Salah Menaruh Rasa
Hayuningtyas Permata Asri
Pusara itu masih merah dan basah. Wangi air mawar, kamper dan harum tubuh itu masih melekat di indra penciumanku. Aroma terapi daun salam dan pandan berpadu dalam balutan busana kuruang (baju adat Minang) dan lilik(penutup) di kepalanya.
Plukkk!!!
Beberapa helai kelopak kamboja jatuh dari pokoknya mengenai wajahku. Membangunkanku dari lamunan. Wuhhh!!! Dadaku terasa begitu sesak.
***
Sepekan lagi Ramadhan tiba.
"Nak, sebentar lagi kita landing. Bunda harap sesampainya di sana jangan kau banyak bicara ya."
Debu, putra bungsuku hanya mengangguk saja.
Mungkin ia lelah perjalanan yang cukup panjang.
Aku pulang dengan rasa kesal, kecewa, bangih (marah)
yang kupendam. Belasan tahun tak cukup untuk menghapus
rasa begitu saja. Amak, aku rindu dan sangat rindu padamu. Aku belum bisa membalas jasamu yang telah membesarkanku
hingga sukses di tanah Jawa. Ucap ku dalam hati.
"Kamu tidak bisa menikah dengannya. Ada perjanjian
di antara kami sejak dulu, bahwa keluarganya tidak bisa naik
rumah gadang itu sebagai menantu, begitu juga sebaliknya!"
"Kamu akan duduk di mana saat perjamuan? Sasek di
ujuang jalan tidak, di suruik ka pangka pun tidak (jika tahu
perbuatan yang dilakukan salah atau tidak baik, maka
sebaiknya cepat kembali ke jalan yang benar sebelum
terlanjur). Kau ingat-ingat pepatah ini ya. Lupakan dia!" Ucap
Mak Saidah,
"Tapi, aku terlanjur mencintainya, Amak Saidah. Kami
sudah menjalin kasih dengannya hampir tiga tahun ini, Mak."
"Kinai, mengapa kau baru mengenalkannya pada kami?
Jika jauh hari, tentulah Amakmu ini paling terdepan melarang
kau menikah dengannya. Kau ini, indak lapuk dek hujan nan
indak langkang dek paneh (tidak akan hancur terkena hujan
dan tidak akan rusak karena panas), jatuh harga diri kita dan
akan dianggap tidak beradat. Kau camkan, kata-kata Amak
Kirai!" Ucap Mak Saidah dengan amarah yang memuncak
sembari jari telunjuknya menodongkannya di wajahku.
“Tapi Mak...” belum selesai aku bicara, Mak sudah
menyelanya dan darimana dia tahu kalau aku akan bertanya
perihal itu?
“Ahhh, sudah-sudah. Kau dasar keras kepala. Tak perlu
kujelaskan lagi alasannya. Pokoknya kalau tidak, ya sudah
tidak!, titik!!!” Tukas Mak Saidah memarahiku.
Kalau sudah ada kata pokoknya, itu adalah kata dimana ucapannya tidak bisa dibantah lagi. Itu adalah percakapan terakhirku dengannya. Nenek yang merawatku sedari lahir hingga usiaku remaja. Banting tulang membiayaiku hingga lulus sarjana. Entah Apak dan Bundaku ke mana saat aku dilahirkan? Jelas yang ku tahu Amakku lah yang jadi garda terdepan soal hidupku.
Mak Saidah orang yang teguh pendirian dan keras. Namun, sebenarnya ia sangat menyangayiku. Sejak Buya meninggal, Amak lah yang mencari nafkah. Ia berpijak di satu kakinya. Maka itulah yang menjadikannya tegar dengar berbagai kerasnya dunia.
Berulang kali kucoba memberi pemahaman kepadanya, hasilnya pun nihil. Akhirnya kuputuskan kembali ke rantau tanpa pamit kepadanya. Walau begitu pernikahanku tetap berlangsung tanpa restu. Aku coba hubungi Amak melalui telepon.
"Amak, mohon restuilah pernikahan kami." Ucapku dengan suara parau memelas agar dapat gayung sambutnya. "Apa? Kau masih saja keras kepala! Kau tak perlu lagi pulang kampuang, bahkan saat aku meninggal pun, kau tak usah datang ke pemakamanku." Ucap Mak Saidah lantang hingga memekakkan telingaku.
"Maafkan aku, Mak Saidah."
Kupikir dengan berjalannya waktu, Mak Saidah
merestui kami. Nyatanya Mak masih tak merestui darah
Minang bersanding dengan Orang Kampung Sawah, Saibatin.
Genap sepuluh tahun usia pernikahan kami, dikaruniai
dua anak gadis kembar dan si bungsu jagoanku. Ayah dari
ketiga anakku kembali ke kampung halamannya untuk urusan
bisnis bersama koleganya. Ia merantau ke tanah Jawa sejak umurnya tujuh belas tahun dan kini sukses menjadi
pengusaha mebel Jepara.
"Suamiku, Aku pun juga rindu kampungku. Bolehlah
aku ikut. Anak-anak kita belum tahu silsilah keluarga kita di
sana. Aku pun rindu pada Amak."
"Kinai, jangan dulu biarlah aku yang pulang. Nanti aku
mampir ke rumah Mak Saidah. Kau titip apa? Biar ku
sampaikan padanya." Ucap suamiku menenangkan.
"Baiklah, aku titip kopi luwak dan kerupuk kemplang
beserta sambal balodonya. Dengan begitu mungkin Amak bisa
memaafkan kita." Ucapku sedih.
Rindu ini tak bisa kutahan, begitu sakit terpendam
menahan rasa rindu yang membuncah. Tanpa sadar air
mataku tumpah derasnya mengenai hijab hijau ditangan, pemberian Amakku terakhir kali. Kampung halaman terasa
memanggilku tuk pulang. Aku rindu pada Amak, mungkin kini
ia telah renta. Bagaimana kini wajahnya? Bersama siapa di
sana yang merawatnya? Aku rindu ketika aku naik gerobak
pergi ke pasar dengan melewati pemakaman umum
bersanding dengan kuburan Cina.
Ia selalu bercerita tentang keberaniannya melawan ketakutan tengah malam dengan membawa ku melewati jalan itu untuk ke pasar karena tak ada jalan lain selain satu- satunya jalan itu. Terkadang bercerita konyol tentang pocong menikah dengan kuntilanak. Kadang pula bercerita ributnya orang pasar. Aku rindu ketika aku naik kapal Fery Merak Bakauheni, melihat ombak, melempar koin pada bocah yang berada di laut, kami menyebutnya anak laut.
Aku rindu suasana kampung yang damai, jauh dari
hiruk pikuk, aku rindu ketika Ramadhan tiap warga berjejer
berjualan. Aku rindu masakan Amak dan aku rindu ingin mencium keningnya. Oh Amak... Alfatihah untuk mu, Mak Saidah.
Hikhikkkk, huffttt!!!
***
Azan Maghrib mengiringi perjalanan pulangku. Air
sungai di seberang rumah terasa sejuk saat kaki menginjak
bebatuan melewatinya. Aroma daun salam dan pandan serasa
menyambut hadirku.
“Mak, Kinai datang Mak membawa cicit jagoan Kinai, Debu namanya.” Ucapku sembari memegang tangan bungsu ku menyusuri sungai untuk dapat sampai rumah Amak di seberang.
Alami tak berubah sedikit pun, hanya penyesalan yang
tak akan mengubah semuanya kembali. Akhirnya ku tahu
mengapa Amak melarangku keras. Tapi sudah nasib, nasi
sudah jadi bubur tak mungin menjadi beras lagi. Takdir ini
sudah ku terima. Lima belas tahun pernikahan dengan
hadirnya orang ketiga menjadi bagian hidup kami, duri.
RIngkasan Cerita
Cerpen ini bercerita tentang seorang wanita bernama Kinai yang pulang ke kampung halamannya setelah lama merantau. Ia mengenang sosok neneknya, Mak Saidah, yang keras kepala dan tidak merestui pernikahannya dengan suami yang berasal dari Kampung Sawah, karena perjanjian adat lama. Meskipun Mak Saidah melarang, Kinai tetap menikah tanpa restu dan hidup terpisah selama bertahun-tahun. Setelah sekian lama, Kinai merasa menyesal dan merindukan kampung serta neneknya yang telah merawatnya sejak kecil. Saat pulang, ia mendapati Mak Saidah sudah tiada, dan menyadari bahwa penyesalan dan kerinduan tidak bisa mengubah takdir hidupnya yang penuh tantangan, termasuk masalah dalam rumah tangganya dengan kehadiran orang ketiga.
Ringkasan Cerita
Ini adalah cerita pendek tentang seorang wanita bernama Kinai yang kembali ke kampung halamannya setelah sekian lama. Ia mengenang neneknya, Mak Saidah, yang ia ingat sebagai orang yang keras kepala dan tidak setuju dengan pernikahannya dengan seorang suami dari Kampung Sawah, karena ada kesepakatan terkait hal ini sejak dulu. Mak Saidah melarang, namun Kinai tetap menikah tanpa restunya dan hidup terpisah selama bertahun-tahun. Setelah waktu berlalu, Kinai menyadari kesalahannya dan merindukan desanya serta neneknya, yang telah membesarkannya sejak kecil. Ketika ia pulang, Kinai menemukan bahwa Mak Saidah sudah tiada, dan ia sadar bahwa penyesalan dan kerinduan tidak bisa mengubah nasib hidupnya yang sulit, termasuk masalah dalam rumah tangganya dengan kehadiran orang ketiga.
Analisis Cerpen
1. Tema
Tema utama dalam cerita ini adalah konflik antara tradisi dan cinta, serta penyesalan dalam hubungan keluarga. Cerita ini menggambarkan bagaimana tradisi dapat mengatur keputusan pribadi seseorang, terutama dalam pernikahan. Selain itu, tema penyesalan sangat dominan karena tokoh utama, Kinai, menyesal tidak mendapatkan restu dari neneknya, Mak Saidah, dan harus menghadapi keretakan dalam keluarganya.
2. Penokohan
Kinai: Seorang wanita yang merantau dan menikah tanpa restu neneknya. Ia digambarkan sebagai sosok yang berani, melawan tradisi demi cintanya, hanya untuk menyadari kesalahannya di kemudian hari. Karakternya reflektif, emosional, dan dalam saat ia merindukan kampung halamannya dan neneknya yang telah tiada.
Mak Saidah: Nenek Kinai yang keras kepala dan penjaga adat Minangkabau yang sangat dihormati. Ia tidak menyetujui pernikahan Kinai karena dianggap melanggar adat. Meski keras, karakter ini tidak sepenuhnya tanpa kasih sayang; ia membesarkan Kinai sejak kecil.
Suami Kinai: Tidak banyak dijelaskan, tetapi ia digambarkan sebagai sosok yang pengertian dan selalu berusaha menenangkan Kinai. Ia mengetahui penolakan dari Mak Saidah namun tetap mendukung Kinai agar tidak sepenuhnya memutus hubungan dengan kampung halamannya.
Debu: Anak bungsu Kinai yang masih kecil. Ia menjadi jembatan harapan Kinai untuk memperkenalkan keturunannya kepada Mak Saidah, meskipun pada akhirnya hal itu tidak terjadi karena Mak Saidah sudah tiada.
3. Alur
Cerita pendek ini melibatkan alur campuran, yaitu maju-mundur. Cerita dimulai dengan Kinai mengenang bagaimana neneknya menolak pernikahannya karena adat, diikuti dengan kisah hidup Kinai setelah menikah hingga akhirnya ia kembali ke desanya setelah lebih dari sepuluh tahun.
Pendahuluan: Kinai kembali ke kampung halamannya setelah lama pergi dan merenungkan neneknya yang sangat tegas dalam mempertahankan adat.
Konflik: Konflik terjadi saat Mak Saidah tidak mengizinkan Kinai menikah karena pantangan adat. Kinai menikah tanpa restu neneknya.
Klimaks: Puncak cerita terjadi ketika Kinai akhirnya menyadari bahwa bertahun-tahun penyesalan tidak dapat mengubah apa yang telah terjadi. Ia merindukan neneknya dan ingin meminta maaf, tetapi sayangnya, Mak Saidah telah meninggal.
Solusi: Kinai menerima nasibnya dan bersyukur mengapa neneknya begitu keras terhadap pernikahannya. Namun, ia harus menerima kenyataan bahwa penyesalan datang terlambat dan tidak bisa mengubah masa lalu.
4. Latar
Cerita ini berlatar di kampung Kinai, Minangkabau, Sumatra Barat. Cerita ini juga menggambarkan secara detail rumah adat, sungai, pemakaman, dan pasar tradisional. Latar ini memperkuat hubungan antara plot dan adat Minangkabau, serta mempertegas inti konflik dalam cerita.
Latar waktu: Berlatar dua era. Pertama, saat Kinai masih muda dan berkonflik dengan neneknya soal pernikahan; kedua, setelah menikah selama 15 tahun, ia kembali ke kampung setelah waktu yang lama. Cerita ini juga berlatar pada momen religius, yaitu menjelang bulan Ramadan, saat orang biasanya pulang ke keluarga dan kampung halaman.
Latar sosial: Adat dan tradisi masyarakat Minangkabau sangat kental dalam cerita ini. Norma sosial, terutama dalam pernikahan, menunjukkan bahwa masyarakat Minangkabau menjunjung tinggi kehormatan keluarga dan mematuhi adat. Di sinilah konflik antara tradisi dan keputusan individu tampak jelas.
5. Gaya Bahasa
Bahasa Daerah: Penulis menggunakan banyak ungkapan Minang, termasuk pepatah dan dialog yang memperkuat karakter budaya Minangkabau. Hal ini memberikan realisme dan membangun suasana dalam cerita.
Deskripsi Puitis: Bahasa puitis menggambarkan emosi dan suasana hati tokoh utama. Misalnya, dalam kalimat "kerinduan ini tak bisa ditahan, pedih menahan rasa rindu." Metafora seperti "nasi sudah menjadi bubur" juga mempertegas makna penyesalan dalam cerita.
Simbolisme: Beberapa elemen dalam cerita ini bersifat simbolis. Contohnya, jatuhnya kelopak bunga kamboja di wajah Kinai dapat dianggap sebagai simbol kesadaran dan kesedihan akan kematian serta penyesalan.
6. Sudut Pandang
Cerita pendek ini menggunakan sudut pandang orang pertama, di mana tokoh utama, Kinai, menceritakan pengalaman dan perasaannya. Sudut pandang ini kuat dalam mengekspresikan emosi mendalam seperti kerinduan, penyesalan, dan cinta.
7. Amanat
Konflik tradisi versus cinta: Cerita pendek ini menjelaskan bahwa adat dan cinta tidak selalu mudah untuk dipadukan. Keputusan yang diambil, terutama yang bertentangan dengan adat, biasanya membawa dampak seperti perpecahan keluarga atau penyesalan di kemudian hari.
Penyesalan yang terlambat: Dalam cerita ini, penyesalan selalu datang terlambat. Kita perlu mempertimbangkan dengan matang apa yang akan kita lakukan dalam hidup, terutama keputusan besar yang akan mempengaruhi hubungan keluarga.
Kasih sayang keluarga yang tersembunyi: Mak Saidah tampak begitu keras, namun sebenarnya sangat peduli pada Kinai. Terkadang kasih sayang keluarga tersembunyi di balik tindakan yang tampak tegas atau keras, yang baru dipahami setelah waktu berlalu.
8. Konflik
Konflik internal: Di dalam diri Kinai, terjadi gejolak antara perasaannya menikahi orang yang dicintainya dan penolakan neneknya terhadap pernikahan tersebut. Konflik ini terus berlangsung setelah pernikahan, dengan penyesalan yang menghantuinya karena tidak mendapat restu dari neneknya.
Konflik eksternal: Dalam cerita ini, konflik eksternal terjadi antara Kinai dan neneknya, Mak Saidah. Penolakan keras neneknya terhadap pernikahan Kinai karena alasan adat menciptakan jurang antara mereka yang tidak bisa diperbaiki bahkan setelah Mak Saidah meninggal.
9. Kesimpulan
Cerita pendek ini menggambarkan hubungan yang kompleks antara cinta, tradisi, dan keluarga. Cerita ini disampaikan secara puitis dengan deskripsi yang mendalam untuk menggambarkan perjalanan emosional seorang wanita yang harus berdamai dengan penyesalan dalam hidupnya. Pesan moral dari cerita ini mengajak pembaca untuk merenungkan pentingnya keluarga, tradisi, dan membuat keputusan bijak yang dapat mempengaruhi kehidupan pribadi dan keluarga di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H