Mohon tunggu...
Umarulfaruq Abubakar
Umarulfaruq Abubakar Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa Universitas Islam Indonesia - Yogyakarta

Saya menulis bukan karena saya pandai menulis, melainkan karena ada yang ingin saya sampaikan. Saya ingin memberi kepada bangsa ini dan berbagi dengan anak-anak negeri walau hanya dalam sebentuk tulisan. Hitung-hitung juga sebagai deposito amal untuk nanti setelah mati. Salam kenal buat semua. Kenalkan (sambil mengulurkan tangan): saya Umarulfaruq Abubakar, asal Modelomo-Boalemo-Gorontalo.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kenangan Indah di Kota Seribu Sungai

4 Juli 2017   11:01 Diperbarui: 4 Juli 2017   12:08 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

*Kenangan Indah 6 di Kota Seribu Sungai*

Masih lekat di benak saya tentang kejadian itu. Yaitu, tepatnya dua hari sebelum Bulan Ramadhan tahun 2011, itulah saat pertama kali saya menginjakkan kaki di Kota Seribu Sungai ini. Kota tumpuan harapan untuk sebuah masa depan.

Saya datang berdua, bersama adik saya, Luqmanul Hakim Abubakar, untuk sebuah niat suci mulia meminang Galuh Banjar sebagai pendamping hidup, penerus generasi dan penyambung perjuangan.

Tidak tanggung-tanggung, kedua mertua saya langsung meminta untuk segera melangsungkan pernikahan pada Bulan Ramadhan yang ada di hadapan ini, dan saya tidak perlu kembali ke Gorontalo. Biarlah keluarga yang nanti menyusul ke sini.

Segera saya telpon ke rumah, ternyata Ibu saya masih mengharapkan saya untuk berhari raya di tengah keluarga besar di Gorontalo, setelah 8 tahun "hilang" tak pernah berlebaran bersama keluarga. Sampai saat melamar itu pun, saya belum bertemu dengan ibu dan keluarga.

Saya baru datang dari Mesir beberapa hari yang lalu, dan langsung menuju Banjarmasin. Janjian bertemu dengan Kim di Surabaya seusai ia mengikuti pelatihan oleh Kemenag.

Kesepakatannya; pernikahan dilaksanakan tanggal 3 Syawal, dan kami berangkat dari Gorontalo tanggal 2 Syawal.

Setelah menuntaskan tugas penting ini barulah saya balik ke Gorontalo.

Tak terasa enam tahun telah berlalu. Dan Kota Banjarmasin pun masih seperti dulu. Tetapi selalu ada jenak-jenak rindu yang merasuk syahdu. Sekali setahun saya berkunjung ke Bumi Antasari ini. Selain berjumpa dengan keluarga dan dunsanak yang ada, juga yang paling penting adalah merefresh dan menghadirkan kembali kenangan-kenangan di awal pernikahan dulu.

 Kali ini menjadi lebih istimewa dengan kehadiran ibu dan adik saya dari Gorontalo. Suasana keakraban keluarga semakin terasa. Ada tautan silaturrahim yang kembali tersambung kuat. Jarak dan waktu tak lagi menjadi penghalang.

Dan kuncup-kuncup cinta pun kembali mekar menjadi bunga...

*Setelah Enam Tahun Berlalu...*

Lalu di kota yag terletak di tepian timur sungai Barito dan dibelah oleh Sungai Martapura yang berhulu di Pegunungan Meratus, yang berada di tenggara Pulau Kalimantan serta membelah Provinsi Kalimantan Selatan menjadi dua, membentang sepanjang ± 600 km² dari arah tenggara dan membelok ke arah utara hingga perbatasan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, akhirnya saya menemukan gadis itu.

Dan seumur hidup aku ini yang pertama; pintu hatiku diketuk seorang wanita; dialah ciri selama ini kucari; ayu wajahnya setia dan sederhana. (Kalau engkau baca kalimat terakhir ini sambil bernyanyi, berarti kita seumuran... Itukan lirik lagu Malaysia Di Sini Menunggu Di Sana Menanti... hehehe :D )

Kesempatan menjadi orang Banua ini ingin saya manfaatkan untuk mengenal lebih dekat Provinsi yang kaya dengan ulama dan pondok pesantren ini. Juga menjadi tempat berdirinya salah satu Kesultanan yang tersohor di Indonesia, yaitu Kesultanan Banjar.

Banjarmasin sebagai Kota Seribu Sungai, seperti julukannya, kota ini banyak sekali menampilkan objek-objek wisata yang ada hubungannya dengan air atau sungai. Pada tahun 1997 Banjarmasin memiliki kurang lebih 117 Sungai hingga saat ini, sungai-sungai di Banjarmasin semakin berkurang dan hanya tersisa sekitar 60 sungai.

Beberapa hari yang lalu saya berkesempatan keliling kota Banjarmasin bersama keluarga dengan perahu Kelotok. Kehidupan di bantaran Sungai Barito memang unik. Di coklat dan hitamnya air sungai Barito, ternyata banyak juga yang mandi, sikat gigi, sekaligus buang air di situ.

Kami melewati sungai yang lebar dan jembatan yang besar, melihat kapal-kapal pengangkut batu bara, menikmati pasar terapung, berkunjung ke Pulang Kembang yang banyak bekantan, diakhiri makan Soto dan Sate Banjar di Warung Bang Amat, dan belanja kain sasirangan

Di samping itu saya juga menyaksikan mesjid-mesjid indah dan berdiri dengan megah. Budaya Islam sangat melekat dengan masyarakat Banjar. Tokoh ulama yang paling utama dalam hal ini adalah Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, yang dikenal dengan nama Datuk Kalampayan.

 Diantara dzurriyat beliau yang legendaris dan menjadi panutan orang Kalimantan adalah Syekh Muhammad Zaini Abdul Ghani atau lebih dikenal dengan nama Guru Ijai.

 Kedua tokoh dikenal oleh hampir seluruh masyarakat Banjar.

Datanglah ke rumah rumah penduduk, engkau akan mendapati foto Guru Ijai dipigura dengan indah di ruang tamu. Beliau ulama yang sangat dihormati dan dicintai oleh masyarakat Banjar, dan setiap kali Haul, ribuan masyakat yang ikut.

Selain beliau, ulama Kalsel saat ini banyak dari anak murid dan dzurriyat Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.

Tentang Budaya Islam Dalam Masyarakat Banjar, saya banyak terbantu dan mendapatkan informasi berharaga dari buku "Islam dan masyarakat Banjar: deskripsi dan analisa kebudayaan Banjar" karya Alfani Daud.

Dalam berkomunikasi, seperti juga di Solo-Jawa Tengah, saya merasakan adanya kesantunan berbahasa. Baik dari intonasi pengucapannya yang cenderung berlagu, maupun dari pilihan kata-katanya. (Secara gamblang, Rissari Yayuk telah menuliskan hal ini di bukunya "Kesantunan Berbahasa Pada Masyarakat Banjar")

 Selain wajah yang cantik, mungkin ini juga menjadi alasan kenapa banyak orang yang tertarik dengan Putri Solo dan Galuh Banjar :D :-D

*Antara Gorontalo dan Banjarmasin*

Tak henti-hentinya teman dan keluarga bertanya, "Kapan Pulang Kampung"? dan jawaban saya selalu sama,

"Kampung saya adalah Indonesia" artinya dimanapun saya berada, selama masih di Indonesia, itu berarti saya berada di kampung halaman sendiri.

Saya paham, bahwa maksud dari pertanyaan itu adalah kapan saya kembali ke Gorontalo, tepatnya di Kabupaten Boalemo, di Kecamatan Tilamuta, Desa Modelomo, Dusun Huntu sebagai tempat saya besar dan menghabiskan masa kanak-kanak (kalau lahir saya di Desa Hungayonaa-Tilamuta), atau ke Banjarmasin, tepatnya di Kabupaten Banjar, Kecamatan Gambut, Desa Gambut, ke tempat istri dan keluarga yang ada di sana.

Jawabannya adalah saya belum tau kapan.

Saat ini saya masih masih sedang belajar di Universitas Islam Indonesia, Jogjakarta, sebagai Mahasiswa dan juga belajar di PPTQ Ibnu Abbas Klaten sebagai guru tahfiz.

Banyak amanah dan kepercayaan yang harus saya tuntaskan sebagai bentuk pengbdian kepada Allah, amanah keluarga dan masyarakat, tanggung jawab kepada Islam, juga Bangsa dan Negara tercinta.

Terngiang selalu kata kata Bung Hatta di sanubari saya, "Ke mana kita dibawa oleh nasib, ke mana kita dibuang oleh yang berkuasa, tiap-tiap bidang tanah dalam Indonesia ini, itulah juga Tanah Air kita. Di atas segala lapangan Tanah Air aku hidup, aku gembira. Dan di mana kakiku menginjak bumi Indonesia, di sanalah tumbuh bibit cita-cita yang tersimpan dalam dadaku."  (Renungan Bung Hatta tanggal 20 Januari 1934, sebelum ia dibuang ke Boven Digoel dan Banda Neira)

Asal Hidup, Gembira, dan Mempunyai kesempatan mewujudkan Cita-cita, maka saya pun siap hidup dimana saja. Dimana tempat yang membuat cita-cita saya tumbuh dan berkembang, di situlah saya hidup, saya gembira.

Cita-cita itu adalah ikut melahirkan generasi qurani untuk kemajuan islam dan kesejahteraan bangsa. Dan seluruh lapangan tanah Indonesia itulah tanah airku tempat aku berjuang menumbuhkan bibit cita-cita itu. Dan untuk saat ini, PPTQ Ibnu Abbas Klaten adalah lahan khusus untuk menebar dan menumbuhkan bibit itu.

Inilah sekelebat renungan di pagi ini, yang membuat saya menikmati kenangan-kenangan masa lalu sambil tersenyum-seyum sendiri. Bisa karena indahnya kenangan itu, bisa juga karena enaknya Kopi Radix yang baru saja dibuatkan oleh istri.. :D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun