 pengawalnya duduk di tengah-tengah. Pak Yasir duduk di depan dekat sopir. Sertu Idit dan Pratu Karta berdiri di samping. Letnan Ning dan Pratu Rudito di belakang. 

Interogasi

DN Aidit dibawa masuk ke ruang kerja pak Yasir di kantor Brigif IV Loji Gandrung Solo.  Di dalam ruangan pak Yasir bicara kepada DN Aidit, "Yang menugaskan anak-anak ini saya pak. Sekarang silakan bapak menjelaskan kepada anak-anak". DN Aidit mulai diinterogasi.

"Bapak pergi dari Jakarta ke Solo ini tujuannya apa?" Tanya pak Ning. Aidit menjawab dengan marah,"Saya akan mengomando orang-orang komunis yang ada di Solo"

Banyak pertanyaan yang dijawab oleh DN Aidit dengan nada marah dan berputar-putar tidak jelas.  Akhirnya pak Ning berkata, "Ya sudah pak, dari pada saya yang proses verbal kan gak pantas. Sekarang pak Menko tulis sendiri apa-apa yang bapak mau". Pak Ning menyodorkan kertas sekitar satu rim dan tiga buah bollpoint.

Tetapi pak DN Aidit lama tidak menulis. Ia hanya memutar-mutar bollpointnya. Bahkan ia minta diberikan secangkir kopi, hingga nambah 3 cangkir.  Aidit berkali-kali minta bertemu Presiden Soekarno.  Walau sempat agak kebingungan namun pak Yasir tetap tidak memenuhinya, karena jika diserahkan kepada Bung Karno, pasti persoalannya akan menjadi lain.

Dua malam DN Aidit menjalani interogasi. Ia menuliskan berbagai pengakuannya pada berpuluh lembar halaman kertas folio. Pada satu ketika, Aidit mengatakan pada interogator: "Memang saya lah satu-satunya orang yang bertanggung jawab atas kup (kudeta) yang gagal itu".

Dari hasil interogasi, pak Yasir mendapat kesimpulan yang kuat bahwa DN. Aidit adalah orang yang paling bertanggung jawab atas gerakan yang dilancarkan pada 30 September 1965.

Pelaksanaan Eksekusi

Setelah interogasi dirasa cukup, akhirnya pak Yasir berkata kepada Aidit, "Bapak sekarang naik jeep lagi bersama saya".  Malam itu juga (15 Oktober 1965) DN Aidit dibawa oleh pak Yasir berserta keempat anggota timnya menuju ke suatu tempat dengan menaiki jeep yang sama.  Tangan DN Aidit dalam keadaan terborgol.

Diatas mobil pak Yasir memberi instruksi kepada keempat anggotanya, "Semua senjata dalam keadaan siap, kalau nanti ia lompat langsung tembak saja". Sekitar 15 menit perjalanan, yang diperkirakan pukul dua dini hari sampailah mereka ke suatu tempat di daerah Klaten yang jauh dari pemukiman penduduk.  Tempat itu nampak seperti kebon pisang.

Dan ternyata di tempat itu sudah terdapat banyak orang, sekitar 10 orang Hansip dan Wanra sudah menunggu. Mereka memberi penerangan malam dengan sebuah lampu petromak.  Rupanya pak Yasir sudah menkoordinasikan dengan para Hansip/Wanra di tempat itu sebelumnya.

Aidit dibawa menuju ke sebuah sumur yang dalam. Sampai di tepi sumur, DN Aidit bertanya dengan marah kepada pak Yasir, "Apa ini?".  "Ini adalah tempat untuk mengantar bapak menyusul pak Yani", jawab pak Yasir.

"Tunggu dulu, saya mau pidato satu dua menit" pinta DN. Aidit.  "Silakan", jawab pak Yasir. Kemudian DN Aidit berpidato, diantaranya yang diucapkannya adalah  pekikan "Hidup PKI" 3x, dan "17 tahun sekali PKI harus tumbuh".  DN Aidit berpidato dengan gugup, gemetar dan wajah pucat.

Akhirnya sebuah peluru dari senjata Owen Stand milik pak Yasir menghentikan pidato DN Aidit. Pak Yasir menembak dari jarak sekitar setengah meter mengarah ke bawah telinga kanan DN Aidit. Dan kemudian gembong PKI itupun tersungkur masuk ke lobang sumur. Pak Yasir masih melepaskan beberapa butir peluru ke tubuh DN Aidit yang sudah berada di dalam sumur.

Letnan Ning dan mungkin juga rekan lainnya merasa agak kecewa karena berharap merekalah yang akan mengeksekusi gembong PKI itu. Tapi rupanya pak Yasir begitu marah dengan pidato Aidit dan tidak sabar untuk menghentikan ocehannya.

Kemudian sumur sedalam 6-7 meter itu ditimbun dengan batang-batang pisang oleh para Hansip dan Wanra. Di bagian atas ditimbun dengan kayu-kayu kering kemudian dibakar.

Keesokan harinya masyarakat sekitar ramai membicarakan bunyi letusan senjata pada dini hari tadi. Tapi yang mereka bicarakan adalah adanya pertempuran antara pasukan TNI dengan musuh masyarakat.  Namun anehnya, satu minggu kemudian justru surat kabar Jepang memberitakan kejadian yang sesungguhnya meski tidak begitu persis.

Foto: Penulis bersama Mbah Roedito|Dokumentasi pribadi
Foto: Penulis bersama Mbah Roedito|Dokumentasi pribadi
Pak Harto Hanya Tersenyum

Pak Yasir masih diliputi kegelisahan, apakah yang ia lakukan dengan mengeksekusi DN Aidit itu sudah sesuai dengan kemauan pak Harto?  Bahkan Pangdam IV pun tidak ia beritahu tentang pelaksanaan eksekusi itu.

 Ketika pak Harto berkunjung ke Jogja untuk satu acara kedinasan beberapa hari kemudian, pak Yasir menghadap beliau di Gedung Agung Jogja. Pak Yasir menanyakan kepada pak Harto apakah yang telah ia laksanakan sudah sesuai dengan perintah pak Harto (selesaikan)?. Pak Harto hanya tersenyum. Pak Yasirpun lega melihat jawaban senyum pak Harto.

----------------------

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun